Oleh : Jein Oktaviany
SEMAKIN dekat kita dengan kematian, maka semakin lambatlah waktu. Itulah yang menyebabkan kenapa kematian begitu aduhai jika difilmkan dalam gerak lambat. Dulu, aku tak pernah percaya, karena tak logis rasanya jika ada seorang yang mati lalu berkata dengan nada suara berat nan bijak, ‘semakin dekat kita dengan kematian maka semakin lambatlah waktu’. Namun sekarang—sebelum beberapa jenak lagi tewas, aku percaya.
Sesungguhnya, aku tak pernah menyangka akan menjemput maut seperti ini: melayang di atas udara, tanpa bisa menggerakkan badan sedikit pun. Jangankan badan, ibu jari kaki pun rasanya tak bisa bergerak. Padahal, aku ahli dalam menggerakkan ibu jari kaki; dan calon pendaratanku, oh, baunya saja sudah membuatku muak. Mulut seekor naga sudah menganga di bawah sana. Mungkin akan sedikit empuk, tapi aku tahu bahwa aku akan mati setelah aku mendarat.
Dan sungguh, aku tak ingin memikirkan akhir hayatku saat ini. Aku ingin berkhayal hal lain yang lebih membuatku senang atau setidaknya tenang. Ajal tidak masuk dalam kategori itu. Keparatnya, kepalaku tidak menurut, karena apa yang kurasakan dari seluruh indraku begitu mendukung nuansa kematian. Hidungku mencium harum yang pernah terbayangkan saat aku membaca komik siksa neraka. Telingaku mendengar jeritan-jeritan di bawah sana: jeritan orang yang terinjak kaki naga, atau sebatas menjerit saja—aku tak tahu. Ada juga yang meneriakkan nama julukanku: dengan nada sedih, nada gembira, bahkan nada-nada sumbang. Tentu saja, susah untuk memastikan semuanya, karena hiruk pikuk itu jadi begitu lebar dan lambat saat ini. Sedangkan mataku menatap debu-debu yang tersinari matahari, sedang naik ke atas dengan lambatnya. Mungkin debu-debu itu adalah jiwa seorang yang telah meninggal, sedang terbang perlahan menuju surga. Tunggu aku, debu!
Ah, lagi-lagi aku memikirkannya! Biar kupastikan sejenak, berapa detik lagi aku akan masuk dalam perut monster itu. Hm, mungkin sembilan lebih tiga per empat detik lagi. Waktu yang cukup untuk bercerita tentang segala kekacauan ini. Karena bercerita termasuk dalam kategori hal yang membuatku ‘senang atau setidaknya tenang’.
SEGALANYA berawal dari kematian Kakek dan warisannya padaku—rumah tua yang begitu kecil. Terlepas dari kesedihan kehilangan Kakek, aku senang dengan warisannya. Sudah lama aku berharap memiliki tempat untuk membuka bisnis. Rumah Kakek yang sekarang jadi rumahku benar-benar cocok: pinggir jalan raya, berdekatan dengan kampus, alias singkatnya: harta karun.
Aku sempat berpikir membuka indekos. Namun, karena rumah tersebut terlalu kecil maka kuurungkan. Jadinya, aku berbisnis hal lain. Aku lupa kapan tepatnya aku membongkar dan merenovasi rumah dengan bantuan uang dari orang tuaku, lalu mengubahnya menjadi Jaka Fotokopi. Yang kuingat hanyalah: aku sedang merayakan berdirinya Jaka Fotokopi bersama teman-temanku di rumah tersebut dengan minum arak. Saat itu, Asep—temanku yang bekerja sebagai ‘tukang parkir hantu’ swalayan, sudah mabuk berat dan tiba-tiba terperosok di ruang tengah. Kakinya tersangkut sedalam paha. Karena kasta Asep yang merupakan ‘tukang parkir hantu’ lebih rendah daripada beberapa dari kami yang pengangguran, jadi kami hanya menertawai kesialannya. Sepulang mereka ke rumah masing-masing, dan sesudah kepalaku segar kembali, aku mengutuk Asep karena membuatku harus merenovasi lubang tersebut. Setelah itu, aku menyadari hal yang ganjil.
