Oleh : Latif Nur Janah
Setiap kali perawat itu mengantar makanan, aku teringat bagaimana Ibu mengantar sarapan ke kamar untukku ketika aku tengah menggarap tugas akhir kuliahku. Ibu melakukannya sebab aku kerap lupa waktu.
Dengan nelangsa, aku menyuapkan makanan itu ke mulutku tanpa kuhirau rasanya. Bahkan seandainya makanan itu dimasak tanpa bumbu sekalipun, indera pencecapku tak akan protes.
Lima bulan yang lalu, aku datang ke Jakarta. Sebuah rumah sakit umum daerah memanggilku untuk bekerja di sana. Tentu saja, selain Jakarta, aku melayangkan beberapa lamaran ke rumah sakit di kota-kota lainnya. Beberapa bulan kemudian, aku mendapat panggilan dari dua rumah sakit di dua kota yang berbeda. Sebuah anugerah sekaligus masalah.
“Ambil yang dekat saja, bisa pulang seminggu sekali,” begitu kata Ibu ketika kutunjukkan surat panggilanku. Meski aku bisa menduga Ibu akan berkata demikian, tetap saja ada kekecewaan yang tumbuh di hatiku.
“Aku juga ingin cari pengalaman, Bu,” sanggahku. Aku mengatakannya sehalus mungkin meskipun aku yakin perdebatan dengan Ibu selalu menciptakan percikan emosi yang akan membara pada akhirnya.
“Baik jika itu maumu,” Ibu memutuskan. Raut wajahnya sehambar makanan yang sekarang ini berada di hadapanku.
Jika Ibu sudah memutuskan sesuatu, ia akan lebih banyak diam. Seolah menyelami kata-katanya sendiri, Ibu lebih banyak menjauh dari anak-anaknya. Jangankan berbicara, bertatap muka saja seperti enggan. Kami; aku dan Mas Joni, paham benar dengan tabiat Ibu yang seperti ini. Kami pun harus pandai menakar apakah keputusan itu ikhlas atau hanya keterpaksaan belaka. Tapi untuk kali ini, aku tetap akan pergi: Jakarta yang kupilih.
Ibu tak memelukku ketika berangkat. Hanya kurasakan keriput tangannya saat kucium. Ia berdiri di depan pintu. Wajahnya memang mengarah ke jalan depan, tetapi aku tak yakin, matanya memandang satu titik: ke arahku. Bahkan saat aku sudah berada di dalam taksi yang kupesan, ia masih tetap pada posisinya.
Sepanjang jalan, aku meyakinkan diri bahwa keputusanku untuk pergi ke Jakarta memang yang paling baik. Sebagai seorang dokter muda, aku harus mengepakkan sayapku. Aku tak mungkin berkutat di kota yang kutinggali sejak aku kecil. Aku harus menunjukkan eksistensiku. Seperti yang selalu Bapak katakan semasa hidupnya dulu.
“Sekolahlah sungguh-sungguh, sekalipun kamu seorang perempuan.”
Bapakku seorang dokter spesialis organ dalam. Ia berpikiran terbuka. Sama sekali berbeda dengan Ibu. Terkadang, jika aku dan Mas Joni menginginkan sesuatu saat kami masih kecil, sementara Ibu bersikeras melarang, Bapak dengan caranya sendiri akan membolehkan kami.
“Buat apa, Pak? Lagipula, kalau sudah menjadi ibu rumah tangga, sekolah pun percuma,” selorohku.
Aku hanya ingin tahu bagaimana pendapat Ibu dan Bapak saat itu.
Kulihat Ibu tak menggubris kata-kataku. Ia sibuk memotong kacang panjang di meja dapur. Tetapi Bapak, dengan pandangan matanya, seolah ingin menyentil perkataanku barusan. Lantas aku ingat, jika Ibu pun seorang ibu rumah tangga dan seorang sarjana pula. Kata-kataku pastilah telah menyinggung perasaannya.
“Tidak ada hal yang tak ada manfaatnya. Apalagi sekolah.” Bapak meneruskan.
“Maksudku, kalau sudah berumah tangga,” sambungku spontan.
“Terlebih lagi itu, Nak. Akan sangat bahagia jika anakmu memiliki ibu yang pandai.”
Hari-hari bersama Bapak di meja makan harus berakhir sebelum aku sempat menyelesaikan kuliah kedokteranku. Seorang yang selalu menjadi wasit antara aku dengan Ibu telah pergi. Wasit yang sama sekali tak butuh peluit untuk merenggangkan kekakuan.
