Oleh : Osamu Dazai
Sepuluh hari sehabis peristiwa telur ular, satu per satu hal nahas menimpa, menambah kegetiran hidup Ibu serta memperpendek umurnya.
Dan akulah yang menyulut api petaka itu.
Aku menyalakan api memang. Aku bahkan tak menduga hal mengerikan seperti itu bakal menimpa. Aku membahayakan nyawa setiap orang di sekitarku. Dan berisiko kena sanksi hukum yang sungguh serius.
- Iklan -
Aku dibesarkan sebagai nona muda sehingga tak menyadari fakta yang jelas-jelas sembrono, mengakibatkan kebakaran besar. Suatu malam larut aku bangun mencuci tangan, dan saat kulewati bagian layar aula depan, kudapati seleret cahaya yang asalnya dari kamar mandi. Sekilas kulirik dan kutemukan bahwa di sebalik pintu kaca kamar mandi ada gelegak bayang merah menyala. Bisa kudengar derak tak mengenakkan telinga. Aku bergegas ke pintu samping dan berlari keluar tanpa alas kaki. Kudapati tumpukan kayu bakar yang ditumpuk pada samping tungku menyala terlahap api.
Lekas aku ke rumah petani di bawah taman kami dan menggedor-gedor pintu sekuat tenaga. “Nakai-san, kebakaran! Kebakaran! Tolong! Kebakaran!”
Nakai-san sepertinya sudah tertidur, tapi selang beberapa waktu dia menjawab dari dalam, “Segera aku ke sana.” Selagi tetap menggedor-gedor pintu rumahnya, dia sudah beranjak, masih mengenakan pakaian tidur.
Kami lari ke unggunan api yang berkobar-kobar. Tepat pada saat kami hendak mengangsur air dari kolam, kudengar Ibu memanggil dari serambi di sebelah kamarnya. Kuempaskan ember, bergegas ke serambi kemudian merangkul Ibu. Ia agaknya mau pingsan. “Ibu, jangan cemas. Tidak apa-apa. Kembalilah ke tempat tidur.” Kubimbing ia menuju kamar dan setelah membujuknya supaya berbaring, aku lari kembali ke api. Ini kali aku menceduk air bak mandi dan mengangsurkannya ke Nakai-san untuk dibanjurkan pada tumpukan kayu yang terbakar. Akan tetapi kobaran apinya begitu kuat sehingga kami tak mungkin begitu saja memadamkannya.
Kudengar suara-suara berteriak di bawah, “Kebakaran. Kebakaran di vila!” Tiba-tiba empat atau lima orang petani menerobos pagar menghampiri kami. Hanya dalam sekejap mereka lari beranting dengan ember dan memadamkan api. Seandainya api bertahan sedikit lebih lama, kobarannya bisa-bisa menyebar ke sepenjuru atap.
“Syukurlah” itu yang pertama terpikir, namun di saat berikutnya aku terkejut dengan kesadaran tiba-tiba akan apa penyebab kebakaran. Baru pada saat itulah terpikir olehku bahwa petaka yang terjadi lantaran malam kemarin aku menata kayu bakar persiapan masak di samping tungku, mengira bahwa api pada tungku sudah mati. Penemuan ini membikin aku hendak menangis. Manakala aku berdiri terpaku, kudengar gadis rumah sebelah bersuara lantang, “Pasti ada orang ceroboh mengurus tungku. Rumah itu berantakan.”
Kepala desa, polisi, dan ketua pemadam kebakaran termasuk orang-orang yang muncul di rumah. Dengan wajah tersenyum simpul, kepala desa bertanya, “Kau pasti begitu ketakutan. Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Semua salahku. Kupikir api tungku sudah mati.” Hanya ini yang mampu kuucap. Air mataku terus mengalir, aku berdiri di sana tak lagi berkata-kata, tertunduk selalu. Silih berganti pikiran mencuat, bahwa nanti polisi akan menangkap dan menyeretku seperti penjahat, dan di saat bersamaan aku menjadi tersadar akan penampilan serampangan nan memalukan diriku yang berdiri terpaku tak beralas kaki hanya memakai gaun malam. Aku merasa tak tahu harus bagaimana.
Kepala desa bertanya dengan nada simpatik, “Aku mengerti. Apa ibumu baik-baik saja?”
“Beliau sedang istirahat di kamarnya. Sungguh mengejutkan sekali baginya.”
“Biar bagaimanapun,” kata seorang polisi muda yang coba menghiburku, “untungnya rumah tak terbakar.”
Saat itu Nakai-san muncul usai mengganti pakaiannya, dan dengan terengah-engah berteriak, “Mengapa diributkan? Lha, cuma sedikit kayu terbakar. Tak jadi api bulat-bulat.” Jelas dia berusaha menutupi kelalaian bodohku.