Alas rumah tersebut adalah ubin, tapi Asep bisa terperosok sedalam paha. Aku mengamati letak lubang itu. Aku menyadari bahwa pijakan di daerah tersebut merupakan kayu. Aku membongkar alas itu dan menemukan tangga menuju bawah tanah. Karena merasa ruang tersebut juga merupakan bagian dari rumahku sekarang, aku turun ke sana dan menemukan pakaian sialan yang sedang kupakai ini: pakaian yang akan membawaku pada kematian. Sebelum kisah ini kulanjutkan, aku ingin memastikan jarak antara tubuhku dan kematian. Hm, masih selebar karton, akan cukup untuk melanjutkan cerita ini.
RUANG bawah tanah hanya berisi pakaian dan selembar foto berukuran 4R. Aku tahu ukuran-ukuran foto. Tempatku kadang jadi percetakan amatir. Foto itu tak pernah mendapat perhatianku. Bahkan sampai ajalku sekarang pun, aku belum pernah melihat foto tersebut. Saat itu, aku terlalu terkesima dengan pakaian yang sedang kupakai ini. Pakaian tersebut terlihat seperti zirah. Pernah suatu saat, aku mencoba memukulnya dengan tangan kosong, lalu tanganku bengkak sebulan penuh dan membuat bisnis fotokopianku acak-acakan serta beberapa kali dimarahi mahasiswa karena terlalu lamban melayani keperluan mereka. Jadi, aku berpikir bahwa ini bukan zirah biasa. Teksturnya tidak seperti besi—lebih mirip kulit kadal. Warnanya bisa berubah-ubah—entah tergantung apa, aku pun tak tahu. Suatu kali, aku pernah membakarnya. Namun zirah ini masih tetap utuh. Jadi, sejujurnya, aku tak tahu pakaian yang kupakai ini apa.
Pada bulan ketiga sejak menemukannya, aku memakai zirah ini. Di luar dugaanku, pakaian yang kukenakan ternyata sangat ringan. Aku penasaran dan mencoba menenggelamkannya di sumur rumahku, tapi ia malah mengambang. Saat aku mengenakannya, aku menyadari bahwa ada beberapa hal lain di belakang tempat pakaian ini. Di sana, aku menemukan sebuah foto yang telah kusebutkan tadi, lalu sebuah kalung yang bertekstur nyaris sama seperti pakaian yang kupakai. Hanya talinya yang tidak sama. Kalung tersebut berbentuk bulat tak sempurna dan berwarna merah darah. Lalu ada sebuah pedang, yang lagi-lagi bertekstur seperti pakaiannya. Kemudian—yang selalu membuatku terpukau, ada sepasang sayap. Terakhir, sebuah topeng berbentuk naga.
Karena barang-barang tersebut satu tekstur, aku berpikir bahwa mereka sebenarnya satu, bahkan aku hanya menyebut mereka dengan kata ‘pakaian’ saja. Tentu, aku mencoba semuanya saat itu. Saat kudekatkan punggungku pada sayapnya, mereka segera menyatu. Aku merasa bisa menggerakkan sayap-sayap tersebut. Aku mencoba untuk terbang dan berhasil. Selalu berhasil. Sejauh yang kuingat, aku baru terjatuh satu kali—sekarang, saat pendaratanku adalah mulut monster. Pedangnya pun kuayun-ayunkan, dan aku tiba-tiba merasa akrab dengan senjata itu. Aku seakan-akan kesatria yang sudah lama menantikan perang. Sedangkan saat kupakai topengnya, hm, aku tidak merasakan apa-apa kecuali perasaan keren.
“Kesatria Naga!” Suara dari pinggir mengagetkanku saat itu. Aku langsung menatap perempuan tersebut. Dia berdandan seperti kebanyakan mahasiswi, memakai kacamata, dan berambut nyaris ikal yang diurai begitu saja.
Aku melepas topengku, “Kau siapa?”
