Oleh Yuditeha
Di balik meja pengajaran, seorang guru seringkali mengenakan berbagai topi: sebagai pendidik, sebagai konselor, bahkan sebagai penjaga masa depan bangsa. Setiap langkah yang diambil, setiap kata yang diucapkan, selalu berangkat dari niat mulia untuk membentuk karakter dan masa depan murid. Namun, di tengah pergulatan ini, muncul dilema besar yang tak kunjung usai: bagaimana cara mendisiplinkan tanpa terancam oleh hukum?
Dalam masyarakat yang semakin mengedepankan hak individu dan mengurangi otoritas pengajaran, seorang guru kini harus menghadapi tantangan ganda. Tidak hanya berjuang untuk mendidik, tetapi juga harus menavigasi medan hukum yang semakin kompleks. Setiap langkah disiplin yang diambil, baik itu berupa teguran, peringatan, atau bahkan hukuman fisik yang sudah jarang diterapkan, dapat menjadi petaka yang berisiko mengarah ke tuntutan hukum. Dalam konteks ini, kita perlu bertanya: apakah proses mendisiplinkan murid telah terperangkap dalam jaringan ketakutan yang disebabkan oleh ancaman hukum?
- Iklan -
Antara Niat dan Risiko: Guru sebagai Penjaga Masa Depan atau Tersangka?
Seorang guru, pada dasarnya, bertugas untuk mengarahkan, mengasah potensi, dan menanamkan nilai-nilai moral pada murid-muridnya. Namun, terkadang tindakan yang dilakukan dalam rangka mendisiplinkan murid, seperti mengingatkan atau memberikan sanksi, malah dapat berbalik menjadi senjata yang mengarah pada masalah hukum. Di era di mana peran hukum begitu mendominasi, banyak guru merasa berada di ujung tanduk setiap kali mereka harus mengeluarkan peringatan keras atau memberi sanksi yang tegas.
Pendidikan, terutama di ranah sekolah, bukanlah hanya soal transfer ilmu pengetahuan. Ada dimensi moral yang tak kalah pentingnya: bagaimana membentuk karakter murid agar tidak hanya pintar dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki rasa tanggung jawab, disiplin, dan integritas. Disiplin, dalam hal ini, bukan sekadar soal memberikan hukuman jika ada kesalahan. Disiplin adalah bagian dari proses pembentukan karakter yang mengajarkan murid tentang batasan, konsekuensi, dan tanggung jawab.
Namun, dalam realitas yang ada, seringkali niat baik seorang guru untuk mendisiplinkan murid malah dipandang dengan kecurigaan. Misalnya, seorang guru yang dengan tegas memperingatkan murid yang berbuat salah, atau bahkan memberi hukuman ringan berupa tugas tambahan, dapat saja dituduh melanggar hak asasi anak. Lalu, pertanyaannya muncul: apakah niat baik seorang guru untuk mendidik dan mendisiplinkan murid kini harus terjepit antara niat tulus dan kekhawatiran akan risiko hukum?
Disiplin yang Mengubah Karakter atau Sekadar Hukuman?
Di titik ini, kita harus mempertanyakan lebih jauh: apakah setiap tindakan disiplin yang dilakukan guru benar-benar berlandaskan pada tujuan mulia untuk mendidik? Atau, adakah kecenderungan di kalangan sebagian guru untuk sekadar menghindari masalah dengan memberikan hukuman, tanpa mempertimbangkan apakah hukuman itu benar-benar bermanfaat untuk pembentukan karakter murid?
Seringkali, kita melihat tindakan disiplin yang dilakukan oleh guru hanya sebatas reaksi terhadap perilaku buruk murid tanpa pemikiran yang mendalam tentang dampaknya. Hukuman fisik, meskipun telah dibatasi dan jarang diterapkan, kadang-kadang masih menjadi pilihan ketika guru merasa tidak ada alternatif yang lebih efektif. Tetapi, sejauh mana tindakan ini benar-benar mendidik?
Jika kita menelisik lebih dalam, seharusnya disiplin tidak identik dengan hukuman. Disiplin seharusnya merupakan upaya membentuk kebiasaan baik dan rasa tanggung jawab dalam diri murid. Jika guru hanya mengandalkan hukuman sebagai cara untuk mengendalikan murid, maka yang terbentuk adalah ketakutan, bukan pemahaman tentang akibat dari perbuatan yang dilakukan. Hukuman, dalam banyak kasus, lebih sering mengarah pada pembalasan daripada proses pembelajaran.
