Oleh : Sri Rohati
“Bagaimana burung burung bisa hadir di sini”, tanya Firda pada Reni ketika mereka duduk menikmati teh sore di teras rumah Reni yang cukup besar untuk ukuran rumah di kota Semarang ini. Di sekeliling teras berjajar bunga melati yang sedang mekar membuat teras itu kian asri.
Ditanya seperti itu Reni hanya tersenyum. Setelah meletakkan sekantong kelengkeng di meja tamu Reni menyahut, “ yaa karena mereka suka dengan aroma keringatku kali ya !” Ia terbahak.
Firna memanyunkan bibirnya lalu melempar sebiji kelengkeng ke wajah Reni . Yang dilempar sudah tanggap, ia menghindar lincah lalu menghambur ke halaman di depannya. Halaman yang ditumbuhi rumput jepang . Beberapa burung merpati masih nyaman mematuk biji bijian yang ditaburkan di atas rumput. Reni menghentakkan tangannya menggoda ke arah burung- burung itu. Merekapun terbang menghindar. Kepaknya meninggalkan deru udara kecil yang menghangatkan suasana. Senyum Reni kian mengembang memandang mereka terbang ke atas rumah. Lalu mereka turun lagi tak jemu jemu. Firda merasa terhibur dengan adegan di depannya.
Dalam hati Firda masih bertanya tanya dari mana burung – burung ini ? Di sekitar rumah Reni tak ia lihat kandang atau warga yang mempunyai burung sebanyak ini. Alih alih beternak burung, punya rumah kecil dan lahan beberapa meter saja sudah sangat bersyukur di pusat kota padat ini . Mana mungkin mereka punya gagasan tak masuk akal dengan memelihara merpati, selain memerlukan pakan cukup banya juga tak menjanjikan rupiah karena dagingnyapun jarang yang mau membeli. Merpati hanya indah untuk dijadikan burung simbol kebebasan di acara- acara kusus.
Ia pernah sih, melihat merpati di pinggir kampung sana. Tapi merpati di sana adalah merpati tempel yang digemari para pemuda untuk mengisi waktu luang di sore hari. Mereka mengadakan lomba merpati tempel dengan cara memisahkan si betina dan si jantan dalam jarak yang berjauhan. Saat paling asyik adalah pada saat melihat merpati itu saling terbang mendekat dan bertemu dengan kekasihnya. Sebab itulah disebut merpati tempel, selalu menempel karena sudah cinta mati.
Tapi yang ia lihat ini bukan merpati tempel, tapi merpati bebas. Seperti yang ia lihat di alam bebas. Di udara merpati ini tampak sekecil semut, terbang bergerombol. Lalu mereka pelan pelan turun untuk mematuk biji bijian yang jatuh ke tanah atau remah remah makanan yang dibuang oleh orang -orang.
Reni masih berjongkok, menunggui burung burung bersayap putih itu mematuk makanannya. Tak lama kemudian dari arah pintu pagar, seorang ibu datang membawa bungkusan. “ Matur nuwun Bu..” ujar Reni setelah beberapa saat berbicara. Firda kurang mendengar apa yang dikatakan ibu ibu yang baru datang tapi tampaknya Reni sudah terbiasa menerima kedatangannya. Reni mengantar kepergian ibu itu sampai di tepi jalan lalu kembali ke tempat Firda duduk.
Ia meletakkan bungkusan itu dan membukanya. Tampak nasi kuning masih hangat beraroma gurih menggoda. Lengkap dengan ayam goreng, perkedel dan lalapan , tertata rapi dalam beberapa wadah susun terpisah. “Lihat, rezeki hari ini, “ ujar Reni seraya mengerling pada Firda . Lalu bergegas ke belakang dan kembali dengan dua piring kosong.
Usai menyisihkan separohnya untuk suami Reni nanti kalau sudah pulang kerja, mereka lantas menikmati sisanya sambil menyaksikan tarian merpati merpati di halaman.