“Maaf, Bang Jaka. Aku tadi mau fotokopi, cuman lama gak dateng Abangnya. Jadi aku masuk aja, dan ketemu tangga ini.” Kurang lebih seperti itu percakapanku dengannya. Aku yakin bahwa fotokopi sudah kututup sebelum aku mencoba pakaian ini. Aku segera melepas zirah dan memakai kalungnya—satu-satunya barang yang belum kucoba saat itu. Aku berharap akan merasakan sesuatu, tapi anehnya, aku biasa saja.
Aku naik ke atas dan mendapati fotokopi memang terbuka. Aku langsung melayani keinginan si mahasiswi berkacamata tersebut. Dia meminta maaf terus-menerus karena merasa menggangguku. Tentu saja aku bingung. Aku tak bisa menyalahkan perempuan itu. Dia tak salah. Lagipula, saat itu, hal ini masih belum rahasia. Namun, otakku merasa hal tersebut salah. Itu membuatku tak fokus sampai aku menggunting jari tanganku sendiri.
“Aw! Sialan!” Tapi yang terjadi benar-benar aneh. Aku merasa ada yang masuk ke jantungku. Menempel. Memberikanku rasa dari perpaduan sakit dan sembuh. Lalu aku melihat jari tanganku sedang terobati dengan sendirinya. Hal yang masuk ke jantungku tadi tiba-tiba keluar lagi. Aku menatap ke arah dada, melihat bajuku bolong di sana dan kalungku berdarah. Mulai saat itu, aku tahu fungsinya.
“Kau benar-benar Kesatria Naga.” Aku menatap lekat-lekat mahasiswi tersebut. Aku yakin dia tahu lebih tentang ini.
“Ceritakan padaku tentang Kesatria Naga-mu di ruang bawah tanah tadi. Aku akan menutup lagi fotokopiannya. Aku yakin tadi tempat ini sudah kututup.”
NAMANYA Wulan, mahasiswi itu. Dia mengawali ceritanya dengan meminta maaf dan bersumpah bahwa Jaka Fotokopi memang buka sejak tadi. Sesudah itu, dia bercerita tentang neneknya yang sewaktu muda pernah diselamatkan oleh Kesatria Naga. “Apa Kesatria Naga tak pernah menua? Kau masih terlihat seperti tiga puluhan, Bang.”
“Aku memang baru tiga puluh tahun. Lanjutkan ceritamu.” Dia melanjutkan ceritanya: sebenarnya dia pun tak tahu apa-apa, hanya tahu tentang kisah pahlawan super yang menyelamatkan neneknya. Ceritanya ternyata tak penting. Namun ciri-ciri yang dia sebutkan tentang Kesatria Naga itu benar-benar mirip dengan pakaian yang saat itu menatap kami berdua di ruang bawah tanah.
Aku menjawab kisahnya dengan kisahku yang tak tahu apa-apa. Warisan, lalu tak sengaja menemukan tempat bawah tanah dan pakaian yang menurutnya adalah Kesatria Naga. Di akhir cerita, aku memintanya untuk tidak membocorkan hal tersebut pada siapa pun. Lalu aku mengusirnya dengan lembut.
Sebelum pergi, Wulan menyebutkan usia neneknya sekarang. Hanya berbeda beberapa tahun dari usia kakekku, jika beliau belum meninggal.
SETELAH hari itu, aku jadi sering melihat Wulan ke tempatku. Tentu saja memfotokopi, atau mencetak tugas-tugasnya. Tak pernah ada percakapan di antara kami. Namun, semakin sering aku menatap Wulan, semakin aneh rasaku saat itu. Aku tak merasa jatuh cinta. Bukan, bukan perasaan seperti itu, tapi aku merasa ada yang mengganjal. Perasaan seolah-olah diteriaki di kepala, “Hey, negara miskinmu ini punya pahlawan super, loh! Dan itu kakekmu!” Sungguh kisah yang takkan pernah ingin kupercaya.
Aku sering berdiam diri di ruang bawah tanah. Sekedar menatap pakaian Kesatria Naga, atau malah mengacak-acak ruang tersebut. Sekarang, aku sadar bahwa selama berdiam di sana, aku tak lagi menemukan foto yang pernah kutemukan tapi belum pernah kulihat itu. Namun, itu tak penting. Hal yang lebih penting adalah, aku menemukan satu buku di sana. Disembunyikan dengan baik di bawah tempat pakaian Kesatria Naga. Aku membacanya. Halaman awal bertuliskan nama kakekku, Joko. Semakin kubaca semakin menambah keras teriakan “Hey, negara miskinmu ini punya pahlawan super, loh! Dan itu kakekmu!” dalam kepalaku.
