Oleh Fajrul Alam
Biografi Singkat Imam Syafi’i
Sudah lazim kita ketahui, Imam Syafi’i adalah tokoh mufti sekaligus pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau memiliki nama asli Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafii yang lahir pada 150 H atau 767 M di Gaza, Palestina. Kemudian, beliau di bawah asuhan orang tuanya, pindah ke Makkah kurang lebih saat beliau menginjak usia dua tahun.
- Iklan -
Di Makkah, beliau belajar langsung kepada ulama terkemuka, Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Makkah saat itu, yang disebut-sebut sebagai guru pertama Imam Syafi’i. Di usia belia, 7 tahun, Imam Syafi’i sudah mampu selesai menghafal Al-Quran. Lantas di umur 10 tahun, beliau telah menghafal Kitab Muwatta’ karya Imam Malik bin Anas yang juga sebagai guru dari Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i ditanya soal riya’
Riya’ sendiri dalam Kamus Arab Indonesia bisa diartikan sebagai memamerkan amal, kemunafikan, dan kepura-puraan. Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertuslis “ria” yang artinya sombong atau congkak (karena telah berbuat baik). Pada intinya, sifat riya’ tak lain adalah laku jumawa dan pamer atas amal-amal baik yang telah dilakukan.
Sifat ini merupakan salah satu penyakit hati yang perlu untuk dijauhi. Riya’ sangat berbahaya dan tergolong penyakit yang seringkali terjadi pada manusia. Namun, kita yang lebih tepatnya tidak menyadarinya. Sebagaimana pesan dari Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang berbunyi, “Terkadang penyakit riya’ masuk ke dalam dirimu dari tempat yang tak terlihat oleh makhluk.”
Ada cerita menarik dalam Kitab Kifayatu al-Akhyar tentang persoalan riya’. Pada suatu kesempatan, Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang mengenai persoalan riya’. Lantas dengan spontan, Imam Syafi’i menjawab, “Riya’ merupakan fitnah (perbuatan yang menimbulkan kekacauan) yang ikatannya adalah hawa nafsu.”
فقال على البديهة الرياء فتنة عقدها الهوى
Dari sini, secara implisit jawaban beliau menuntun kita untuk jangan sampai berlaku riya’ (pamer) atau sombong. Fitnah di sini dalam artian menimbulkan kekacauan atau prahara. Kekacauan ini bisa berdampak kepada diri sendiri maupun terhadap orang lain. Efek negatifnya berbahaya. Cuma seringnya, kita sendiri kurang peka akan hal demikian
Oleh karena itu, beliau sangat mewanti-wanti kita untuk memberi jarak terhadap sifat tercela seperti riya’ dan sederet penyakit hati yang lain. Lebih lanjut, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa riya’ dapat membumihanguskan amal-amal baik kita, meluluhlantakkan segala laku terpuji yang selama ini telah ditunaikan.
Mengingat problematika riya’ tergolong penyakit paling gawat, akut, dan parah dalam sebuah hati. Sebagaimana Imam Syafi’i berkata,
وهما من كبار آفات القلب
“Keduanya (riya’ dan ujub) termasuk gawat-gawatnya penyakit hati.”
Dengan demikian, sudah sepantasnya kita menjauhi sekaligus menjaga diri dari sifat riya. Berusaha untuk menganggap kecil perbuatan baik menjadi obat penawar dan kontrol hati supaya terhindar dari virus riya’. Virus yang mampu mematikan cum meleburkan segenap amal baik yang telah diperbuat.
Referensi:
– Ibn Kathir, Tabaqat Ash-Shafi’iyyin, Vol 1. Page 27 Dār Al-Wafa’
– Sayyid Bakar Al-Makkiy, Kifayatu al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra), Hal. 78
–Fajrul Alam, lahir di Kebumen. Kecanduan kopi dan gorengan. Saat ini mengenyam kuliah di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Karya-karyanya pernah masuk di beberapa buku antologi puisi, majalah, dan media online dll.