Oleh: Evie Yunianti
Di tengah semangat orang tua menanamkan nilai agama sejak dini, muncul satu tradisi yang mulia namun kerap melupakan sisi kemanusiaan: memondokkan anak ke pesantren di usia yang sangat muda. Niatnya tentu baik, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang taat, cakap membaca Al-Qur’an, dan paham agama sejak kecil. Tapi sebagaimana niat baik lainnya, cara dan waktu tetaplah penting.
Tulisan reflektif Gus Nadirsyah Hosen di media sosial baru-baru ini menggugah kesadaran kita. Beliau bercerita tentang jeritan anak kecil di balik pagar pesantren. Tangisan yang mencerminkan ketakutan karena tiba-tiba dipisahkan dari ibunya, figur paling aman dalam hidupnya. Usia 5–7 tahun adalah masa di mana anak belum matang secara emosional. Mereka belum paham makna dititipkan, belum bisa membedakan antara belajar agama dan ditinggalkan. Yang mereka tahu, tiba-tiba dunia menjadi asing, dan pelukan ibu tak lagi ada di dekat mereka.
Padahal, dalam Islam, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dari ibulah anak mengenal cinta, nilai kehidupan, dan ketenangan. Maka, ketika anak dipisahkan secara mendadak dari pelukan ibu tanpa persiapan mental yang cukup, sangat mungkin yang tumbuh bukanlah cinta pada agama, melainkan luka karena merasa asing dan ditinggalkan.
- Iklan -
Banyak orang tua merasa telah melaksanakan tugas agama dengan memondokkan anak sejak kecil. Tapi sering kali, tindakan yang diniatkan sebagai cinta justru berujung pada trauma karena minimnya kepekaan. Anak mungkin terlihat memahami ilmu agama, tapi di balik semua itu tersimpan pertanyaan pilu: “Apakah aku tidak cukup dicintai?”
Mengapa Tradisi Ini Terjadi?
Kita hidup dalam budaya yang sangat menghormati santri dan pesantren. Di sebagian masyarakat, memondokkan anak di usia dini menjadi kebanggaan sosial. Tak jarang, orang tua merasa malu jika anaknya belum bisa mengaji lancar saat usia TK, atau belum hafal juz amma ketika masuk sekolah dasar. Maka jalan pintas yang dianggap paling efektif adalah menitipkan anak ke pesantren, bahkan sejak usia PAUD.
Tekanan sosial ini semakin kuat dengan adanya narasi “semakin cepat belajar agama, semakin bagus.” Padahal, pendekatan seperti ini berisiko melupakan satu hal mendasar dalam pendidikan: kesiapan anak secara emosional dan psikologis.
Tak sedikit pula orang tua, yang karena kesibukan ekonomi atau keterbatasan pengasuhan, menjadikan pesantren sebagai solusi praktis. Pesantren menjadi “tempat aman” bagi anak, bukan karena anak siap, tetapi karena orang tua tidak sempat mendampingi.
Pandangan Islam dan Ilmu Perkembangan Anak
Islam mengajarkan pentingnya pendidikan yang bertahap dan penuh kasih sayang. Rasulullah SAW tidak pernah memaksa anak-anak untuk langsung menghafal atau menjalankan ibadah secara sempurna. Dalam banyak riwayat, Nabi memberi contoh pendekatan bertahap, mengajarkan shalat sejak usia tujuh tahun, dan memperbolehkan bermain sambil belajar.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa pendidikan anak harus sesuai usia dan jiwanya. Anak-anak tidak bisa diperlakukan seperti orang dewasa dalam bentuk mini. Mereka butuh kasih sayang, kelembutan, dan proses yang alami.
Dari sisi psikologi, teori perkembangan Erik Erikson menyebut bahwa pada usia 5–7 tahun, anak sedang berada dalam tahap membangun rasa percaya dan otonomi. Jika pada tahap ini mereka dipaksa menghadapi perubahan drastis tanpa rasa aman, maka yang muncul bukan kemandirian, melainkan kecemasan dan ketakutan.
