Oleh: Holikin
Nabi Saw dilahirkan di tanah Arab, tepatnya di Kota Makkah al-Mukarramah pada Hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah (‘amal fiil), yaitu tahun di mana Allah Swt menghancurkan pasukan Abrahah yang mengendarai gajah.
Kisahnya bermula dari sebuah tragedi yang datang dari kerajaan Abrahah. Di sana, tempat para penyembah berhala bertumpah-ruah. Tak tanggung-tanggung, ada ratusan berhala dengan aneka ragam bentuk dan dibuat dari ragam batu berharga. Pada bergulirnya waktu, kuil dan arca-arca Abrahah sepi pengunjung. Pengunjung yang dulunya ramai menyembahnya kini sepi, hanya ada satu dua orang. Raja Abrahah geram, marah bukan kepalang. Ia mengutus beberapa informan, hendak mengusut penyebab sepinya pengunjung berhalanya. Usut punya usut ternyata penyebabnya adalah, di sana, di Kota Makkah, negeri yang tak jauh dari kerajaan Abrahah, terdapat sebuah bangunan besar yang ditata dengan batu biasa. Tapi uniknya, tak satupun manusia yang mengklaim menjadi pemiliknya. Ia ada sejak lama, sejak para Nabi terdahulu dan batu itu bernama “Ka’bah”, baitullah (rumah Allah).
Kegeraman Abrahah semakin memuncak, ia mengumpulkan para pembesar kerajaannya membahas apa yang harus dilakukan untuk merespons atas keadaan tersebut. Maka, semua bersepakat untuk menghancurkan Ka’bah tersebut.
- Iklan -
Keesokan harinya, Abrahah menyiapkan para pasukannya. Pasukan-pasukan terbaiknya. Mereka mengendarai gajah, sebuah kendaraan kebanggaan di zaman itu. Berangkatlah mereka dengan membawa peralatan perang super lengkap, persis seperti hendak bertempur dengan pasukan sebuah negara adidaya.
Setelah mereka sampai di Kota Makkah, dengan pongahnya Abrahah mentitah para pasukannya menyerang Ka’bah. Allah Swt menjawab perilaku Abrahah tersebut dengan mengirim ribuan burung Ababil yang paruhnya sudah mematuk batu kerikil dari neraka Sijjil. Burung-burung Ababil itu melemparkan batu kerikil itu, maka hancurlah Abrahah beserta ribuan pasukan bergajahnya. Peristiwa tersebut Allah nyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Fiil. Peristiwa itu bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M.
Nabi Saw wafat pada hari, tanggal dan bulan yang sama dengan hari kelahirannya pada tahun 11 Hijriyah. Beliau dikebumikan di tanah Madinah. (Lihat, Al-Rahiqu al-Makhtum, Syekh Mubarak Furi). Di segenap perjalanan Nabi Saw yang agung terdapat suri tauladan yang sangat mulia untuk kita teladani. Allah Swt berfirman, “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir.” (QS. al-Ahzab, 21).
Kelahiran Nabi menjadi sejarah baru bagi pradaban Arab. Bukan karena beliau dilahirkan dari keturunan suku Quraisy yang berpengaruh. Bukan juga karena berada dalam lingkungan yang terhormat. Akan tetapi, karena beliaulah Nabi yang akan membawa risalah agung dari Allah Swt. Bahkan, dunia ini dipersiapkan untuk kelahirannya. Lau laa hu lam tukhraj al-dunya min al-adami (jika bukan karena Muhammad, dunia ini tidak akan pernah diciptakan). (Lihat, Qasidatu al-Burdah, Imam Al-Bushiri).