Kakek menuliskan awal kisahnya menemukan pakaian ini. Dia tengah pekerjaannya untuk menemukan sesuatu, yang tak jelas apa bentuknya. Bosnya adalah pihak luar negeri, tak disebutkan negara mana. Yang jelas kakekku bekerja bersama sebelas rekannya. Mereka hanya disuruh berjalan-jalan di terowongan bawah tanah Jakarta dan melaporkan jika menemukan sesuatu. Lambat laun, beberapa pekerja meninggal misterius saat mereka mendekati terowongan di bawah Taman Wilhelmina, begitu tulis kakekku. Kakek tidak menuliskan saat ia mendekati terowongan itu, ia hanya menulis, ‘mendengar suara mengerikan, dan menemukan pakaian aneh dalam peti’ tentu saja dengan ejaan oe-oe. Setelah itu, Kakek diberhentikan, dan tugas tersebut dinyatakan selesai. Kakek tak membicarakan tentang ‘pakaian aneh dalam peti’ kepada tuannya. Kakek hanya menceritakan suara mengerikan tersebut.
Di halaman-halaman selanjutnya, tulisan buku tersebut berisi tentang kegunaan pakaian Kesatria Naga dan dirinya yang menjadi Kesatria Naga.
MASIH sejauh mana tubuhku pada kematian sekarang? Ah, masih seukuran A4. Lebih baik kuteruskan. Aku tiba-tiba tergerak untuk menjadi Kesatria Naga kedua setelah Kakek. Tentu saja, aku merasakan banyak hal akan terbantu jika negaraku yang menyedihkan ini punya pahlawan super. Aku berdiskusi dengan Wulan tentang hal tersebut. Dia sangat semangat. Dia bilang, sudah saatnya Kesatria Naga kembali. Namun, aku bingung dengan perkerjaan sampinganku ini. Sejauh mana batas-batas pahlawan super membuatku pening. Sampai akhirnya, Wulan berkata, “Intinya, jangan berkecimpung di politik. Jangan sekali-kali urus hal-hal seperti itu.” Aku, entah kenapa, setuju saja.
Akhirnya, aku membuat sebuah akun Twitter @KesatriaNaga awalnya ingin kutambahkan PahlawanSuper atau Official, tapi tidak jadi karena Wulan menatapku dengan ganas. Intinya, lewat sanalah aku mendapatkan informasi. Jika terjadi kecelakaan dan aku harus membantu, seseorang tinggal mention akun tersebut. Memang aku sering mendapatkan mention-mention aneh. Pernah seorang ayah memintaku datang hanya karena ingin anaknya berfoto bersama. Ada juga seorang gadis SMP yang ingin tahu rasanya terbang. Aku, karena merupakan pahlawan super, tentu saja tak bisa menolak.
Banyak hal terjadi setelah hal itu. Aku mempekerjakan Wulan di Jaka Fotokopi, agar saat aku jadi Kesatria Naga, dia bisa menjaga bisnisku. Ternyata, dia cukup hebat, karena sejak dia bekerja, keuangan bisnisku malah maju. Entah karena dia pintar mengelola uang, atau karena dia pintar memperlihatkan kecantikannya sehingga banyak yang datang ke Jaka Fotokopi. Aku tak peduli.
Aku pun bekerja menjadi Kesatria Naga. Ya, Kesatria Naga benar-benar tenar. Lebih laku dibanding Jaka Fotokopi. Padahal, kalo dipikir-pikir, aku tak mendapatkan uang dari pekerjaan sampinganku ini.
TELEPON berbunyi. Ini kisah tadi pagi, sudah cukup pendahuluannya. Aku mengangkat telepon tersebut, kalimat yang pertama keluar adalah “Kesatria Naga, kami butuh bantuanmu.” Aku tak pernah memberikan nomor telepon pada siapa pun untuk urusan pahlawan super. Nomor teleponku hanya untuk urusan Jaka Fotokopi. Sebelum aku menjawab, tiba-tiba telepon ditutup.
Kemudian banyak sekali mention pada akun @KesatriaNaga.
DATANGLAH aku ke tempat biadab ini, calon tempat kematianku. Warga Jakarta begitu bising. Tentu saja, salah satu monumen terbaik milik Indonesia sedang dimakan oleh seekor naga. Polisi yang dibantu tentara, atau tentara yang dibantu polisi—aku tak tahu kejadian ini tanggung jawab siapa, yang jelas mereka mengamankan tempat ini. Dan Monas, tiba-tiba menjadi camilan monster. Aku terbang dan mencoba untuk membunuh monster tersebut dengan sekali tebas. Menurut buku catatan harian kakekku, pedang ini terbuat dari gigi naga yang dicampur oleh besi dan sedikit kulit naga. Aku tak peduli sebenarnya. Intinya, pedang ini sangat berbisa.
Terdengarlah suara-suara tenang di bawah sana, mereka bersorak “Kesatria Naga, bunuh naga itu!” “Tebas!” “Potong kepalanya!” “Menghindar!” “Serang lagi!” “Bacok!” “Bakar!”.
“Lama sekali kau!” teriak seseorang dari arah samping. Ia juga terbang sepertiku, tapi tidak dengan pakaian Kesatria Naga. Ingin sekali aku bertanya siapa dirinya saat itu. Namun, kupikir pertanyaan basa-basi tersebut tak tepat saat melawan monster. “Aku yang tadi meneleponmu. Dari Kementerian Pertahanan.” Aku mengamatinya lekat-lekat. Ia sedang menaiki sebuah robot burung sebesar bis, kepalanya terlihat dari bagian yang terbuat oleh kaca transparan. Robot burung itu mirip sekali garuda pancasila. Berwarna kuning, punya tameng di tubuhnya, dan aku tak mau menghitung bulunya.
“Jadi, selama ini negara kita punya …”
“Hanya satu dan hanya aku yang boleh mengendarainya!” Sekarang robot tersebut menembakkan beberapa rudal ke arah sang monster.
“Aku harus memanggilmu apa?”
“Namaku Jenderal Wawan. Si orang pertama. Wan.” Terkadang, aku benci humor bapak-bapak.
“Dan robot itu? Garuda Pancasila?”
“Kau benar, Nak. Bantu aku membunuh naga itu. Jangan hanya diam!”
Itulah kata-kata terakhir Pak Wawan sebelum Naga tersebut menyerang ke arahnya. Aku yakin ia jarang latihan dengan robot tersebut, sampai-sampai tak ada waktu untuk menghindar. Tubuh Garuda Pancasila jatuh. Pak Wawan mencoba untuk membuat robot itu terbang kembali. Namun, sepertinya gagal.
Aku menghampiri Pak Wawan. Bertanya padanya apakah ia baik-baik saja. Tak ada jawaban yang terdengar. Ia berteriak tapi suaranya tak keluar. Ada yang rusak dari robot tersebut. Aku langsung memecahkan robot itu dengan pedangku, dan mendengar Pak Wawan memaki-makiku, “Goblok! Kenapa kau rusak?” Aku tak menjawab. Lalu bunyi-bunyi darurat terdengar. “Pergi! Robot ini akan meledak!” Satu-satunya kesalahanku adalah hal ini: aku malah melepaskan kalung Kesatria Naga dan memakaikannya pada Pak Wawan. Bis burung itu memang meledak, tapi Pak Wawan akan sembuh dari ledakan tersebut.
Aku pun terbang dan mencoba untuk melawan naga itu. Setelah beberapa kali mencoba membacok kulitnya, memenggal kepalanya, terbang ke sana kemari karena bingung, aku pun terserang, terserang lagi, lagi dan lagi, sampai semua badanku remuk dan tak bisa bergerak. Bahkan ibu jari kaki pun tak bisa bergerak, padahal seperti yang kubilang, aku ahli dalam menggerakkan ibu jari kaki. Lalu aku terjatuh, pertama kalinya sejak aku bisa terbang. Dan, ya di sinilah aku. Berada seukuran pas foto dari mulut lawanku. Aku menutup mata. Beginilah akhirnya, kita semua akan mati.
