Oleh Abdul Wachid B.S.
Di tengah pergeseran paradigma pendidikan abad ke-21, sekolah tidak lagi cukup dipahami sebagai ruang transfer pengetahuan belaka. Lebih dari itu, sekolah semestinya menjadi habitat kreatif—tempat tumbuhnya ide-ide, kritik, dan ekspresi budaya. Dalam konteks ini, kelas bukan hanya ruang belajar, melainkan arena produksi budaya. Pelajar bukan sekadar penerima informasi, melainkan aktor budaya yang aktif mencipta dan berimajinasi.
Gagasan ini menemukan momentumnya dalam perkembangan literasi visual dan ekspresi naratif yang kini tumbuh di berbagai sekolah dan komunitas pelajar. Film dan sastra menjadi wahana yang menjembatani dunia akademik dan dunia pengalaman, mempertemukan fakta dan emosi, realitas dan harapan.
Ketika film pelajar tumbuh dari desa-desa, terutama melalui inisiatif seperti Festival Film Pelajar Purbalingga (FFPP), kita menyaksikan bagaimana ruang-ruang kelas berubah menjadi studio budaya. Para pelajar tidak lagi menjadi penonton pasif, tetapi penulis skenario, sutradara, aktor, editor, hingga kritikus sosial. Di titik ini, kita patut bertanya: bagaimana sekolah dapat secara sadar membentuk ekosistem yang mendukung praktik produksi film dan sastra? Apa yang diperlukan agar kelas tidak hanya menjadi tempat analisis karya, tetapi juga laboratorium penciptaan budaya?
- Iklan -
Dari Konsumen Budaya Menjadi Produsen Kultural
Dalam pendekatan pedagogi konvensional, pelajar kerap diposisikan sebagai konsumen budaya. Mereka diminta membaca cerpen, menyimak puisi, menonton film dokumenter, atau mendengarkan pidato sebagai bentuk apresiasi, kemudian menuliskannya dalam lembar refleksi atau menjawab soal pilihan ganda. Aktivitas ini penting sebagai fondasi, tetapi belum sepenuhnya mengaktifkan daya cipta mereka.
Sebaliknya, saat ruang kelas diubah menjadi lokakarya penulisan kreatif, bengkel pembuatan film pendek, atau forum diskusi kritis, terjadi pergeseran besar. Pelajar menjadi produsen budaya. Mereka belajar bukan hanya tentang struktur naratif, gaya bahasa, atau teknik pengambilan gambar, tetapi juga tentang bagaimana menyuarakan kegelisahan, merefleksikan identitas, dan merumuskan kritik sosial melalui media kreatif.
Proses kreatif ini bersifat transformatif: ia tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga membebaskan. Sebab melalui penciptaan, pelajar belajar mengolah pengalaman dan emosi menjadi karya bermakna, yang tidak hanya komunikatif tetapi juga memanusiakan.
Kolaborasi Lintasmapel dan Kemitraan Komunitas
Untuk membangun ekosistem produksi budaya, sekolah perlu mengembangkan kolaborasi lintas mata pelajaran. Film dan sastra bukan hanya milik guru Bahasa Indonesia. Guru Seni Budaya, Sejarah, PPKn, bahkan IPA dan IPS bisa terlibat. Misalnya, tema perubahan iklim bisa dikembangkan menjadi film dokumenter oleh siswa IPA bekerja sama dengan siswa Bahasa. Cerita rakyat lokal bisa digarap dalam bentuk drama film oleh siswa Bahasa dan Seni Budaya.
Selain kolaborasi internal, penting pula membuka ruang kerja sama dengan komunitas eksternal. Komunitas film pelajar seperti Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga telah membuktikan diri sebagai mitra strategis sekolah-sekolah di Banyumas Raya dalam mendampingi siswa memproduksi film pendek yang berkualitas.
Namun, perlu diluruskan bahwa tidak semua komunitas kreatif bergerak di bidang film. Misalnya, Rumah Kreatif Wadas Kelir di Purwokerto lebih dikenal sebagai komunitas literasi dan penggerak budaya baca-tulis anak. Komunitas ini membina ratusan anak di desa-desa dengan pendekatan berbasis dongeng, penulisan kreatif, dan pementasan. Meski tidak spesifik ke perfilman, Wadas Kelir dapat menjadi mitra penting dalam pembinaan narasi dan penguatan literasi imajinatif.
Dengan menjalin kemitraan seperti ini, sekolah dapat memperluas jangkauan praktik budaya sekaligus menanamkan nilai bahwa kebudayaan bukanlah milik institusi elite, melainkan milik bersama yang tumbuh dari akar rumput.
Kelas sebagai Inkubator Kreatif
Kelas bisa menjadi inkubator ide, ruang eksperimen, dan arena olah rasa. Dalam pembelajaran sastra, misalnya, alih-alih hanya menganalisis struktur cerpen, siswa dapat diajak menulis ulang cerita dengan sudut pandang berbeda, kemudian memvisualisasikannya dalam bentuk storyboard, dan akhirnya merekamnya sebagai film pendek berdurasi 5–10 menit.