“Oh, aku paham betul,” ujar kepala desa sambil mengangguk. Dia bicara dengan si polisi lalu berkata, “Kami akan pergi sekarang. Tolong sampaikan salamku pada ibumu.” Mereka semua beranjak pergi kecuali si polisi yang berjalan ke arahku, dan dengan suara begitu lembut hingga menyisakan dengus napas, berkata, “Takkan ada laporan mengenai apa yang barusan terjadi.”
Setelah polisi itu pergi, Nakai-san bertanya dengan suara tegang apa yang dikatakannya tadi. Kubilang: “Dia bilang mereka tidak akan membuat laporan.” Para tetangga yang masih berdiri di sekitar rupa-rupanya menangkap ucapanku, lantaran mereka pun mulai menjauh perlahan, menggumamkan kelegaan. Nakai-san mengucapkan selamat malam lantas beranjak. Hanya aku sendiri, pikiranku hampa, di dekat tumpukan kayu yang terbakar tadi. Masih menangis, kupandang langit dan kudapati rekah cahaya fajar.
Aku pergi mencuci tangan, kaki, serta muka. Entah bagaimana pikiran untuk tampil di hadapan Ibu membuatku takut, aku pun berlama-lama di kamar mandi menyisiri rambut. Lalu aku ke dapur menghabiskan waktu hingga pagi tiba, menata ulang peralatan memasak yang sejatinya tak perlu.
Aku bersijingkat menuju kamar Ibu dan mendapati ia sudah salin dan duduk di kursi berlengan, tampak kelelahan. Ia tersenyum ketika melihatku, tetapi wajahnya begitu pucat.
Aku tak membalas senyumnya. Hanya berdiri terpaku tak mampu berucap sepatah kata di belakang kursinya. Sesaat kemudian Ibu bilang, “Tak apa-apa, kan? Hanya kayu bakar yang tak sengaja terbakar.”
Aku tersapu gelombang kegembiraan. Teringat olehku masa kanak-kanak pada kelas Sekolah Minggu pepatah dalam Alkitab, “Sepatah kata yang diucapkan dengan tepat bak apel emas dalam bingkai perak,” dan aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku terdalam atas keberuntungan punya ibu yang teramat welas asih.
Sehabis menyantap sarapan, aku mulai membuang tumpukan kayu yang terbakar. Osaki si pemilik penginapan berlari dari gerbang taman. “Ada apa? Aku barusan mendengarnya. Apa yang terjadi malam kemarin?” Air mata menggenang di matanya.
“Aku minta maaf,” gumamku.
“Tak ada yang patut disesali. Bagaimana dengan polisi?”
“Mereka bilang tidak apa-apa.”
“Oh, syukurlah.” Dia terlihat senang.
Aku berdiskusi bersama Osaki bagaimanakah aku harus mengucap terima kasih serta permohonan maafku kepada desa. Dia berpendapat bahwa uanglah yang paling sesuai dan menyarankan rumah-rumah yang musti kukunjungi dengan uang serta permohonan maaf. “Kalau kau tak pengin melakukannya sendirian, aku bisa membantumu,” imbuhnya.
“Bukankah akan lebih baik kalau aku pergi sendiri?”
“Bisa kau membagi-bagikan sendiri? Kalau begitu lakukan saja.”
“Ya, aku akan pergi sendiri.”
Setelah selesai membuang kayu, aku meminta sejumlah uang ke Ibu yang kemudian kubungkus dalan bungkusan mungil masing-masing berisi 100 yen. Di atasnya kutulis kata-kata: “Dengan segenap permohonan maaf.”
Pertama aku pergi ke balai desa. Kepala desa sedang keluar, dan kuberikan bungkusan itu ke gadis di meja resepsionis sembari bilang, “Apa yang kulakukan tadi malam tak dapat dimaafkan, namun mulai sekarang aku akan berhati-hati selalu. Maafkan aku dan sampaikan permintaan maafkku ke kepala desa.”
Selanjutnya aku mengunjungi kediaman ketua pemadam kebakaran. Dia sendiri yang menerimaku di muka pintu. Dia tersenyum sedih tetapi tak mengatakan apa-apa. Entah mengapa aku pun menangis. “Maafkan aku atas kejadian tadi malam.” Kuambil jalan pintas curam dan berlari melalui jalanan dengan air mata mengalir di wajahku. Aku begitu ketakutan sampai-sampai aku musti pulang lagi ke rumah untuk memakai riasan anyar. Aku baru saja mau berangkat lagi saat Ibu muncul. “Belum selesai? Kali ini mau ke mana?”
“Baru saja mulai,” aku menjawab dengan tidak mengangkat muka.