SAAT aku membuka mata, aku melihat wajah Wulan, dengan selendang di sana-sini. Dia sangat cantik. Kali ini, Wulan tak memakai kacamata. Dia mengelus kepalaku lalu merapalkan sesuatu. Aku tiba-tiba merasa bugar kembali, lalu menyadari bahwa ini bukanlah surga. “Kau kembali, Jaka. Kau siuman.”
Aku menatap sekitar sekarang. Masih seperti tadi. Monas sudah tiada. Bangunan hancur dan beberapa terbakar. Teriakan makin heboh. Ada yang berswafoto. Reporter di mana-mana. Monster itu sedang dilawan oleh—astaga, raksasa. Aku menatap Wulan kembali dengan wajah meminta penjelasan. “Aku menyelamatkanmu, tepat waktu untungnya. Di mana Jantung Naga?”
“Jantung Naga?”
“Kalung Kesatria Naga.”
“Dipakai Pak Wawan.”
Seseorang mengangkut Pak Wawan, sebenarnya bukan seseorang, tapi seekor harimau. Di depan harimau tersebut, ada seorang laki-laki yang juga menaiki harimau. Yang membuatku ingin terbahak sekaligus kaget adalah kenyataan bahwa laki-laki tersebut merupakan Asep yang masih menggunakan baju Persib yang sering dia gunakan sebagai setelan ‘tukang parkir hantu’nya. “Prabu,” kata Wulan.
“Aku menemukannya di antara puing-puing reruntuhan,” jawab Asep menurunkan Pak Wawan.
“Itu Pak Wawan,” kataku pada Wulan. Berusaha fokus untuk tidak menertawakan Asep yang menaiki harimau.
“Aku tahu,” ujar Wulan seraya melepaskan kalung Ksatria Naga dan memberikannya padaku. Aku langsung mengenakannya.
“Kalian sebenarnya siapa?” tanyaku. Aku sedikit lega melihat Pak Wawan tak terluka sedikit pun. Kalung itu benar-benar bekerja.
“Siliwangi,” ujar Asep, membuatku tertawa terbahak-bahak.
“Asep? Kau Prabu Siliwangi?” tanyaku masih dengan tawa.
“Sebaiknya kau ganti baju dulu, Prabu.” Wulan lagi-lagi memanggil Asep dengan sebutan Prabu. Asep diam sejenak dan mengamati pakaiannya. Lalu entah kenapa aku berkedip padahal aku merasa tak ingin berkedip. Asep pun sudah memakai baju serba hitam, dan ada mahkota kecil di atas kepalanya. Tetap saja, hal itu membuatku ingin terbahak. Namun, karena Asep mungkin saja Prabu Siliwangi, atau tukang sulap karena bisa mengganti baju saat aku berkedip, maka aku tak jadi tertawa.
“Dan kau, Wulan?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian.
“Anggap saja aku bidadari.” Wulan menutup wajahnya dengan selendang.
“Lalu raksasa itu?”
“Kau harus banyak belajar mitologi, Nak. Dia Gatotkaca,” jawab Pak Wawan.
KAMI benar-benar hanya diam sementara Gatotkaca melawan sang naga sendirian. Aku ingin sekali mempertanyakan segalanya pada Wulan. Namun, wajahnya berkata seakan-akan nanti dia akan menjelaskan semuanya. Aku juga ingin sekali mempertanyakan segalanya pada Asep. Namun, wajah Asep malah membuatku ingin tertawa. Dan aku tidak ingin mempertanyakan satu hal pun pada Pak Wawan. Meski wajah Pak Wawan menandakan ia ingin ditanya.
Awalnya aku ingin ikut bertarung, namun Asep, maksudku, Siliwangi, melarangku. “Selama ada Gatotkaca, kita akan menang.” Namun, tiba-tiba orang yang disebut jatuh dan menyebabkan banyak bangunan roboh. Pak Wawan bersikeras bahwa kami butuh rencana. Aku mengerti, Pak Wawan pasti dididik di tentara, tak hanya fisik tapi juga otak dan sikap yang dilatih. Sedangkan aku hanya tukang fotokopi, mengerti apa aku tentang taktik. Namun tak kusangka, aku malah bicara, “Aku setuju. Kita butuh rencana.”