Guru di sini tidak lagi berperan sebagai “pengendali kelas”, tetapi sebagai mentor kreatif, fasilitator, dan kurator gagasan. Mereka membimbing proses, membuka ruang imajinasi, dan mendorong keberanian berekspresi. Bahkan dalam ekstrakurikuler, klub sastra dan film bisa menjadi komunitas kreatif yang tumbuh secara otonom di lingkungan sekolah.
Media sosial pun bisa dimanfaatkan sebagai kanal distribusi. Film pendek siswa bisa diunggah ke YouTube; puisi dan cerpen bisa diterbitkan dalam blog atau zine digital sekolah. Dengan begitu, karya-karya siswa tidak berakhir di meja guru, tetapi menjangkau khalayak lebih luas menjadi bagian dari percakapan publik.
Produksi Sebagai Refleksi Sosial
Salah satu kekuatan produksi budaya oleh pelajar adalah kemampuannya dalam menangkap dan merefleksikan realitas secara kritis. Film-film pelajar dari desa-desa di Banyumas Raya yang difasilitasi oleh FFPP, misalnya, kerap mengangkat isu-isu yang jarang muncul di media arus utama: pernikahan dini, migrasi orangtua, limbah rumah tangga, ketimpangan gender, atau tekanan akademik.
Dengan sudut pandang khas remaja, film-film itu menghadirkan realitas dari balik pintu rumah yang sering tertutup. Cerpen dan puisi pelajar pun banyak yang merekam kegelisahan tentang relasi keluarga, identitas gender, tekanan sekolah, atau mimpi yang berbenturan dengan realitas.
Ketika kelas memberi ruang untuk menulis, merekam, dan menampilkan karya, maka ia berfungsi bukan sekadar sebagai ruang belajar, tetapi juga ruang katarsis tempat di mana luka sosial diolah menjadi energi kreatif.
Infrastruktur, Kebijakan, dan Kurikulum
Agar ruang produksi budaya dapat berkembang, sekolah perlu menyediakan dukungan infrastruktur yang memadai. Tidak harus studio canggih, tetapi cukup alat-alat dasar: kamera digital, komputer untuk mengedit, ruangan untuk pemutaran, dan koneksi internet yang stabil.
Selain itu, kebijakan sekolah harus mendukung kegiatan kreatif sebagai bagian integral dari pembelajaran. Misalnya, proyek film dapat dijadikan bentuk penilaian formatif dalam pelajaran Bahasa atau IPS. Guru juga perlu diberikan pelatihan dalam fasilitasi produksi budaya. Kurikulum Merdeka sebenarnya menyediakan ruang ini melalui projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) dengan tema-tema seperti “kearifan lokal”, “gaya hidup berkelanjutan”, dan “kebhinekaan global” yang sangat relevan untuk diolah menjadi karya sastra maupun film.
Studi Kasus: FFPP dan Transformasi Sekolah
Festival Film Pelajar Purbalingga (FFPP) merupakan contoh konkret bagaimana ekosistem budaya dapat ditumbuhkan secara organik di sekolah-sekolah. Dengan menggandeng puluhan sekolah mitra di Banyumas Raya, FFPP tidak hanya menggelar lomba, tetapi juga menyediakan pelatihan, pendampingan, dan distribusi karya.
Banyak sekolah yang awalnya tidak punya tradisi perfilman kini memiliki komunitas sinema aktif. Sebagian bahkan berhasil meraih penghargaan di tingkat nasional. Ini menunjukkan bahwa dengan kemauan, pendampingan, dan ruang kreasi, sekolah di daerah pun bisa menjadi pusat kreativitas yang unggul.
Menumbuhkan Budaya Apresiasi
Produksi budaya harus dibarengi dengan budaya apresiasi. Sekolah perlu menciptakan tradisi mengapresiasi karya siswa: pemutaran film secara rutin, penerbitan antologi sastra pelajar, malam puisi, pameran seni, dan dialog kreatif. Apresiasi tidak hanya memberi pengakuan, tetapi juga membangun kepercayaan diri siswa.
Peran guru dalam hal ini sangat penting sebagai pembaca pertama yang jujur dan suportif. Orang tua pun perlu dilibatkan sebagai audiens yang memahami proses di balik karya, bukan sekadar menilai hasil akhir.
Ketika budaya apresiasi tumbuh, sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga rumah gagasan yang hangat dan membesarkan.
Penutup: Pendidikan yang Menghidupkan Imajinasi
Menjadikan kelas sebagai ruang produksi budaya bukan sekadar strategi pedagogis, melainkan juga tanggapan kultural atas dunia yang makin kompleks. Di tengah krisis makna dan serbuan informasi, pelajar perlu dibekali ruang untuk mencipta, menyusun narasi, dan membayangkan masa depan yang lebih baik.
Film dan sastra adalah dua medium yang lentur dan kuat untuk itu. Keduanya mengajarkan kepekaan, empati, dan keberanian bersuara. Melalui kolaborasi lintasmapel, dukungan infrastruktur, kemitraan komunitas, dan pengakuan dalam kurikulum, kita bisa menciptakan sekolah yang bukan hanya mencetak nilai, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal mentransfer pengetahuan, tetapi juga soal menyalakan akal dan menyuburkan imajinasi.***
– Penulis adalah seorang penyair, Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.