“ Siapa tadi ibu ibu itu ? “ tanya Firda.
“Ibu mertuaku, “ Reni mengambil sebutir kelengkeng dan dikupasnya dengan jari jarinya yang lentik usai menuntaskan makannya.
“ Hmmm betapa nyamannya. Seperti princes saja makanan diantar oleh mertua sendiri,” kata Firda sambil menatap lekat wajah Reni karena ia merasa tak percaya. “
“ Ya, begitulah,” sahut Reni datar.
“ Resepnya disayang mertua dong, kasih tahu, “rengek Firda yang baru dua bulan menikah.
“ Mengalah saja. Kalau dia bicara banyak kita dengarkan. Kalau dia berhenti bicara baru kita yang bicara, “ jawab Reni seperti penasehat perkawinan. Pernikahan itu punya tantangan yang tak sama Fir. Mungkin karakter mertua kamu berbeda dengan mertuaku, jadi cara melayaninya juga berbeda, “ tambahnya.
Firda manggut manggut. Ia merasa bahwa ia harus banyak belajar dari Reni untuk menjadi menantu yang disayang mertua.
Seekor kucing liar datang dan mengeong. Reni melempar sisa tulang ayam , lalu binatang itu menggodolnya ke jalan . Makin sore burung -burung kian sedikit yang datang. Kiranya biji bijian dan sisa nasi kering yang ditebar Reni sudah mau habis.
Mirip dengan Firda yang juga beranjak dari kursinya , “ Pamit dulu ya Ren, salam buat mereka, “ Firda menunjuk burung burung itu dengan dagunya lalu tertawa berlalu.
Saat itulah sebuah motor memasuki pintu pagar. Suami Reni sudah pulang dari tempat kerjanya. Dengan wajah sumringah Reni segera menyambut suaminya.
Di ruang makan nasi kuning segera terhidang di meja. Sembari menunggu suaminya mencuci tangan dan berganti baju Reni memanaskan air. “ Banyak kerjaan hari ini, ya, “tanyanya mengusir sepi.
“ Lumayan, taman yang dikerjakan agak besar, milik pemda, “ jelas suaminya . “ Siapa yang tadi?”
“ Firda, teman kerja ,” jelas Reni seraya meletakkan toples berisi camilan.
“Nasi kuning dari Ibu , ya ? “ Aryo, suami Reni yang seorang pembuat taman itu mulai menyendok nasi kegemarannya. Ia mengunyah nasi dan lauknya, merasakan masakan khas ibunya.
Reni tak menjawab, kini ia sibuk menyedu teh jahe hangat yang asapnya mengepul . Aromanya harum memnuhi rongga hidungnya. Ia menghirup dalam dalam lalu membawanya ke meja makan. Ia membuat dua cangkir satu untuknya dan satu untuk dirinya sendiri. Dengan hati hati ia memasukkan gula batu secuil dalam cangkirnya dan memasukkan potongan lebih besar ke cangkir milik Aryo. Reni memang tak begitu suka manis .
Ketika mereka bersiap menyeruput teh jahe hangat itu pintu depan yang tak dikunci terbuka, ibu Aryo masuk. “ Gimana nasi kuningnya ? Enak, kan? “ Wanita itu mendekati Aryo dan memandang wajah anak lelakinya, seorang pria dewasa yang sudah punya istri , tetapi ia selalu memperlakukan Aryo seperti anak anak saja.
Reni tersenyum tipis pada ibu mertuanya dan segera mengambil satu cangkir kosong untuk membuat teh jahe hangat untuk ibunya. Ketika memenukan toples wadah gula jawa habis ia menjadi ragu. “ Ibu teh jahenya ngagem gula batu , nggih, gendis jawine telas.” Ia menoleh pada mertuanya.
“Yo, ra cocok aku, “ balas ibunya tanpa menoleh. Ia telah sibuk mengobrol dengan Aryo tentang pekerjaan Aryo, kenapa pulat agak telat dan lain lain yang tak semua bisa masuk ke telinga Reni.
