Oleh Ida Qudsy Nc
Di kalangan masyarakat pada umumnya, masih banyak stigma dan pandangan miring tentang menulis. Tulis menulis masih dianggap sebagai sesuatu yang membosankan dan melelahkan. Padahal jika kita mau menyelami lautan manfaat lebih dalam tentang menulis, kita akan menemukan permata-permata hikmah yang tersimpan dalam kancah kepenulisan. Lebih dari itu, stigma menulis melelahkan dan membosankan itu akan pudar jika ditakar dengan berjuta manfaat dari menulis itu sendiri.
Pada dasarnya, menulis itu menanam. Dengan menanam, tentu manusia akan memanen. Satu tulisan yang ditanam dimedia maupun buku, akan memberi pengaruh bagi penulis itu sendiri dan pembaca. Semakin baik, berbobot, memikat tulisan tersebut, semakin banyak penulis memanen manfaat dunia maupun akhirat. Penulis yang menyajikan tulisan bermanfaat, tentu akan memetik kebaikan. Namun sebaliknya, jika penulis menyuguhkan narasi yang menarik provokasi buruk untuk menjatuhkan dan berkonotasi keburukan lain, juga akan memetik kemadharatan tersebut.
Hendaknya bagi penulis untuk selalu memperbarui niat dalam menuangkan huruf demi huruf, kalimat demi kalimat agar menjadi amal akhirat. Dengan demikian, menulis akan menjadi sebuah aktivitas ibadah yang bermanfaat dunia akhirat. Jika menulis hanya diniatkan untuk keperluan dunia semata, seperti halnya berniat untuk mendapatkan honor, tentu hanya akan meruahkan kekecewaan bagi penulis itu sendiri. Oleh sebab itu, menulis akan jauh lebih bermakna jika lebih mendayagunakan akal dan hati untuk akhirat.
- Iklan -
Tidak heran disebutkan bahwa perkara dunia yang diniatkan akhirat akan menjadi amal akhirat sebab bagusnya niat. Begitu juga dengan amal akhirat bisa menjadi amal dunia saja sebab buruknya niat. Melakukan aktivitas duniawi apapun seperti menulis akan jadi sia-sia jika tidak diniatkan untuk menanam kebaikan akhirat.
Pentingnya bagi seorang penulis untuk menuangkan berbagai bentuk tulisan dengan tujuan yang baik agar dapat menanam kebaikan itu sendiri. Andaikata satu tulisan saja bisa dibaca berpuluh ribu orang jika memang tulisannya berbobot dan memikat banyak pembaca. Maka satu tulisan tersebut dapat memberi pengaruh baik bagi berpuluh ribu manusia dari berbagai kalangan pembaca untuk mendapatkan kemanfaatan dan kebaikan. Bahkan sebaliknya, satu narasi buruk yang beracun dan dibaca seribu orang atau lebih, tentu sama halnya dengan mengajak dalam kemungkaran orang banyak.
Tentunya, dalam proses menanam tidaklah instan. Seperti halnya petani dalam menebar benih, merawat, memupuk, memberi nutrisi dan aliran air agar tidak kekeringan dan diikhtiarkan dengan doa agar dapat menjadi padi atau tanaman lain yang melimpah ruah. Butuh upaya luar biasa untuk menghasilkan sesuatu yang luar biasa bahkan membutuhkan kesabaran yang juga luar biasa. Betapa banyak kegagalan yang harus dilalui agar suatu tanaman dapat subur dan memberi kemanfaatan bagi kalangannya. Tidak sedikit penulis handal yang semula berkali-kali gagal dalam prosesnya untuk menembus media dan sebagainya.
Disaat itulah cikal penulis-penulis handal itu disuguhkan dua pilihan yaitu bertahan atau menyerah. Namun banyak mereka yang memilih untuk bertahan dan mengevaluasi segala kekurangan sehingga dapat memberikan hasta karya ataupun narasi yang layak dan memberi manfaat banyak orang. Dari sini kita perlu menyadari bahwa disaat badai kesulitan menghampiri, menyerah bukanlah solusi, justru polusi. Suatu gumpalan kegagalan yang siap menerjang siapapun yang kalah dalam medan pertempuran positif.