“Pasti berat bagimu.” Nada suara Ibu penuh pengertian. Cintanya yang memberiku kekuatan untuk mengunjungi rumah-rumah berikutnya. Sekarang aku tak lagi menangis.
Kemana pun kumelangkah, orang-orang menghaturkan simpati dan berusaha mengiburku. Istri muda Nishiyama-san—kukatakan muda namun ia sudah empat puluhan—satu-satunya orang yang mencelaku. “Harap berhati-hatilah untuk seterusnya. Kau barangkali ningrat, tetapi aku waswas mendapati bagaimana kalian berdua hidup, itu macam kanak main rumah-rumahan. Semata keajaiban bahwa kau belum pernah mengalami kebakaran sebelum ini mengingat cara hidupmu yang sembrono. Mulai sekarang berhati-hatilah. Kalau tadi malam ada angin kencang, bisa-bisa seluruh desa terbakar.”
Aku merasakan omelan Bu Nishiyama ada benarnya. Segalanya betul-betul persis seperti yang ia gambarkan, dan aku tak bisa membencinya lantaran telah mencelaku.
Ibu berusaha menghiburku dengan membikin lelucon kayu bakar yang memang digunakan dengan dibakar, namun bila ada angin kencang, seluruh desa bisa saja terbakar, seperti yang dibilang Bu Nishiyama. Kalau itu terjadi, bahkan bunuh diri sekalipun tak bisa jadi permohonan maaf yang cukup, dan kematianku tak hanya menyebabkan Ibu terhina tetapi juga mencoreng nama Ayah selamanya. Aku sadar bahwa keningratan sekarang ini tak seperti dulu lagi, akan tetapi bila harus binasa dalam hal apa pun, aku pengin melihatnya merosot seelegan mungkin. Aku tak bisa tenang beristirahat dalam kubur andai aku mati untuk menebus dosa hanya lantaran menyalakan api.
Aku mulai dari hari berikutnya, mencurahkan segenap kekuatan untuk mengolah ladang. Anak perempuan Nakai-san kadang membantu. Sejak aksi memalukanku menyulut api, aku merasa seakan warna darahku berubah sedikit lebih legam, seolah-olah dari hari ke hari aku menjadi perempuan desa tak beradab. Ketika aku duduk-duduk di teras sembari merajut bersama Ibu, misal, aku merasa sesak dan tercekik tetapi lantas lega ketika aku beranjak ke ladang mencangkul tanah.
Kerja kasar, kukira orang bakal sebut. Ini bukan pertama kalinya aku melakukan pekerjaan macam itu. Aku wajib militer selama perang dan pernah disuruh melakukan kerja kuli. Sepatu kets yang sekarang kupakai mengolah ladang adalah sepatu tentara yang dibagikan kepadaku. Itulah kali pertama dalam hidupku, aku memakai barang seperti ini di kaki, namun ternyata di luar dugaan terasa nyaman, dan ketika aku berjalan di sekitar taman, aku merasa bisa memahami kegembiraan burung-burung atau binatang yang berjalan tanpa alas kaki di tanah. Itu satu-satunya kenangan menyenangkan yang kupunyai tentang perang. Alangkah suram betul perang itu.
Tahun lalu tak terjadi apa-apa
Tahun sebelumnya pun tak terjadi apa-apa
Dan tahun sebelum tahun sebelumnya juga tak terjadi apa-apa.
Secuil puisi kocak akibat perang muncul di surat kabar bertepatan dengan perang berakhir. Tentu saja di sana-sini akibat perang benar-benar menyisakan getir, namun ketika kucoba mengingatnya saat ini, aku mengalami suatu perasaan bahwa memang tak terjadi apa-apa. Aku benci bicara tentang perang atau mendengar kenangan orang lain akannya. Banyak orang meninggal dan perang rasanya suram, aku jenuh karenanya. Kau barangkali mengira aku memandang perang dengan keegosentrisan. Hanya ketika aku wajib militer dan dipaksa melakukan kerja buruh dengan sepatu ketsku-lah aku merasa perang tidak membosankan. Aku sering berpikir betapa keras kerja kuli itu, namun berkat hal itu aku menjadi cukup kuat, dan bahkan kini aku terkadang merasa bahwa jika aku mengalami kesulitan mencari uang, aku bisa bertahan dengan melakukan kerja kasar.
Suatu hari manakala perang memasuki fase yang begitu menyedihkan, seorang lelaki mengenakan semacam seragam militer datang ke rumah kami di Jalan Nishikata dan menyerahkan kepadaku surat-surat wajib militer beserta jadwal yang mencantumkan hari-hari aku musti bekerja. Aku menemukan bahwa esok aku harus melapor dua hari sekali ke markas di pegunungan belakang Tachikawa. Suka atau tidak, aku mendapati diriku menangis.
“Kurasa tak diperbolehkan untuk diwakilkan?” Air mata terus membasahi wajahku.
Lelaki itu dengan tegas menjawab, “Tentara menugasimu, maka kau sendirilah yang harus pergi.”
Keesokan harinya turun hujan. Seorang petugas menyampaikan wejangan ke kami saat kami berbaris di kaki gunung. “Kemenangan itu suatu kepastian,” ucapnya sebagai pembuka. “Kemenangan itu suatu kepastian, tetapi bila semua orang tak melakukan apa yang diperintahkan tentara dengan benar, maka rencana kita akan gagal, dan kita akan punya Okinawa kedua. Kami ingin kalian menjalankan tugas dengan baik, melakukan setiap pekerjaan yang ditugaskan ke kalian. Selanjutnya kalian harus saling waspada. Tak ada yang tahu apakah mata-mata ada di sekitar kita. Kalian kini akan bekerja di kemiliteran seperti serdadu, dan kami mau kalian senantiasa waspada terhadap orang lain.”
Gunung itu membara di tengah hujan ketika kami berbaris di sana, hampir lima ratus lelaki dan wanita. Kami dengan saksama mendengar arahannya, kendati di bawah guyuran hujan. Rombongan itu juga termasuk bocah-bocah SD lelaki dan perempuan, semua dengan muka kecil yang menggigil kedinginan. Hujan merembes dalam mantelku, menembus bajuku, dan kemudian meresap ke celana dalamku.
Kuhabiskan sepanjang hari itu membawa berbakul-bakul tanah di punggung. Kali berikutnya dalam pangkalan aku menarik tali bersama para pekerja. Itu pekerjaan yang paling kusukai.
Dua atau tiga kali sewaktu aku tengah bekerja, aku mendapat kesan bahwa bocah-bocah sekolah menatapku dengan pandangan yang tak mengenakkan. Satu hari aku memikul sebakul tanah ketika beberapa bocah itu melintas, dan kudengar salah satu dari mereka menyeletuk, “Menurutmu wanita itu mata-mata?”
Aku tercengang. Aku bertanya ke gadis yang membawa tanah di sampingku apa yang membuat bocah lelaki itu berkata begitu. Ia menjawab dengan muka serius, “Barangkali karena kau kelihatan seperti orang asing.”
“Aku? Apa kau juga mengira aku ini mata-mata?”
“Tidak,” sahutnya, kali ini dengan seulas senyum.
“Aku asli Jepang,” kataku, tak bisa menahan cekikikan atas kekonyolan omonganku sendiri.
Di pagi hari cerah saat aku mengangkuti kayu bersama orang-orang, seorang tentara muda tiba-tiba mengerutkan dahi dan menunjuk ke arahku. “Hei, kau. Ya, kau, kemarilah.”
Ia berjalan cepat menuju pepohonan sugi dan aku mengikuti dari belakang. Jantungku berdebar-debar lantaran gugup dan takut. Ia berhenti di dekat tumpukan kayu yang baru saja dibawa dari penggergajian dan menoleh ke arahku. “Kiranya sukar bekerja seperti itu saban hari. Tolong hari ini kau awasi saja kayu-kayu ini.” Ia bicara sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih.
“Aku musti berdiri di sini?”
“Di sini sejuk dan tenang dan kau bisa tidur siang di atas tumpukan kayu. Kalau kau bosan, kau bisa baca ini.” Ia mengambil buku mungil dari sakunya dan dengan malu-malu meletakkan di atas gelondongan kayu. “Bukan buku bagus, sih, tapi boleh saja kau baca kalau pengin.”
Ini namanya Troika. Kuambil buku itu. “Terima kasih banyak. Ada juga di keluargaku senang baca buku, namun sekarang orangnya sedang di Pasifik Selatan.”
Ia salah paham. “Oh, suamimu. Pasifik Selatan ya. Buruk sekali.” Ia menggeleng menghaturkan simpati. “Pokoknya, kau berjaga di sini hari ini. Akan kubawakan kotak makan siangmu nanti. Kau istirahat saja tak usah menguatirkan apa pun.” Sehabis mengucapkan kata-kata ini, ia melangkah pergi.
Aku duduk di atas tumpukan kayu dan mulai membaca. Sudah sampai kubaca setengahnya ketika terdengar langkah sepatu menandakan ia kembali. “Kubawakan makan siangmu. Kiranya membosankan berada di sini sendirian.” Ia meletakkan kotak makan siang di rumput dan bergegas pergi lagi.
Selesai makan siang, aku merangkak ke atas tumpukan kayu dan berbaring sembari membaca buku. Kubaca sampai tamat dan tertidur. Aku bangun selewat pukul tiga dengan kesan bahwa tadi aku melihat si perwira muda itu, namun aku tak bisa mengingat kapan tepatnya. Aku turun dari tumpukan kayu dan hendak merapikan rambut manakala kudengar lagi suara sepatunya.