Sejarahnya tak pernah lekang ditelan masa, tak pernah bosan mengenangnya sepanjang hembusan nafas dunia. Beliau sang Nabi Saw membawa ajaran yang rahmatan lil alamin. Allah Swt berfirman, “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’, 107)
Menilik peristiwa yang mengiringi kelahiran Nabi, sedikitnya ada dua pesan simbolik yang harus kita cerna sebagai pelajaran. Pertama, simbol hewani. Gajah sebagai simbol kebanggaan, kebesaran, dan kecongkakan, namun terkalahkan oleh burung kecil. Peristiwa tersebut bukan tanpa makna Allah hadirkan kepada kita, yang kemudian Dia nyatakan dalam firmanNya, sebagaimana tersurat dalam QS. Al-Fill.
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Namrud. Raja adidaya dengan kecongkakan melebihi kapasitas dirinya sebagai manusia, namun ia tewas mengenaskan di tangan seekor nyamuk.
Tak ada kekuatan besar di dunia ini melebihi kekuatanNya. KehendakNya tak terhalangi. KekuasaanNya tak tertandingi. Dunia dan seisinya dalam pengaruhNya, yang tanpa rahmatNya akan binasa. Dengan menghadirkan peristiwa tersebut, Allah menunjukkan kebesaranNya kepada kita, kemudian menunjuk kita agar terus mengagungkan asmaNya.
Di samping itu, kiranya cukup lugas Allah menyampaikan pesan kepada kita, bahwa agar kita senantiasa membunuh karakter hewani yang bersarang di dalam kita dengan koridor langit. Mengapa untuk menghentikan congkak angkuh pasukan bergajah yang hendak merobohkan bangunan yang menjadi patokan para hambaNya bersujud kepadaNya, Allah kirimkan burung yang berbondong-bondong (Ababil) dari langit? Hal ini mengindikasikan, untuk membunuh jentik-jentik kesombongan hanya mampu dibasmi oleh petuah-petuah langit. Karakter hewan terbang yang hidup melalangbuana di angkasa kemudian mereka lemparkan batu api dari atas ketinggian, memberikan sinyal dan isyarat akan hal tersebut.
Kedua, simbol kebendaan. Tujuan Abrahah berinisiasi menghancurkan Ka’bah lantaran animo masyarakat terhadap benda-benda yang diagungkannya menjadi berkurang.
Karena benda Abrahah ingin menghancurkan benda. Namun bedanya, benda yang dibela adalah benda-benda yang dikultuskan nafsunya, sementara benda yang menjadi sasaran penghancuran adalah sebuah benda yang Allah agungkan, sebagaimana Allah nyatakan dalam Al-Quran, “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.” (QS Al-Maidah, 97).
Untuknya maka, ketika sahabat Umar Al-Khattab mencium Hajar Aswad, seraya dengan lantang Umar berujar, “Sesungguhnya aku tahu, engkau hanyalah batu, hanya batu. Jika bukan Muhammad Saw yang menyuruhnya, aku tidak akan pernah menciummu!”
Demikian itu satu ibrah kepada kita, membela benda yang diinginkan nafsu sangat tercela. Sedangkan membela sesuatu di bawah koridor suci sangat agung di sisiNya. Membela sesuatu yang bersifat kebendaan jika landasannya adalah kebenaran, maka pembelaan semacam itu dibenarkan. Bukan hal nista pembelaan-pembelaan kita terhadap benda-benda yang kita miliki, asal barometernya adalah kebenaran.
Secara fisik, benda yang dibela Abrahah lebih mengagumkan dibanding Ka’bah yang hanya dibangun dari susunan batu gunung berbentuk kubus. Di situlah pelajarannya yang perlu kita cerna, bahwa benda tetaplah benda yang menjadi pembeda adalah siapa pembela di balik benda-benda tersebut. Kuil dengan arca-arca yang terbuat dari logam berharga, namun Abrahah pembelanya, atau Ka’bah yang hanya susunan batu biasa namun Allah-lah pembelanya? Memandang benda tetaplah benda, jauh melebihi segalanya adalah pandanglah siapa yang memuliakan benda tersebut.
*)Guru dan penulis asal Pulau Mandangin Sampang