Oleh: Muhammad Nur Faizi
Dalam acara Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus Part 3 pada 12 November 2024, yang dibuka oleh Fakhrudin Karmani, Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah, mengatakan jika literasi tertinggi masyarakat hanya sebatas duduk baca WhatsApp, lihat TikTok, dan media sosial lainnya. Tentu ini menjadi keadaan yang sangat memprihatinkan.
Lebih luas, Fakhrudin mengungkapkan hasil asesmen kompetensi guru dan siswa yang menunjukkan rendahnya tingkat literasi di Indonesia, baik di tingkat pendidikan dasar maupun di kalangan pendidik. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia tengah menghadapi darurat literasi yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
Salah satu data yang sangat memprihatinkan adalah hasil asesmen kompetensi guru yang diadakan oleh Kemenag RI pada Juli 2024. Hanya 11% dari guru di madrasah yang berhasil mencapai kompetensi guru mahir. Fakhrudin Karmani menyoroti bahwa jika kita mengacu pada data tersebut, maka dari 10 guru yang ada, hanya satu guru yang memiliki kemampuan literasi yang cukup untuk mengajarkan secara efektif kepada siswa.
- Iklan -
Ini tentunya menimbulkan keprihatinan besar karena kualitas pendidikan sangat bergantung pada kompetensi guru dalam menyampaikan materi, termasuk literasi yang merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh semua siswa.
Lebih lanjut, hasil asesmen kompetensi ini ternyata hampir sama dengan hasil asesmen terhadap siswa di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA. Pada tingkat tertinggi, rata-rata skor yang diperoleh hanya mencapai 46%, yang menunjukkan bahwa banyak siswa yang belum mencapai kompetensi dasar dalam membaca dan menulis dengan baik.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka masa depan generasi muda Indonesia akan terancam, karena literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan berpikir kritis dan mengolah informasi.
Penyebab Rendahnya Literasi di Indonesia
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Pertama, terbatasnya pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi para guru. Banyak guru yang belum memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang memadai guna meningkatkan keterampilan literasi mereka.
Program-program pengembangan profesional bagi guru masih terbatas, sehingga banyak guru yang hanya mengandalkan metode mengajar konvensional tanpa memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang lebih modern untuk mengajarkan literasi.
Kedua, akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas juga menjadi kendala. Di banyak daerah terpencil, terutama di luar pulau Jawa, fasilitas perpustakaan dan bahan bacaan yang memadai masih sangat terbatas.
Bahkan, di daerah-daerah tertentu, buku teks yang digunakan pun sering kali sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan kurikulum terbaru. Hal ini membuat siswa kesulitan untuk mendapatkan informasi yang up-to-date, yang pada gilirannya mempengaruhi kemampuan literasi mereka.
Ketiga, pengaruh besar media sosial. Literasi digital menjadi masalah tersendiri di Indonesia. Meskipun banyak orang yang aktif menggunakan aplikasi seperti WhatsApp, TikTok, dan media sosial lainnya, sebagian besar interaksi yang terjadi di platform-platform tersebut lebih bersifat konsumtif dan tidak mengembangkan keterampilan literasi yang mendalam.
Bahkan Fakhrudin dengan tegas menyebutkan bahwa di Indonesia, literasi tertinggi yang ada saat ini adalah kemampuan membaca pesan WhatsApp dan menonton video TikTok. Hal ini tentu jauh dari harapan, karena literasi yang sesungguhnya melibatkan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mengkritisi informasi dengan bijak.
Solusi untuk Meningkatkan Literasi di Indonesia
Menanggapi situasi darurat literasi ini, ada beberapa langkah yang perlu segera diambil untuk meningkatkan tingkat literasi di Indonesia. Pertama, pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru harus ditingkatkan. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus bekerja sama untuk menyelenggarakan pelatihan yang lebih intensif dan berkualitas, terutama dalam hal pengajaran literasi dan teknologi digital. Dengan demikian, guru tidak hanya mampu mengajar dengan metode tradisional, tetapi juga bisa memanfaatkan berbagai sumber daya digital untuk meningkatkan keterampilan literasi siswa.
Kedua, akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas harus diperluas, terutama di daerah-daerah yang minim fasilitas. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan penggunaan perpustakaan digital yang bisa diakses oleh siswa dan guru di seluruh Indonesia. Selain itu, buku-buku bacaan yang sesuai dengan kurikulum dan minat siswa perlu lebih banyak disediakan, agar mereka dapat lebih mudah menemukan bahan bacaan yang relevan dan menarik.
Ketiga, masyarakat juga perlu berperan dalam menciptakan budaya literasi yang lebih baik. Orang tua harus mengajarkan anak-anak mereka kebiasaan membaca sejak dini dan menyediakan berbagai jenis buku yang dapat mengembangkan wawasan mereka. Selain itu, masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis dalam mengakses informasi, terutama di era digital ini. Hanya dengan demikian, Indonesia bisa keluar dari krisis literasi dan mempersiapkan generasi masa depan yang lebih cerdas dan siap bersaing di dunia global.
-Penulis tinggal di Prenggan, Kotagede, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta