Oleh: Hendrizal
Beberapa kali kita dikejutkan video perkelahian siswa SD, laporan bullying, atau anak yang bertindak jauh dari norma. Reaksi publik cepat: Pancasila tidak lagi dipegang, pendidikan gagal menanamkan budi pekerti. Itu reaksi yang benar, namun terlalu sederhana. Masalahnya bukan Pancasila sebagai ide, melainkan bagaimana nilai itu dipraktekkan di kehidupan sehari-hari anak.
Mari jujur. Banyak sekolah masih mengajar Pancasila seperti pelajaran hafalan. Upacara, pembacaan sila, lembar kerja satu kali, itu sering jadi bukti bahwa ‘kita sudah mengajarkan Pancasila.’ Padahal menanamkan nilai bukan soal seremonial. Nilai hidup ketika anak mengalami, berdiskusi, berbuat, dan merefleksikan tindakannya. Jika ruang sekolah penuh kekerasan, rasa takut, atau idolatri budaya populer yang agresif, pendidikan nilai akan kalah sebelum sempat tumbuh.
Kenyataan lapangan memperlihatkan beberapa kegagalan konkret. Pertama, guru belum selalu menjadi fasilitator nilai. Mengajarkan sikap seperti empati, keadilan, dan tanggung jawab memerlukan keterampilan, dan ini mendesain pengalaman belajar moral, memfasilitasi dialog reflektif, menerapkan restorative justice saat konflik. Namun banyak pelatihan guru untuk pendidikan karakter bersifat satu kali, teoritis, dan tidak diikuti pendampingan praktis. Akibatnya, guru kembali ke metode lama: ceramah dan kuis.
- Iklan -
Kedua, lingkungan di luar sekolah sering bertolak belakang. Anak tumbuh dalam keluarga dengan tekanan ekonomi, pola asuh otoriter, atau rumah di mana kekerasan verbal dianggap biasa. Media sosial dan konten digital juga meracik norma baru, sering menampilkan kekerasan, penghinaan, atau perilaku manipulatif sebagai hiburan. Ketika pesan di rumah dan dunia maya bertentangan dengan materi PPKn di kelas, anak cenderung meniru yang paling ‘efektif’: apa yang memberi status sosial atau mengurangi tekanan.
Ketiga, sistem penilaian dan insentif di pendidikan tidak memberi tempat kuat bagi penguatan karakter. Asesmen nasional dan indikator kinerja sekolah menitikberatkan literasi dan numerasi, memaksa sekolah prioritas pada hal yang diukur. Tanpa indikator karakter yang valid, penguatan nilai mudah menjadi hiasan di sisi program yang sesungguhnya dianggap tidak mendesak.
Keempat, banyak sekolah belum menjadi ruang aman. Lingkungan belajar yang aman adalah prasyarat agar anak berani berekspresi, mengakui kesalahan, dan belajar empati. Ketika bullying, hukuman fisik, atau intimidasi masih ada, anak akan menutup diri, nilai tidak menambat pada hati yang terluka.
Berdasarkan itu, pertanyaan ‘Apakah Pancasila gagal ditanamkan?’ harus dijawab secara berbeda: bukan Pancasila yang gagal, melainkan model penanamannya yang gagal. Dan kegagalan ini bersifat struktural, berakar pada pelatihan guru, desain kurikulum, evaluasi, keluarga, dan lingkungan sosial.
Lalu apa yang harus dilakukan, dengan cepat dan nyata? Pertama, ubah cara mengajar nilai: dari hafalan menjadi pengalaman. Sekolah harus mengalokasikan waktu mingguan untuk projek nilai, kegiatan yang nyata, lintas mata pelajaran, yang mengajak siswa bekerja sama, menyelesaikan masalah komunitas, dan merefleksikan tindakan mereka. Projek seperti layanan komunitas, simulasi musyawarah, atau program gotong royong kecil bisa melatih sikap kebersamaan dan tanggung jawab.
Kedua, latih guru sebagai fasilitator karakter secara berkelanjutan. Pelatihan harus disertai mentoring lapangan minimal satu tahun, komunitas praktik antar-guru, dan evaluasi atas kemampuan memfasilitasi dialog etis, praktik restorative justice, dan intervensi trauma-informed. Tanpa dukungan panjang, keterampilan ini mudah pudar.
Ketiga, ukur karakter secara serius. Asesmen karakter harus menggunakan observasi guru, portofolio siswa, survei iklim sekolah, dan refleksi siswa. Hasilnya harus masuk dalam akreditasi dan laporan kinerja sekolah sehingga kepala sekolah terdorong memperbaiki iklim sekolah, bukan sekadar mengejar angka tes.
Keempat, jadikan sekolah ruang aman lewat protokol pencegahan dan respon kekerasan. Sekolah wajib punya jalur pelaporan terlindungi, jumlah konselor memadai, dan mekanisme restorative justice untuk menyelesaikan konflik. Penegakan aturan tanpa mekanisme pemulihan hanya memperbanyak trauma.
Kelima, libatkan keluarga dan masyarakat. Pendidikan karakter bukan pekerjaan sekolah sendiri. Program parenting berbasis bukti dan literasi digital untuk orangtua harus tersedia di tingkat kecamatan. Keterlibatan tokoh masyarakat dalam projek sekolah memperkuat nilai yang diajarkan.
Keenam, alokasikan dana khusus untuk pendidikan karakter. Tanpa anggaran yang terikat, program akan tergeser oleh prioritas lain. Dana ini harus dipakai untuk pelatihan guru, konselor, dan kegiatan projek nilai yang dapat diverifikasi.
Kritik keras (tetapi perlu) juga diarahkan kepada para pembuat kebijakan: stop menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi tanpa menyediakan mekanisme pelaksanaan yang nyata. Program yang bagus di dokumen akan sia-sia jika tidak diikuti pembiayaan, monitoring, dan akuntabilitas lapangan.
Kini sederhana saja, Pancasila tidak perlu dibela lewat deklarasi, ia harus dijalankan lewat tindakan harian yang menyentuh pengalaman anak. Menanam karakter berarti memberi anak pengalaman aman untuk melakukan, salah, dan belajar. Jika kita gagal menciptakan itu, maka Pancasila akan tetap menjadi teks indah yang tak pernah hidup di kelas, di rumah, dan di hati generasi muda.
Kita punya pilihan: terus mengulang ritual simbolik, atau bekerja nyata membentuk karakter lewat sistem yang konsisten (guru yang terlatih, sekolah yang aman, keluarga yang terlibat, dan aturan yang menuntut bukti, bukan sekadar janji). Silahkan pilih!
*) Dr. Hendrizal, S.IP., M.Pd. adalah dosen Pascasarjana S2 Pendas-PGSD FKIP Universitas Bung Hatta (UBH) Padang; Doktor Ilmu Pendidikan UNP.