Selama kami berdiskusi, Gatotkaca tetap bertempur. Pak Wawan merasa tak ada gunanya untuk menyerang monster itu, karena setiap luka akan terus sembuh kembali. Ia sudah menatap sedari tadi, dan itulah jawabannya. “Seperti naga itu menggunakan kalungmu, Nak.”
“Kalung ini, tadi kau katakan apa, Wulan?” tanyaku.
“Jantung Naga.”
Pak Wawan langsung membuat taktik. Ada berbagai macam rencana, kami menghabiskan tiga puluh menit untuk mendiskusikannya. Satu rencana yang kami sepakati adalah: Gatotkaca akan terus melawan naga sebagai pengalihan; Asep, maksudku, Siliwangi akan menyerang juga dari bawah bersama semua harimau yang bisa datang; aku akan mencoba untuk menyerang jantungnya; Wulan akan membantuku jika aku gagal; Pak Wawan akan diam karena Garuda Pancasila sudah hancur.
SATU minggu setelah kejadian itu, ternyata aku tidak jadi mati. Taktik kami berhasil, naga itu mati dan diawetkan untuk menjadi pengganti Monas. Jaka Fotokopi aman-aman saja karena memang jauh dari tempat kejadian perkara. Banyak berita dan video tiktok yang viral. Ada yang benar menceritakan kejadian tersebut sebagaimana adanya. Ada yang memakai bumbu-bumbu seperti ulah zionis, azab karena adanya LGBT, menyalahkan presiden dan gubernur, tanda-tanda kiamat, dan lain sebagainya.
Namun, aku dan Wulan malah bercinta di kamarku. Selesai setelah, kami keluar dari kamar, dan tiba-tiba Jaka Fotokopi sudah tutup. Wulan sedang memakai BH saat terdengar siulan laki-laki. Aku menatap arah siulan itu, dan berkata, “Anjir, Asep, ngagetin aja.”
“Prabu!” Wulan mengingatkanku dengan lembut. Susah sekali rasanya menyadari temanku yang memiliki kasta lebih rendah dibanding diriku sendiri ternyata adalah seorang raja.
“Maaf, kebiasaan. Ada perlu apa?” tanyaku pada Siliwangi. Aku tak tahu, apakah mulai sekarang aku harus membungkuk jika ingin bicara padanya.
“Gatotkaca mengajakku untuk minum arak di sini. Ia akan datang beberapa saat lagi.” Sebenarnya, aku ingin mencegah hal tersebut karena tubuh Gatotkaca takkan muat di rumahku. Namun, sebelum aku berkata, pintu sudah diketuk. Wulan membukanya, kali ini dia sudah memakai baju.
“Habis bercinta?” tanya suara di sana, serak dan sangat menggema. “Kau dulu bercinta dengan Joko, dan sekarang dengan cucunya? Perempuan macam apa kau ini?”
“Apa kau pernah mempertanyakan hal serupa pada Drupadi?” Wulan balik bertanya. Namun Gatotkaca—sekarang aku yakin itu Gatotkaca, tidak menjawab. Ia ternyata sudah mengecilkan tubuhnya, dan masuk lalu duduk di kursi dan membawa berbotol-botol arak.
“Ia membawa arak kayangan.” Suara Pak Wawan terdengar dari arah pintu. Ia masuk dan Wulan menutup pintunya. “Ia selalu membawa arak kayangan.”
“Ada yang diundang lagi?” tanyaku. Mereka semua menggeleng.
ARAK ini begitu nikmat. Kami semua mabuk termasuk Wulan. Saat itu, kami bercengkerama tentang banyak hal. Wulan tiba-tiba memberikan sebuah foto padaku. Ukurannya 4R.