“Terima kasih sudah datang hari ini. Kau bisa pergi sekarang bila kau mau.”
Aku mendekat ke arahnya dan mengulurkan buku itu. Aku hendak mengucap terima kasih, tetapi kata-kata itu tak keluar dari mulutku. Dalam keheningan kulihat wajahnya dan pada saat mata kami beradu, aku berlinang air mata. Lalu ia juga menangis.
Begitu saja, kami berpisah tanpa mengucap sepatah kata, dan perwira muda itu tak pernah lagi hadir pada di tempatku bekerja. Itulah satu-satunya hari aku bisa bersantai. Sejak saat itu, saban hari aku pergi ke Tachikawa memenuhi tugas kerja paksa. Ibu menguatirkan kesehatanku, namun pekerjaan itu sungguh-sungguh membuatku lebih kuat dari sebelumnya. Bahkan aku hari ini, setidaknya, wanita yang tak terlalu merasa capek kerja berat di ladang.
Pernah kubilang aku ini benci membahas perang atau mendengar tentang hal itu, namun sekarang kurasa sudah kuceritakan segalanya ihwal pengalaman berhargaku. Tetapi itu sedikit dari banyak ingatan akan perang yang kurasakan. Sisanya mungkin dengan tepat disimpulkan oleh puisi di koran waktu itu:
Tahun lalu tak terjadi apa-apa
Tahun sebelumnya pun tak terjadi apa-apa
Dan tahun sebelum tahun sebelumnya juga tak terjadi apa-apa
Tololnya, yang tersisa dari pengalaman akan perang cuma sepasang sepatu kets.
Penyebutan sepatu kets menyeret diriku pada hal lainnya. Namun harus kutambahkan bahwa meski memakai apa yang disebut memento khas akan perang dan mengolah ladang setipa hari membantu meredakan kecemasan dan kegelisahan yang berada jauh dalam hatiku, itu tak menggeser kenyataan bahwa Ibu kian lemah dari hari ke hari.
Telur-telur ular.
Api.
Secara mengejutkan kesehatan Ibu terus merosot sementara aku, merasa terus menerus berubah jadi wanita jelata yang kasar. Tak bisa kuenyahkan pemikiran bahwa dari mengisap napas hidup pada tubuh Ibulah aku menggemukkan diri.
Ibu tak pernah mengungkit apa pun ihwal api selain leluconnya tentang kayu bakar gunanya dibakar. Jauh dari yang namanya mencela, ia sepertinya mengasihani diriku, namun keterkejutan yang diterimanya pasti sepuluh kali lebih besar ketimbang yang kurasakan. Semenjak insiden kebakaran itu, Ibu terkadang mengaduh dalam tidurnya, dan pada malam-malam ketika angin santer bertiup, ia turun dari ranjang tidur sesering mungkin, betapapun larut waktu itu, lantas keluyuran dalam rumah memastikan bahwa segalanya aman terkendali. Ia selalu nampak tidak sehat. Suatu hari, berjalan saja nampaknya sukar sekali baginya. Ia kepengin membantuku mengolah tanah ladang, meskipun aku sudah membuatnya sengsara, ia masih bersikeras, menimba dari sumur lima atau enam ember air. Esoknya punggung Ibu jadi kaku-kaku menyebabkan ia sulit bernapas. Sepanjang hari itu ia hanya bisa rebahan di kasur. Setelah itu ia agaknya angkat tangan pada gagasan membantuku kerja kasar. Ia sesekali berjalan ke ladang sekadar mengamati-amati apa yang kulakukan.
Hari ini ketika Ibu sedang mengawasiku bekerja, ia tiba-tiba berkata, “Mereka bilang orang yang suka bunga musim panas mati di musim panas. Aku penasaran apa itu benar adanya.” Tidak kujawab perkataannya. Aku terus menyirami tanaman terung. Sekarang sudah awal musim panas. Dengan lembut ia melanjutkan, “Aku suka sekali kembang sepatu, tetapi kita tak punya satu pun di taman.”
“Kita ada banyak oleander,” sahutku dengan nada tinggi yang kusengaja.
“Aku tidak suka oleander. Aku menyukai hampir semua kembang musim panas, terkecuali oleander yang terlalu mencolok.”
“Paling kusuka mawar. Mekar di empat musim. Aku penasaran apa orang yang gemar mawar berarti mati empat kali.”
Kami berdua tertawa.
Ibu yang masih tersenyum bertanya, “Bisakah kau istirahat sebentar?” Lantas ia menambahkan, “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Ada apa, Bu? Jika mengenai ajal yang kau bilang sudah dekat maka tidak perlu, terima kasih.”
Kuikuti Ibu yang duduk di bangku dalam naungan jejalin wisteria. Bunga wisteria sudah hampir semi, dan sinar matahari sore lembut tersaring pada dedaunan jatuh menimpa pangkuan kami dan berubah hijau.
“Sudah lama aku ingin memberitahukan padamu sesuatu, tetapi aku menunggu saat ketika suasana hati kita berdua sedang baik. Soalnya, ini bukan hal yang mudah untuk kita percakapkan. Namun hari ini, entah bagaimana aku merasa bisa mengobrolkannya denganmu. Aku memintamu untuk tetap tenang dan mendengarkan sampai aku selesai bicara. Sebenarnya Naoji masih hidup.”
Seluruh tubuhku terasa kaku.
“Lima atau enam hari lalu aku menerima surat dari Paman Wada. Nampaknya seorang lelaki yang pernah kerja padanya baru saja pulang dari Pasifik Selatan. Ia mengunjungi kantor pamanmu untuk menghaturkan hormat lantas dan secara kebetulan ternyata ia berada dalam kesatuan yang sama dengan Naoji dan bahwa Naoji aman-aman saja di sana dan akan segera pulang. Namun ia ada satu hal tak mengenakkan untuk dikatakan. Diakui lelaki ini, Naoji telah jadi pecandu opium.”
“Lagi!”
Mulutku mengerut seolah aku baru saja menelan sesuatu yang pahit. Saat Naoji masih bersekolah, meniru-niru seorang novelis, ia memakai obat-obatan, dan akhirnya mengutang dalam jumlah besar pada apoteker sampai butuh waktu dua tahun bagi Ibu melunasi utang-utangnya.
“Ya. Ia kelihatannya nyandu lagi. Namun lelaki itu bilang bahwa Naoji pasti bakal sembuh pada saat ia pulang lantaran tentara takkan membiarkannya balik ke kesatuan. Surat pamanmu selanjutnya mengatakan bahwa meskipun Naoji sudah sembuh ketika ia kembali, tak ada kemungkinan bisa langsung menemukan pekerjaan yang dirasa sesuai. Bahkan orang yang kelewat normal jadi kelihatan ganjil bekerja di Tokyo akhir-akhir ini—apalagi dengan seluruh kekalutan—dan orang setengah sakit yang baru saja sembuh dari kecanduan narkotika bisa saja menggila tiba-tiba. Tak ada yang bisa menduga apa yang mungkin ia lakukan. Kalau Naoji kembali, hal terbaik bagi kita sekarang adalah merawatnya di pegunungan sini dan tak membiarkannya pergi ke tempat lain. Itu satu hal. Dan hal lainnya, Kazuko, pamanmu menyodorkan sesuatu. Dia bilang bahwa seluruh uang kita lenyap tak bersisa, dan dengan pemblokiran tabungan serta perampasan harta oleh negara, dia tak akan bisa mengirim uang sebesar sebelumnya. Akan sukar baginya mengatur biaya hidup kita, terutama saat Naoji tiba dan kita bertiga harus diurus sekaligus. Paman menyarankan supaya kita tidak buang-buang waktu mencarikanmu suami atau kedudukan lain dalam rumah tangga.”
“Sebagai pelayan?”
“Bukan, dalam surat pamanmu bilang bahwa dia kenal satu keluarga yang masih berhubungan dengan kita dalam hal gelar ningrat di mana kau bisa punya posisi sebagai pengasuh bagi anak-anak gadis. Itu barangkali takkan terlalu membikin kau tertekan atau canggung.”
“Aku ingin tahu apa tidak ada pekerjaan lain.”
“Pamanmu bilang bahwa profesi lain tak ada yang praktis buatmu.”
“Mengapa tidak praktis?”
Ibu tersenyum getir tetapi tak menjawab.
“Oh, sudahlah! Aku muak dengan pembicaraan macam itu!” Aku menjerit histeris, sadar bahkan saat melakukannya aku akan menyesal. Namun aku tak dapat berhenti. “Tengok aku dengan sepatu jelek ini—lihat!” Aku menangis, tetapi langsung kuusap air mata dengan punggung tangan seraya menatap wajah Ibu. Satu suara dalam diriku mengulang, “Tidak, tidak,” namun kata-kata yang tak ada juntrungannya dengan diriku untuk diekspresikan, mengalir keluar seolah dari kedalaman alam bawah sadarku.