Istri Aryo ini hanya diam, tak membuat teh lagi. Ia bingung membuat minuman apa. Akhirnya ia beranjak menyisir seisi rumah untuk menutup semua jendela dan pintu . Lalu ke garasi untuk memarkir motor Aryo yang tadi masih di teras. Tak lupa mengamankan pakan burung yang ia simpan di pojok garasi . Beberapa pakaian juga ia angkat dari jemuran. Dari tempat jemuran ia bisa melihat langit sudah mulai berwarna tembaga. Awan awan berwarna keemasan tertempa sinar matahari senja. Ia sedikit terhibur dengan pemandangan indah itu. Terbayang wajah ke dua orang tuanya yang kini berada jauh di Klaten sana. Tanah kelahirannya yang memberikan banyak kenangan. “ Semoga bapak dan ibu sehat sehat saja. Kangen rasanya ingin pulang, “ bisik hatinya.
Baru satu tahun ia mengikuti suaminya di Semarang ini bagi Reni sudah serasa bertahun tahun. Kemarin ibunya telpon , dari percakapan itu sebenarnya Reni tahu ibunya merindukan hadirnya seorang cucu dari dirinya dan Aryo. Tagi gimana lagi memang Allah belum memberikan.
“ Piye? Kamu krasan kan di Semarang? Ibunya Aryo sehat sehat saja, kan? “ ucap ibunya di telepon kemarin .
“Inggih Bu, sae. “ jawab Reni. Terbayang wajah ibunya yang teduh. Ia selalu memantau kabar dari putrinya , seakan ingin merasakan kebahagiaan yang dialami putrinya. Pun merasakan kedukaan misalnya sang putri tengah dalam kabar yang duka. Renilah putri bungsu yang terakhir menikah dari tiga saudaranya. Reni masih ingat mata ibunya berbinar kala Reni mengatakan bahwa sebentar lagi akan ada lelaki yang ingin melamarnya. Ibunya yang senantiasa bersikap wajar menghadapi apapun kala itu tak berhasil menyembunyikan rasa senangnya. Ia peluk Reni dengan penuh kehangatan sambil bibirnya tak henti henti mengucap syukur pada Allah.
“ Kamu sudah tinggal di sana, baik baiklah dengan keluarga Aryo, mereka adalah gantinya orang tuamu di sini. Kalaulah ada perbedaan ya selesaikan dengan baik baik, “ Ibunya menambahkan nasehat dari seberang sana. “Tapi satu hal Ren, kamu jadilah wanita yang tangguh. Wanita yang Tangguh itu adalah Wanita yang bisa menolong dirinya lalu bermanfaat bagi sekitar.”
Lamunan Reni terputus oles suara adzan magrib yang berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumahnya. Ia mendesah mengingat apa yang dikatakan ibunya kini menjadi kenyataan. Ia harus berusaha menjadi wanita tangguh apapun yang terjadi.
Reni bergegas masuk rumah sambil membawa jemuran kering. Di pintu ia berpapasan dengan mertuanya. “ Ibu mau pulang dulu, besok kamu ambil sayur asem dan lauknya di rumah sebelum berangkat kerja. Biar Aryo tidak terburu buru sarapannya. Kalau terburu buru ibu takutnya di jalan juga ngebut, jadi kurang hati hati kalau sudah begitu,” perintahnya sambil berlalu.
Reni mengangguk sopan, “ inggih Bu, besok saya ambil sebelum kerja .” Reni memang bekerja di sebuah CV sebulan yang lalu . Di sana ia memegang bagian admnistrasi kantor sesuai dengan pendidikannya Diploma perkantoran. Ia sangat senang diterima di sebuah CV meski gajinya tidak begitu banyak. Yang terpenting ia ada rutinistas harian untuk mengisi waktunya dan bisa keluar rumah.