“Aku mencurinya saat itu, tapi ini tetap milikmu.” Aku langsung melihat foto tersebut. Hitam putih. Ada Kakek menggunakan baju Kesatria Naga, Siliwangi sedang naik harimau, Wulan, Pak Wawan masih seusiaku serta tak menggunakan Garuda Pancasila, dan kaki yang besar, yang kuyakin itu milik Gatotkaca.
“Ternyata kau yang tak pernah menua, Wulan.”
Wulan tiba-tiba menceritakan semuanya. Dia ternyata adalah seorang bidadari yang selendangnya dicuri saat mandi, lalu terjebak di bumi. Sekarang, selendang itu memang telah kembali, tapi Wulan terlanjur jatuh cinta pada bumi dan dia memilih untuk berdiam dan terkadang menjadi pahlawan super jika diperlukan.
“Mungkin, kau bukan jatuh cinta pada bumi, tapi pada salah satu lelakinya saja,” komentar Gatotkaca. Ia mungkin benar, dan aku tiba-tiba sedih. Wulan malah marah-marah dan Gatotkaca pun balas marah. Pak Wawan dan Siliwangi hanya tertawa saja.
“Mereka memang selalu bertengkar,” ujar Siliwangi. Entah kenapa sekarang aku merasa ada wibawa dalam perkataannya. Siliwangi pun menceritakan kisahnya di sela-sela pertengkaran Wulan dan Gatotkaca. Tentang dirinya yang menjadi pelindung tanah Pasundan, seperti janjinya sebelum moksa. Ia pun menjawab satu-satunya kebingunganku, “Aku diamanatkan untuk memastikan kau menemukan warisanmu yang sesungguhnya, makanya aku berpura-pura sebagai temanmu dan melubangi tempat itu.”
“Sedangkan, aku diamanatkan Joko untuk mengawasimu dari jauh, Nak. Aku sering mengawasimu. Memang kau tidak terlalu awas makanya kau tak tahu. Wulan diminta untuk membimbingmu sebagai pahlawan super. Gatotkaca disuruh melindungimu. Karena itulah, saat kau akan mati saat itu, orang besar ini datang,” ujar Pak Wawan. Aku meneguk arak dan merasa merindukan Kakek.
Tiba-tiba Gatotkaca berkata, “Apa yang kau tahu tentang naga itu, Jenderal?” Pertengkarannya dengan Wulan telah usai.
“Aku tidak tahu, tapi aku pernah mendengar Joko berbicara tentang suara mengerikan di sana, dan di sanalah ia menemukan baju itu. Memang banyak rumor tentang disembunyikannya sesuatu di bawah sana, katanya harta karun VOC, tapi aku juga baru tahu bahwa VOC punya harta karun sebesar itu.”
Ada hening setelah hal itu. Sepertinya, kami semua memikirkan hal-hal ganjil tersebut. Namun, aku bukanlah ahli sejarah, dan mereka rasanya lebih ahli karena memang lebih tua dariku, bahkan abadi, kecuali Pak Wawan. Keheninganku lebih sebagai pertanda aku tak mengerti apa-apa, tapi keheningan mereka lebih sebagai pertanda bahwa mereka takut akan kemungkinan-kemungkinan lain di masa depan.
Persetan semuanya! Selama ada arak di meja, lebih baik mabuk. Kami langsung meneguk gelas masing-masing dan kembali bicara tentang keceriaan, lelucon Siliwangi jadi ‘tukang parkir hantu’, Garuda Pancasila yang rusak, pertengkaran Gatotkaca-Wulan. Lalu mereka bernostalgia tentang masa-masa lama, tentang pertemuan mereka dengan Kakek, pertempuran-pertempuran hebat lainnya. Cerita-cerita mereka menarik, benar-benar membuatku percaya bahwa negara korup ini memang punya pahlawan super dari dulu. Aku sedikit kasihan pada mereka, karena mereka adalah bagian dari sejarah negara ini, tapi aku tak pernah tahu tentang mereka sebelumnya. Sungguh, sejarah telah diubah, mungkin pada jaman orde baru.[]
- Iklan -
JEIN OKTAVIANY, lahir di Ciwidey. Aktif di komunitas Kawah Sastra Ciwidey, Prosatujuh, Sebelum Huruf A, serta Filmkemarin.