Harapan Besar: Pelan Tapi Mengakar
Saya membayangkan sepasang orang tua yang mengajarkan anaknya dengan cara halus dan menyenangkan, pelan tapi mengakar. Memberikan pembelajaran yang terintegrasi tanpa paksaan apalagi tuntutan. Dengan pengharapan yang realistis dan positif: besar harapan mereka ingin anaknya tumbuh menjadi penghafal Al-Qur’an. Alih-alih mengirim ke pesantren di usia lima atau enam tahun, mereka berusaha mengawali dari hal-hal kecil. Setiap sore, waktu mengaji bukanlah beban, melainkan momen menyenangkan yang dihiasi berbagai cerita, pelukan lembut dan pujian. Membiasakan ke masjid pun sebisa mungkin membuat anak nyaman, bukan menakutkan. Pengajaran tentang surga dan neraka selayaknya didasari dengan cinta. Menceritakan kisah-kisah para Nabi dan Ulama’ dengan menarik, juga memberikan teladan yang baik.
Setiap akhir pekan, sepasang orang tua mengajak anaknya mengunjungi saudara yang sudah masuk di pesantren, dengan tujuan mengenalkan bukan memaksakan. Agar anak mengerti lingkungan di pesantren termasuk ramah dan bersahabat. Orang tua yang baik juga tak perlu membandingkan anak mereka dengan anak lain seusianya yang hafal sekian juz. Percayalah bahwa setiap anak memiliki kesempatan masing-masing untuk belajar.
Perlahan, dengan sendirinya di dalam diri anak akan tumbuh rasa ingin tahu. Maka tidak mustahil di suatu waktu justru si anak yang akan berkata, “Ayah, Bunda, bolehkah aku mondok?” Bukan karena ancaman dan disuruh, tetapi karena merasa siap. Karena si anak mengenal pesantren sebagai tempat yang bersahabat, bukan ruang asing yang mengubur rasa aman di masa kecil.
Pelajaran penting: bahwa cinta terhadap ilmu agama bisa tumbuh bukan dari paksaan, melainkan dari suasana hati yang aman, hubungan yang hangat, dan dari pilihan sendiri yang dihargai.
Pendekatan: Memondokkan Secara Bertahap
Alih-alih memaksa, orang tua sebaiknya mengenalkan pesantren secara bertahap. Mulai dari kunjungan, cerita positif, hingga pengalaman menginap singkat. Biarkan anak mengenal dulu tempat yang kelak akan menjadi lingkungan belajarnya. Yang lebih penting, ajak anak berdialog, apakah ia siap, apakah ia bersedia. Pertanyaan sederhana seperti, “Apa yang kamu rasakan saat berada di pesantren?” bisa membuka ruang empati yang besar.
Beberapa pesantren bahkan kini membuka program Santri Liburan, Pesantren Ramadan, atau Pesantren Weekend, ini adalah langkah maju yang mendukung transisi lembut bagi anak-anak yang masih sangat belia.
Agama dan Trauma Tak Boleh Berjalan Bersama
Tulisan Gus Nadir mengingatkan kita: jangan sampai anak kita pandai membaca Al-Qur’an, namun setiap kali mendengar ayat pertama, yang teringat justru hari ketika ia merasa dibuang. Sebab jika demikian, agama bukan menjadi cahaya, tetapi trauma yang membayangi sepanjang hidup.
Cinta sejati, dalam pendidikan maupun agama, tidak pernah berdiri tanpa kepekaan. Menitipkan anak ke pesantren bukan sekadar soal waktu atau target hafalan, tapi soal kesiapan batin dan kekuatan relasi. Jangan sampai kita terlalu fokus membentuk karakter islami, tapi lupa membentuk jiwa yang tenang.
Pendidikan terbaik dimulai dari rumah, dari pelukan ibu, dari keteladanan ayah, dari dialog yang hangat. Dan ketika anak merasa aman, agama akan tumbuh sebagai cahaya, bukan sebagai luka.
-Evie Yunianti, Guru di MI Ma’arif Pulutan, Kota Salatiga