Sebelumnya mendapatkan pekerjaan waktunya ia habiskan untuk membaca buku dan mengobrol dengan burung burung. Pada burung- burung ia bercerita kalau dirinya sangat rindu dengan orang tuanya di Klaten saja. Ia inging pulang sesekali tetapi Aryo tak ada waktu untuk menemaninya pulang karena pekerjaan yang menumpuk di kantornya. Mau pulang sendiri rasanya tak elok, seperti seorang istri yang kabur dari rumah saja, pasti akan membuat ibunya bertanya tanya. Ia menumpahkan rasa kangennya pada burung- burung. Di sela sela itu ia mengkayalkan burung burung itu terbang sampai ke rumahnya. Di sana mereka menyampaikan rasa rindu itu melalui surat yang ia selipkan di kaki, seperti dongeng anak anak dahulu. Seperti di film film legenda kerajaan pada masa dulu, dimana burung menjadi sarana untuk berkirim surat. Ia kadang menertawakan kegilaan idenya. Tapi ia bahagia masih bisa berkayal seperti anak – anak .
Ketika Reni sampai di meja makan Aryo sudah tidak tampak. Hanya tinggal piring kosong, secangkir teh jahe yang sisinya tinggal separoh dan secangkir penuh teh jahe yang mulai dingin . Reni mengambil cangkir yang penuh dan meneguknya pelan – pelan.
Detak jam dinding mengisi sunyi yang tercipta. Reni mengambil air wudlu dan menenggelamkan dirinya dalam dzikir panjang sampai dengan isya menjelang sementara Aryo pergi rumah ibunya . “ Hamba sandarkan harapan hanya pada Ya Gusti Allah. Kau pisahkan apapun yang kucintai dariku, tapi ini pasti hanya untuk sementara. Saat inilah kau memberiku waktu, untuk membenahi diri, menyucikan hati tanpa seorang pun yang datang mengganggu.”
Air matanya menetes pelan. Sebuah rasa lega muncul kala ia menyadari bahwa Allahlah teman sejati. Ia yang lebih dekat dari urat leher. Reni berusaha memahami ayat itu meski kadang pemahaman itu kabur oleh rasa putus asa ketika ia merasa diabaikan di rumah ini. Tapi ia bangkit lagi, mohon pertolongan pada Allah gar mengokohkan hatinya. Ia tahu, Allah Maha besar, lebih besar dari persoalan yang dihadapinya.
Usai memanjatkan doa ia mengambil buku kecil yang ia taruh di lemari, lalu menulis jurnal syukur di sana :
Hariku indah, burung burung datang hilir mudik, mematuk, mengepakkan sayap dan saling bercengerama ria di halaman seeprti hari hari kemarin. Sudah beberapa bulan ini mereka datang menghibur hatiku, menemani kesendirianku di rumah besar ini. Firda, teman baruku dari CV menanyakan dari mana datangnya burung- burung. Aku aku menjawab pertanyaan indah itu. Syukurlah masih ada seorang teman yang mempertikan diriku.
Hariku indah, pekerjaan yang kudapatkan ternyata tidak terlalu berat. CV belum lama berdiri jadi omset masih sedikit, kami para pegawai bergantian masuk selang sehari. Rupanya Allah masih menguji kesungguhan hatiku untuk bekerja di luar rumah. Tak apa, semua akan lebih indah pada waktunya.
“Hariku indah, sebuah kiriman nasi kuning hadir di meja makan. Syukurlah aku tidak perlu memasak seperti hari hari biasa. Hampir satu tahun aku di sini, alhamdulilah Allah menjadikanku seperti Maryam, yang makanannya selalu dikirim dari langit tanpa mencari lagi. Langitku adalah mertuaku sendiri, hehe.
Hariku indah, suaminya pulang dengan tenang seperti biasa. Aku yakin di keluarga yang lain mungkin saja seorang suami pulang dengan wajah muram. Aryo bermuka cerah, ia tetap memuji masakan ibunya dan berbincang dengan riang. Syukurlah , Engkau memberiku waktu lebih banyak bersahabat denganMu saat ia belum begitu banyak memperhatikanku.