Di era digital ini, segala daya saing dalam lini apapun semakin dahsyat, jika kita tidak mau turut mengupayakan diri untuk mengikuti alur zaman dengan pilihan terbaik, tentu akan tergilas oleh zaman dan jalan ditempat, tiada perkembangan diri.
Jika menulis dianalogikan dengan menanam, sudah seharusnya tulisan-tulisan yang dituangkan dalam media maupun non media agar senantiasa dipupuk dengan ikhtiar nyata dan disiram dengan doa. Adapun untuk hasil tanaman subur atau tidak, selayaknya digaungkan pada kuasa Allah dengan tawakal karena itu bukan wilayah manusia.
Sesungguhnya wilayah manusia adalah ikhtiar, dengan ikhtiar manusia terlatih menjadi insan yang produktif dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Selain itu, ikhtiar menjadikan manusia lebih bersyukur atas segala hal yang Allah anugerahkan kepada manusia. Jikalau pada akhirnya tulisan-tulisan menjadi sampah, maka penulis hendaklah menyadari diri akan kekurangannya dalam kancah kepenulisan dan menjadikannya suatu bahan evaluasi diri agar ke depannya dapat menanam tulisan yang lebih layak dan berkualitas lagi.
Setidaknya bagi penulis perlu menyadari bahwa situs media apapun tidaklah menurunkan standar kualitas tulisan demi menerima naskah penulis yang memang tidak layak dimuat. Justru, penulis hendaknya menaikkan level dan kualitas tulisannya agar sesuai dengan standar situs yang dituju. Sederhananya, bukan menyalahkan penolakan dan keadaan, namun cari tahu penyebab penolakan tersebut.
Tiada suatu proses menanam yang mudah, apalagi bagi seorang pemula. Helen Hayes pernah mengatakan the expert in anything was once a begginer. Setiap keahlian apapun dimulai dari pemula. Tentunya dengan berproses tanpa banyak protes.
Kerja keras dan konsistensi juga menjadi salah satu kunci yang harus dipegangi setiap penulis. Tanpa kerja keras dan konsistensi, keberhasilan sulit diraih. Salah satu tokoh yang menganalogikan kerja keras dan konsistensi adalah BJ Habibie. Beliau berkata “Dalam hidup ini, saya memiliki mental seperti main sepeda, bila saya tidak menggayuh sepeda maka saya akan jatuh. Jika saya berhenti bekerja maka saya mati.”
Setiap tulisan yang ditanam didunia, perlu diniatkan sebagai tabungan ataupun investasi akhirat. Mengingat seberapa lama manusia hidup didunia? Sudahkah kita mengantongi bekal dan tabungan untuk bekal dinegeri akhirat?
Tentunya banyak cara lain untuk menanam kebaikan dengan jalan apapun. Namun, setidaknya menulis menjadi salah satu jalan tempuh untuk kita menanam kebaikan dibumi fana ini.
Hal yang lebih penting lagi yaitu bahwa segala sesuatu sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawabnnya diakhirat kelak. Tidak heran jika terdapat aturan kepenulisan yang melindungi hak-hak penulis, seperti perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, diperintahkan untuk menuangkan sumber, footnote ataupun bodynote pada setiap tulisan yang memetik pendapat dari maqolah ataupun memetik tulisan orang lain.
Kecermatan menjadi salah satu modal bagi penulis agar dapat mempertanggungjawabkan tulisannya. Selain itu, dalam proses tulis menulis hendaklah menghadirkan pengawasan Allah dalam setiap hurufnya karena dengan begitu penulis akan merasa diawasi dalam menuangkan tulisannya. Jika sang penulis menerapkan konsep ihsan dalam menanam kebaikan tersebut, ketenangan bermuara kebenaran akan membersamainya. Setidaknya proses menulis menjadi sebuah wasilah mengharap ridho Allah Swt.
Penting bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam menggoreskan pena maupun menuangkan ujung jemari dalam keyboard agar tidak memberi bahaya untuk penulis itu sendiri. Jika dikatakan bahwa setiap ruas manusia dimintai pertanggungjawaban diakhirat, tidak menutup kemungkinan pula bahwa setiap huruf juga dimintai pertanggungjawaban kelak. Wallahu A’lam.
-Santri dan alumni Ponpes An-Nawawi, penikmat sastra dan literasi keislaman moderat.