“Bukankah kau pernah mengatakan bahwa tersebab aku bersamamu, karena kau memilikiku, kau memutuskan berkenan ke Izu? Bukankah kau bilang bahwa jika aku tak ada di sisimu maka kau akan mati? Itulah sebabnya aku tinggal di sini menemanimu senantiasa. Dan di sini kupakai sepatu kets buluk ini sebab hanya menanam sayuranlah yang kau kehendaki. Kini kau mendengar bahwa Naoji akan pulang dan mendadak kau bilang, ‘Pergilah, jadilah pelayan!’ Itu keterlaluan, keterlaluan.”
Bahkan bagi diriku sendiri, ucapan yang terlontar dari mulutku nampak mengerikan. Namun kata-kata itu tak bisa dihentikan seolah punya eksistensinya sendiri.
“Jika kita melarat dan uang kita habis, mengapa tak kita jual seluruh pakaian mahal kita? Mengapa tak kita jual rumah ini? Aku bisa mengupayakan sesuatu. Aku bisa dapat pekerjaan di kantor desa, dan bila mereka tak mau mempekerjakanku di sana, aku bisa bekerja sebagai tukang angkut. Kemelaratan bukanlah masalah. Asal kau mencintaiku, yang kuinginkah hanyalah menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Tapi kau lebih menyayangi Naoji, lebih dari kau menyayangiku, bukan? Aku akan pergi. Ya aku akan pergi. Aku tak pernah bisa seatap dengan Naoji dan itu hanya akan membawa ketidakbahagiaan di antara kita bertiga bilamana aku tetap tinggal. Kita sudah hidup bersama untuk waktu lama, dan tak ada yang kusesali dalam kebersamaan kita. Sekarang kau dan Naoji bisa terus bersama, hanya kalian berdua. Kuharap demi engkau, Ibu, Naoji bakal jadi anak yang baik. Aku sudah muak. Aku muak dengan hidup ini. Aku akan pergi. Aku akan pergi hari ini segera. Aku punya tempat yang bisa kutuju.”
Aku bangkit.
“Kazuko!” Ibu berteriak. Wajahnya dipenuhi marwah yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat ia berdiri menghadang, ia kelihatan lebih tinggi dariku.
Pengin aku memohon maaf, tetapi kata-kata tak keluar dari mulut. Malah aku mengucapkan sesuatu yang berlainan. “Kau telah menipuku, Ibu. Kau telah menipuku. Kau memanfaatkanku sampai Naoji pulang. Aku menjadi budakmu, dan sekarang setelah kau tidak lagi butuh aku, kau menendangku keluar.”
Aku menjerit dan menangis.
“Kau itu terlalu tolol.” Suara Ibu bergetar murka saat ia mengucapkan kata-kata ini.
Aku mendongak. “Memang. Aku telah dimanfaatkan karena aku tolol. Kau menyingkirkanku sebab aku tolol. Maka lebih baik aku pergi, kan? Kemelaratan—apa itu? Kekayaan—apa itu? Aku tak paham hal-hal begituan. Aku selalu percaya pada cinta, pada cinta ibuku, setidaknya itu menurutku.” Sekali lagi aku berbicara dengan begitu tololnya dan tak terampuni.
Ibu tiba-tiba memalingkan muka. Ia menangis. Ingin aku memohon maaf dan memeluknya, tetapi tanganku kotor habis meladang, dan rasa malu yang tak disengaja ini membuatku menjauh begitu saja. “Semua akan baik-baik saja asal aku tidak di sini. Aku akan pergi. Aku ada tempat untuk kutuju.”
Bersamaan kata-kata ini aku lekas ke kamar mandi mencuci muka dan tangan sembari terisak. Aku pergi ke kamarku, salin dan sekali lagi air mataku menitik. Aku ingin menangis lebih banyak biar air mataku terkuras habis. Aku lari ke kamar di lantai dua, menjatuhkan diri pada tempat tidur, menutupi kepala denga selimut, menangis habis-habisan. Lalu pikiranku mengembara ke mana-mana. Berangsur-angsur terbebas dari kesedihan, hasrat menemui seseorang terhimpun dalam hatiku. Aku ingin sekali melihat wajahnya, mendengar suaranya. Aku mengalami suatu sensasi yang biasa dialami seseorang manakala dokter menerapkan kauterisasi pada telapak kaki, dan kau harus menahankan rasa sakit tanpa tersentak.
Menjelang malam Ibu masuk ke kamar dan menyalakan lampu. Ia mendekati tempat tidur dan memanggil-manggil namaku dengan suara yang begitu lembut. Aku bangkit dan duduk di pinggir kasur, menyisir rambutku dengan kedua tangan. Kupandangi wajahnya dan tersenyum.