Membentuk Karakter atau Takut Dituduh?
Lalu, kita sampai pada pertanyaan penting lainnya: di balik semua tindakan disiplin yang dilakukan oleh seorang guru, apakah yang sesungguhnya ingin dibentuk adalah karakter atau justru rasa takut terhadap hukuman? Ini adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh setiap pendidik.
Ketakutan terhadap hukuman hukum yang datang dari luar dunia pendidikan kerap kali mengarah pada dua hal: pertama, guru menjadi terlalu berhati-hati dalam bertindak, bahkan hingga menghindari tindakan yang seharusnya dilakukan demi mendidik murid. Kedua, guru dapat terjebak dalam pola mendidik yang pasif, di mana mereka lebih fokus untuk menghindari risiko daripada benar-benar menanamkan nilai-nilai moral kepada murid.
Ada juga realitas di mana guru merasa terpojok, dibebani oleh aturan yang terkesan tidak mendukung mereka dalam menjalankan tugas mulia mereka. Dalam hal ini, mereka hanya bisa berharap murid-muridnya tumbuh dengan sendirinya, tanpa sentuhan disiplin yang kuat. Ironisnya, di saat seperti ini, justru peran guru yang semestinya menjadi pembimbing dan pengarah, malah tereduksi menjadi sosok yang hanya mengisi jam pelajaran tanpa dapat melakukan peran mendalam yang seharusnya dimilikinya.
Tantangan Hukum dan Dilema Moral
Namun, di balik semua itu, ada realita yang lebih keras. Seiring dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, kebijakan hukum yang semakin ketat, dan semakin berani nya orangtua atau murid dalam melaporkan tindakan guru yang dianggap tidak sesuai, para pendidik merasa terancam. Dalam beberapa kasus, seorang guru yang memberikan teguran keras atau bahkan mengeluarkan hukuman ringan, bisa saja dilaporkan dengan tuduhan kekerasan atau pelanggaran hak anak. Ketakutan ini, meskipun beralasan, sebenarnya turut menggerus kualitas pengajaran.
Apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan dilema ini? Di satu sisi, pendidikan harus tetap mengedepankan disiplin yang baik, namun di sisi lain, guru tidak boleh merasa terancam oleh hukum yang bisa datang kapan saja. Dalam hal ini, kita perlu meninjau kembali sistem pendidikan kita, dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi para pendidik yang melakukan tindakan disiplin berdasarkan niat tulus dan dengan pendekatan yang mendidik.
Solusi: Menyelaraskan Disiplin dengan Pendidikan
Solusinya bukanlah mengurangi peran disiplin dalam pendidikan, melainkan menciptakan sebuah keseimbangan antara hukuman dan pembelajaran. Disiplin harus diterapkan dengan pendekatan yang berbasis pada pemahaman, dan bukan hanya untuk menghindari perilaku buruk semata. Pendidikan yang efektif tidak hanya mengajarkan pelajaran di dalam buku, tetapi juga tentang kehidupan, tentang konsekuensi perbuatan, dan tentang membangun karakter.
Sekolah harus menjadi tempat di mana nilai moral dan akademik berjalan beriringan. Guru, yang bertugas sebagai pengarah, perlu diberi pelatihan untuk menangani masalah disiplin dengan cara yang konstruktif, dengan memahami aspek psikologis murid, bukan hanya melalui cara-cara fisik atau hukuman yang dapat menambah jarak antara guru dan murid. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, peran guru sebagai penjaga masa depan bangsa tidak bisa disamakan dengan penjaga penjara.
Di akhir hari, guru seharusnya tidak terjebak dalam rasa takut, tetapi dapat melangkah dengan penuh keyakinan bahwa setiap tindakan yang mereka ambil, meskipun keras, tetap berakar pada niat mulia untuk mendidik dan membimbing. Maka, sudah saatnya kita memberikan lebih banyak ruang bagi guru untuk berperan sebagai pembentuk karakter, bukan sekadar pelaku hukum.***
-Yuditeha, Penulis tinggal di karanganyar