Oleh : Muhammad Aziz Rizaldi
Deburan air dengan penuh semangatnya mengabarkan kepada pesisir. Samarnya percikan panas matahari mulai menunjukkan tajinya dari timur pertanda Sidas harus menyudahi pekerjaan dapurnya lalu bergegas ke tepian, tempat biasa Darsiman dan Iman-anaknya-mendarat. Dengan persangkaan penuh harap, Sidas menambah optimis langkahnya. Di tengah harapnya, benaknya terpenuhi bentuk pendaringannya yang hanya sejimpit beras, kumbang beras, dan setitik gabah, minyak jlantah yang telah hitam saja masih dipakai berkali-kali menggoreng tempe- karena mereka akhir-akhir ini hanya bisa membeli tempe, duit di bawah bantal juga sudah tinggal kleningan saja. Tanpa sadar kakinya tersandung kayu yang masih menempel paku, alas kakinya tembus.
“Ah, Gusti polah siapa ini membuang paku di jalan! Pertanda apa ini?” Dengan sadar Sidas menggerutu lirih.
Tangannya bergerak mencabut kayu berpaku dari kakinya itu. Ia mengubah arah jalannya ke rumah mengambil bujur untuk menyumbat darah yang terkucur, keluarga itu tak pernah berpikiran untuk membeli obat merah bahkan plester. Ia langsung mengambil gelas dan minum untuk menenangkan pikirannya yang tidak-tidak dan mengucurkan air sesampainya di rumah, dibersihinya darah yang mengotori kakinya lalu membalut kakinya dengan selembar bujur.
Ia kembali lagi mengunci pintu dan bergegas menuju ke pesisir dengan sadar, waswas ada musibah lagi di jalan. Sesampainya di tepian pantai, Darsiman dan Iman sudah di darat dengan muka kecut menali kapal kecil peninggalan mertuanya agar tidak terbawa ganasnya samudra. Pirantinya melaut mulai diturun-turunkan, tangan penuh harap Sidas menerima jala dan disampirkan di bahunya. Dengan muka sumringah ia membuka mulutnya.
“Bagaimana? Apakah kita bisa beli beras hari ini?” muka berseri perempuan pantai itu penuh harapan.
“Tanyai bujangmu.” Singkat Dariman melontar.
“Ah, hanya angin yang didapat. Sewaktu pulang mengangkat jala justru kapal ini lesu, ternyata solarnya habis.” Jawab Iman dengan muka merah merekah.
“Ah, Gusti berarti benar tadi apes di jalan. Toh ternyata suami dan anakku hanya bawa tangan kosong.” Lirih mulur mungil Sidas menggerutu dan mengelus dadanya.
“Ya sudah, belum rezekinya, Nduk.” Sidas menimpal.
Ketiga manusia itu berjalan dengan langkah lesu. Perlahan ketiganya menghilang seiring dengan kencangnya angin ke arah mereka. Hanya ada suasana dingin yang mengiringi langkah pulang mereka bertiga. Tak ada kehangatan yang bakal mengisi perut mereka hari ini. Untung Sidas masih menyimpan 3 buah kerak nasi untuk mendiamkan cacing perutnya.
Usai menaruh semua piranti, Darsiman langsung menghidupi mesin motornya membawa dua derigen di keranjang belakang. Dengan penuh amarah motor itu melaju menuju pom mencari subsidi solar. Hatinya masih begitu jengkel dengan petugas pom, gara-gara pom itu kehabisan solar periuk nasinya tersendat.
“Akan kulibas kalau kosong lagi!” Gerutu samar itu selaras dengan suara angin yang mengiring.
Plang besar bertulis “Solar sedang di perjalanan” menghadangnya. Hatinya meradang, ia langsung membawa dua derigennya dan melempar ke arah petugas pom. Semua mata tertuju kepada lelaki ceking yang menyasar petugas pom yang tengah bersantai. Ia langsung mengumpat.
“Bajingan! Bagaimana bisa kosong lagi! Kemarin aku ke sini kosong! Sekarang tak ada bedanya!” Amarah yang telah terjebak di hatinya akhirnya tumpah ruah ke lelaki bersepatu di hadapannya.
“Tenang, Pak, tenang!” Lelaki itu turut meluapkan nada lancangnya.
“Tenang bagaimana! Aku disuruhmu tidak melaut esok hari! Kau mau aku sekeluarga mati kelaparan!” Dengan nada meninggi.
Hanya uluran dua derigen yang menjawab amarah itu. Tangan perkasa pelaut itu langsung menyerobot dan pergi dengan cepat. Mukanya tambah merekah, ia bingung mau mencari pom sebelah mana lagi, sedangkan yang menyediakan solar subsidi hanya pom sialan itu. Telapak tangan penuh kapal mengubah haluannya ke arah rumah sejawatnya, pasti ia sudah mendarat juga. Dengan cepat ia melaju ingin meluapkan pikirannya.
Lelaki bertubuh mungil dan bungkuk terlihat sedang mengibaskan kaos partainya untuk menghilangkan keringatnya. Benar saja, Jariman sudah di rumah. Darsiman yang masih menekuk mukanya langsung menyetandar motornya dan mendekati Jariman.