Wajah Bapak begitu saja hadir di antara suara detak jam di kamar ini dengan senyum dan tatapan matanya yang teduh. Semakin teduh dan dalam manakala aku berusaha merebah dan memejamkan mata.
Ah, bodohnya!
Kenapa aku tak pernah berpikir apa yang Ibu rasakan selama Bapak tak ada. Bagaimana hari-hari sepi yang ia lalui tanpa seorang pun di rumah.
Seorang perawat yang mengantar sarapan itu kembali melongok lewat pintu. Tentu saja untuk mengecek makananku habis atau tidak. Jika aku tak keliru, ia perawat yang baru dipindah-tugaskan ke sini. Senyumnya manis, tatapannya ramah. Dan itu cukup sedikit meredakan keenggananku untuk makan. Bagaiamana pun, aku harus sembuh dan bisa pulang.
Tentu saja aku hanya bisa berharap dan berusaha taat selama masa isolasi. Aku harus menjalankan anjuran dokter. Covid-19 harus benar-benar musnah dari tubuhku. Di atas meja, ponselku berdering. Mas Joni. Beberapa panggilan teleponnya memang sengaja tak kujawab. Aku hanya mengiriminya pesan whatsapp jika aku sedang sibuk bertugas menangani pasien Covid-19. Aku tak punya cukup waktu untuk berbincang lewat telepon.
“Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya setelah beberapa saat.
“Ya, Mas. Hanya sedikit sibuk beberapa hari ini.”
“Em…. jangan terlalu lelah. Jaga kesehatanmu.”
“Baik, Mas.”
Aku ingin berpura-pura sedang memeriksa pasien dan mengakhiri telepon, tetapi sepertinya, Mas Joni hendak mengatakan sesuatu.
“Emmm…Ris….”
“Ya, Mas.”
Tak biasanya Mas Joni terdengar begitu gelisah.
“Ibu….” Mas Joni diam sesaat, “Ibu menjalani isolasi,”
“Tapi sudah membaik. Ibu hanya berpesan agar kamu selalu menjaga kesehatan.” buru-buru Mas Joni menambahkan.
Jeda beberapa detik.
Detak jam dinding terdengar begitu bertalu-talu.
Aku memang jarang bertukar kabar dengan Ibu secara langsung. Hanya lewat Mas Joni-lah aku menanyakan kabar Ibu. Dan selama covid-19 mendekam di tubuhku, aku belum sekalipun menanyakan keadaannya. Seolah aku lupa, bahwa covid-19 bisa mendekam pada tubuh siapa saja. Bukan hanya aku yang berhubungan langsung dengan orang yang terpapar wabah.
Aku tak sanggup mengucapkan apa pun. Seolah sebongkah batu tengah terjebak di kerongkonganku dan melindas kata-kata yang ingin aku ucapkan. Teleponku dengan Mas Joni masih tersambung meski kata-kata tak terjalin. Ia menutup teleponnya setelah beberapa saat.
Pilu, kupandang senampan makanan yang kusisihkan di meja. Ada tatapan Ibu dan senyum Bapak yang melebur di atasnya. Ada aroma keriput tangannya bekas beraneka bumbu dapur terlumat sempurna.
Beberapa saat, kutekan nomor yang baru saja dikirimkan Mas Joni kepadaku. Sebuah nomor telepon rumah sakit di Solo tempat Ibu menjalani isolasi. Dengung telepon terasa begitu lama. Suara seorang perawat tersambung kepadaku. Sampai telepon itu disampaikan kepada Ibu, terngiang lagi ucapannya sebelum aku mengambil keputusan untuk pergi ke sini.
“Ha-lo…” suara Ibu bergetar.
“Bu….,” kata-kataku patah.
Aku terdiam.
Bongkahan batu yang tadi bersarang di kerongkonganku, remuk menjelma serpihan yang sempurna membuat kata-kataku tak berbentuk. Di antara isakku dan isaknya yang terdengar, aku merasakan kembali tangan Ibu yang selalu kurindu. Aku merasakan hampanya ruang tunggu di dadanya selama aku tak ada.
Gemolong, 2020—2025
Latif Nur Janah, lahir 1990. Menulis fiksi berbahasa Indonesia dan Jawa. Dua judul cerita anak berbahasa Jawa-nya; Ora Kudu Anyar dan Nggoleki Wewangen Ajaib menjadi naskah terpilih Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (2024). Bukunya, Suwung, adalah kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa (2022). Saat ini menetap di Gemolong, Sragen.