*******
Sepulang kerja Reni menerima tawaran Firda untuk mampir di kedai bakso.
“ Jadi, darimana asal burung – burung itu Ren, “ tanya Firda tiba-tiba, ketika menyendok butiran bakso di mangkoknya yang masih panas.
“ Jadi kamu menyuap aku dengan bakso demi tahu di mana rumah mereka? Penting banget , ya info ini ? “candanya menggoda Firda.
Firda hanya tersenyum, ia menekan rasa penasarannya . Lalu melihat Reni yang menatap jauh ke jendela kedai. Firda melihat mata itu tiba-tiba tersaput mendung .
Reni mulai bercerita dengan suara lirih . “Suatu kali aku merasa sunyi di rumah seorang diri, mana Aryo pulangya menjelang magrib terus setiap hari. Suatu hari lewatlah seorang penjual burung di depan rumah. . Ia beristirahat di pohon karena cukup panas di siang itu. Saat akan membuang sampah ke TPA, bapak penjual itu minta ijin untuk beristirahat. Kulihat wajahnya yang kuyu , aku kasihan , lalu kubelilah dagangannya 2 pasang merpati . Kupikir kalau yang dua mati masih ada 2 lagi hidup, maklumlah aku belum pernah memelihara burung. Bapak penjual itu sangat senang , Ia bahkan berjanji besok akan kembali lagi untuk membawakan rumah bagi merpati merpati itu. Dan mengajariku untuk memberikan pakan apa saja yang membuat merpati sehat sehat dan lincah. Sejak itu, setiap hari pagi dan sore aku memberinya makan . Makin lama makin jinak mereka. Meski pintu sangkar terbuka tak pergi ke mana – mana, hanya beterbangan di sekitar halaman. Suatu hari mereka pergi seharian, baru pulang saat matahari sudah hampir tenggelam. Paginya beberapa burung merpati datang bertamu. Setiap hari jumlah tamu bertambah dan bertambah. Akhirnya aku menambah stok makanan dan sampai hari ini burung burung itu selalu berkunjung setiap hari.”
“Hmm… kukira seorang princes tak bisa kesepian, “ ujar Firda.
Reni tersenyum tipis, lalu menghela nafas .“ Tak seperti yang kau kira, sudah satu tahun ini aku selalu sendiri. Meski makanan selalu ada bahkan aku tak pernah menyalakan kompor selain untuk menjerang air, rasa sepi itu menghimpitku. Begitu aku datang ke rumah Aryo usai menikah, kakak Aryo satu satunya meninggal. Ibunya yang hanya punya dua anak tiba-tiba mengalami trauma takut kehilangan anak satunya, Aryo. Maka ibu mertuaku sejak itu tak bisa jauh jauh dari Aryo. Bahkan setiap malam kami harus berpisah karena Aryo harus menemani ibunya di rumah besarnya sampai ia tertidur, baru pulang larut malam . Paginya aku dan Aryo ketemu saat makan pagi dan sorenya ketemu untuk sekedar makan atau minum teh bareng. “
“Reniii…,” bisik Firda sambil memeluk tubuh Reni dalam rengkuhannya. Setetes air mata bergulir di pipi Reni. “ Maaf, ya pertanyaanku, harusnya kau tak usah menjawabnya.”
“ Terimakasih Fir, sudah mendengarkan ceritaku. Kurasa Allah sudah mengirim seorang sahabat sebagai penghibur seperti burung burung itu.” Reni melepas pelukan dan tersenyum. Dalam hatinya ia berjanji untuk terus menjadi Wanita Tangguh.
Sri Rohati, Guru di MTs Ma’arif NU Kemalang Klaten . Pecinta sastra dan punya kegemaran menulis . Buku solonya yang sudah terbit adalah Awet Muda Bersama Siswa dan Kumpulan Puisi Pecinta Langit, disamping beberapa buku antologi yang terbit sejak tahun 2018.
wah relate ya…hehe, saya punya banyak merpati dan tinggal di rumah mertua…