“Bagaimana periukmu? Aman?” Tanpa basa-basi, Darsiman langsung menembak.
“Hahaha, kamu ngeyel. Kubilang sudah beli saja solar di juragan Kanto.” Jariman sudah tahu apa yang dimaksudnya.
“Bajingan pom itu! Kosong lagi! Harus kumasak apa besok kalau tak bisa melaut!” Umpat Darsiman.
“Beli di juragan Kanto kubilang!” Dengan ketus, Jariman memberi solusi ke temannya yang ngeyelan itu.
“Harganya itu yang tak masuk akal! Di pom saja hanya 6 ribu masa dia jual 10 ribu. Buntung yang ada.” Darsiman kekeh dengan pendiriannya.
“Kalau tak mau makan ya monggo tunggu pom itu ada solar, hahaha.” Cengengesan kecil lelaki bungkuk itu menutup ruang suara.
Kedua sahabat itu kini melamun memikirkan periuk masing-masing. Otak Darsiman berkecamuk ragu mengambil jalan pintas sahabat dari kecilnya itu. Jika dipikir-pikir tentu ia bakal mengeluarkan duit lebih banyak jika beli solar kepada juragan Kanto. Akan tetapi, sebaliknya jika ia tak mengambil jalan pintas itu, keluarganya bakal mati konyol karena pendiriannya.
“Ya sudah aku laksanakan masukanmu itu!” Ketus Darsiman mengambil keputusan.
“Masih ingat rumahnya kan, hahaha.” Bahagia Jariman melihat sahabatnya itu melunak.
“Sama saja bajingan kau!” Darsiman menggentak dan tak kaget dengan watak sahabatnya itu.
Darsiman sudah menemukan jalan pintasnya, walaupun memang ia harus mengeluarkan modal lebih. Mau tidak mau itulah yang harus diambilnya, demi dapurnya masih mengeluarkan asap. Dari kejauhan ia melihat mobil box hitam diselimuti terpal keluar dari pekarangan Juragan tanah itu. Darsiman melihat juragan Kanto berdiri memandangi mobil box itu melaju sampai hilang. Ia tak menggubrisnya, ia hanya mengurus perutnya. Darsiman langsung membawa 2 derigen itu ke hadapan juragan Kanto dan memberikan sejumlah uang. Tanpa banyak kata Darsiman menunggu pelayan juragan Kanto menyelesaikan tugasnya. Di bawah pohon kelapa ia menyulut klobot yang selalu dibawanya melaut. Lelaki ceking itu tengah menikmati kebrisikan isi kepalanya yang terus berdentang meluap serupa air bah yang meruah-ruah. Kepulan asap itu terus berhembus dari bibir mulut yang sudah legam, keluar dengan berbagai kerisauan akhir-akhir ini.
“Sudah ini, Pak.” Seruan itu rupanya tak menggoyahkan Darsiman.
Lelaki bujangan yang membawa nota itu menepuk bahu kurus Darsiman. Darsiman terkaget dan nyaris tersundut mulutnya.
“Oh, sudah ya? Matur nuwun.” Suara yang keluar dari mulut letih lelaki pelaut tua itu.
Hanya ada setitik harapan yang mengiringi desingan mesin motor yang minta dibawa ke montir, Ia tak menghiraukannya. Dua derigen itu mampu meredakan perang pikirannya, ia merasa tentram selama perjalanan itu. Akan tetapi, hal itu tak kekal. Setibanya ia dengan dua derigen itu di hadapan pom, mobil box hitam berterpal itu nampak di kedua bola matanya. Jelas itu mobil yang tadi meluncur dihadapannya saat sampai di warung juragan itu. Tak salah lagi, kepalanya masih begitu tergambar mobil yang membuat truk-truk pengangkut pasir dan beras itu mengantri.
“Oh, bajingan tengik itu!” Umpatan keras itu spontan menghiasi laju motor bodong yang terus menyusur harapan sampai menghilang di dunia.
Purbalingga, pagi hari 20/02/2025
Muhammad Aziz Rizaldi lahir di Purbalingga pada 23 tahun lalu. Ia mulai aktif menulis sejak tahun 2021. Beberapa tulisannya sudah termuat di media lokal seperti cerpen Mata yang Buta, esai berjudul Kemerdekaan Tokoh Amba sebagai Perempuan (SASTRAMEDIA), cerpen berjudul Lelaki Tua yang Merintih dan Tewas Tergilas Kegilaan Zaman (Republika.id), esai Menelisik Realita Sosial dalam Novel 86 Karya Okky Madasari (Nongkrong.co), esai Tokoh Utama yang Menyimpang dari Jalur Norma Sosial dalam Bahrul Ulum (Jaringan Santri), cerpen Lelaki Tua yang Tabah dan Tiada yang Bakal Dirindu (Harian Bhirawa), cerpen Kambing Kemiskinan dan Pak Carik (Redaksi Marewai), Manusia Sungai (skspliterary.com), dan masih ada beberapa lagi. Ia kerap aktif di media sosial Instagram: muhammadazizrizaldi dan Facebook: Muhammad Aziz Rizaldi.