Ibu pun menyunggingkan seulas senyum kemudian duduk di sofa bawah jendela. “Baru saja tak kuindahkan pamanmu buat pertama kali sepanjang hidupku. Kutulis surat balasan, memintanya tak usah mengurusi persoalan anak-anakku. Akan kutanggung sendiri. Kazuko, kita akan jual pakaian-pakaian kita. Kita jual seluruhnya dan gunakan uang hasil penjualan sesuka kita, untuk hal-hal tak berguna apa pun asal kita senang. Ayo hidup foya-foya. Aku tak ingin membiarkan kau bekerja di ladang lagi. Ayo beli banyak sayuran sekalipun itu mahal. Adalah tak masuk akal menunggumu seharian bekerja di ladang seperti petani.”
Sejujurnya tekanan kerja sehari-hari di ladang mulai berimbas buruk. Aku yakin bahwa alasan mengapa aku menangis dan histeris bak orang edan merupakan gabungan lelah fisik dan kejenuhanku dan mengakibatkanku membenci segalanya. Aku duduk dalam diam, mengalihkan pandangan.
“Kazuko.”
“Ya, Bu.”
“Apa maksudmu dengan bilang bahwa kau ada tempat buat dituju?”
Kusadari wajahku memerah.
“Hosoda-san?”
Tak kujawab pertanyaan Ibu.
Ibu menghela napas. “Boleh aku mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah lama berlalu?”
“Silakan,” gumamku.
“Pada saat kau meninggalkan suamimu dan pulang ke rumah di Jalan Nishikata – bukan maksudku untuk mencemooh – tetapi ada satu hal yang membuatku merasa kau sudah mengkhianatiku. Apa kau ingat? Kau menangis dan aku menyadari diriku sudah salah mengatakan hal yang begitu mengerikan.”
Namun ingatanku akan masa itu adalah bahwa aku begitu bersyukur kepada Ibu lantaran sudah mencelaku sedemikian rupa, dan air mataku itu tangis gembira.
“Sewaktu kubilang kau telah mengkhianati diriku, itu bukan lantaran kau meninggalkan rumah suamimu. Itu karena aku mengetahui darinya bahwa kau dan pelukis Hosoda menjalin hubungan asmara. Berita itu datang bak petir di siang bolong. Hosoda-san lelaki yang sudah menikah bertahun-tahun dan punya anak. Aku tahu itu hubungan bakal sia-sia, tak peduli seberapa besar kau mencintainya.”
“Kekasih—sungguh berlebihan. Itu sekadar kecurigaan yang tak berdasar dari suamiku dulu.”
“Boleh jadi. Aku pikir kau mungkin masih memikirkan Hosoda-san. Lantas hendak ke mana kau menuju ketika bilang ada tempat buat dirimu?”
“Bukan ke Hosoda-san.”
“Sungguh? Lantas ke mana?”
“Ibu, baru-baru ini aku mendapati satu hal pembeda manusia dari binatang. Manusia memiliki bahasa, pengetahuan, prinsip, serta tatanan sosial, namun tidak semua jenis binatang punya, tergantung tingkatannya. Bisa saja binatang menganut agama. Manusia membanggakan diri sebagai yang teratas dari seluruh ciptaan, namun pada dasarnya ia tak berbeda dari kebanyakan binatang. Namun Ibu, ada satu hal yang kurenungkan barangkali tak akan kaupahami. Ini merupakan kemampuan yang sungguh khas dimiliki manusia—yaitu menyimpan rahasia. Apa kau mengerti maksudku?”
Ibu sedikit tersipu dan menyunggingkan senyum anggun. “Jika rahasiamu menghasilkan buah yang baik, maka hanya itulah yang mau kuminta. Tiap pagi aku berdoa kepada arwah ayamu untuk membuatmu bahagia selalu.”
Mendadak terlintas di benakku gambaran perjalanan bersama Ayah melewati Nasuno dan keluar di jalan dan bagaimana indahnya pemandangan ladang musim gugur. Bunga musim gugur—aster, anyelir, gentian, valeria—semuanya bersemi. Anggur liar masihlah hijau.
Lalu aku dan Ayah naik perahu motor sepanjang Danau Biwa. Aku meloncat ke dalam air. Ikan-ikan kecil yang bergerombol di lumut mengerumuni kakiku, dan bayang kakiku yang tecermin dengan jelas pada dasar danau bergerak seiring langkahku. Citraan itu tak ada hubungannya dengan apa yang Ibu dan aku obrolkan, namun sekilas terlintas dalam benakku dan menghilang kemudian.
Aku bingkas dari tempat tidur dan kupeluk lutut Ibu. “Ibu, maafkan aku.” Aku bisa mengatakannya akhirnya.
Saat-saat itu, sebagaimana yang kuingat kini, merupakan hari terakhir di mana nyala kegembiraan kami masih terang. Begitu Naoji pulang dari Pasifik Selatan, neraka kami yang sebenarnya dimulai.
Sumber terjemahan:
Penerjemah: Bagus Dwi Hananto, The Setting Sun, Tuttle, 1981