Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Pengajar PP. Shirotul Fuqoha’ Kudus
Generasi sekarang, dipenuhi dengan anak-anak yang melek digital. Sejak kecil, mereka sudah akrab dengan perangkat-perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Dalam konteks tersebut, pembelajaran-pembelajaran yang dilangsungkan oleh guru, orangtua dan stakeholders di lembaga pendidikan harus sesuai dengan kondisi peserta didik sekarang.
Keakraban dengan perangkat canggih teknologi informasi dan komunikasi ini, menjadikan siswa sejak dini telah memiliki data dan informasi yang berlimpah. Mudah sekali bagi anak sekarang untuk menemukan dan mencari tahu informasi-informasi yang mereka sebelumnya tidak mengetahuinya. Bahkan, sekalipun informasi yang didapatkan tersebut melampaui usia mereka sesungguhnya. Hanya dengan membuka platform google.com dan mengetikkan informasi yang ingin dicari, maka kun fayakun mereka akan mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kata kunci yang dimasukkan.
- Iklan -
Bagi beberapa siswa, kemudahan-kemudahan tersebut tentu saja menjadikan siswa semakin mudah belajar. Ini karena mereka mudah menemukan sumber-sumber informasi yang mereka butuhkan. Hanya saja, bagi sebagian siswa yang lain, kemudahan tersebut menjadikan mereka menjadi pribadi yang malas belajar dan berpikir. Menurut mereka, semua informasi yang mereka butuhkan sudah ada di internet. Ketika mereka butuh, tinggal dicari saja. Pendapat tersebut memang tidak dapat seratus persen disalahkan, hanya saja ketika anak-anak didik kita menggantungkan pengetahuan dan pemikiran mereka berdasarkan informasi yang ada di internet, niscaya mereka akan menjadi pribadi yang bodoh. Platform digital yang merupakan hasil ciptaan manusia, justru lebih cerdas dibandingkan manusia itu sendiri.
Maka itu, kita harus mendesain metode pembelajaran khusus bagi generasi digital sekarang. Agar, tidak ada lagi salah kaprah dalam memahami pentingnya berpikir dan bagaimana teknologi seharusnya digunakan.
Metode Pembelajaran
Harus diakui, generasi digital sejak dini telah penuh sesak dengan pengetahuan. Namun demikian, mereka memiliki risiko tinggi menjadi pribadi yang lemah dalam karakter cakap berpikir dan menerima perbedaan. Mereka cenderung tahu banyak hal, namun sulit mengkonstruksi pengetahuannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, perlu adanya revolusi metode pembelajaran yang harus kita lakukan dalam pembelajaran-pembelajaran di sekolah.
Pertama, kurangi metode ceramah. Kedua, fokus pada pembelajaran seumur hidup, bukan untuk ujian. Ini karena hal terpenting bukan hanya tentang apa yang mereka ketahui ketika mereka lulus, tapi juga untuk mencintai pembelajaran seumur hidup (Arifin, 2015). Para guru tidak perlu khawatir siswanya lupa tanggal peristiwa penting dalam sejarah, karena mereka dapat mencari informasi itu kapan saja dengan melalui buku maupun web. Para guru perlu mengajari mereka cara belajar, gemar membaca dan menulis, bukan hanya cara mengetahui.
Ketiga, berdayakan para siswa untuk berkolaborasi. Kerja sama dan kolaborasi ini penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Berdasarkan pengalaman Uri Treisman, seorang profesor matematika di Universitas California-Berkeley, ia menemukan bahwa banyak mahasiswa kulit hitam yang awal mula nilai kalkulus-nya sangat jelek, lalu ketika konsep pembelajaran disusun agar semuanya bisa saling bekerja sama, prestasi para mahasiswa kulit hitam dapat meningkat pesat. Di sisi lain, kolaborasi juga akan mengasah sisi sensitifitas terhadap keberagaman dan saling menghormati satu sama lain.
Keempat, fokus pada pembelajaran konsep kesahihan, daripada konsep transfer pengetahuan. Mengenai ini, Iwan Pranoto, dalam tulisannya berjudul Menyelisik Kesahihan (Kompas, 6/12/2016), memberi gambaran menarik tentang pendidikan yang perlu mulai menggeser fokusnya dari konsep mentransfer pengetahuan atau kebenaran, menjadi berkonsep kesahihan. Kesahihan, tulis Iwan, adalah tentang nilai pada struktur pernyataan, berfokus pada kepaduan rangkaian argumen dalam menurunkan simpulan akhir. Inilah hal yang perlu diasah lewat pendekatan yang dilakukan guru saat berinteraksi dengan pemikiran muridnya. Dengan demikian, siswa tidak akan terjebak dengan maraknya informasi hoaks.
Berdasarkan Laporan Bank Dunia tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia menduduki peringkat terendah di antara negara-negara Asia. Hasil tes menyebutkan, siswa Indonesia hanya mampu memahami 36% dari materi bacaan, mereka kesulitan menjawab soal-soal uraian yang butuh penalaran dan analisis (Aan Hasanah, 2015). Data ini seolah mengkonfirmasi betapa lemahnya literasi kita yang diikuti dengan maraknya masyarakat yang terjebak dalam konsumsi informasi hoaks. Terbukti dengan maraknya berita hoaks yang bahkan lebih viral daripada berita lainnya.
Inilah sekadar gambaran konsep sekaligus metode pembelajaran generasi digital. Pembelajaran yang tidak hanya fokus pada pengetahuan, namun juga memfokuskan pada karakter cakap berpikir dan bernalar. Hal tersebut, diharapkan menjadikan siswa tidak hanya mengetahui informasi, namun juga bisa mengolah setiap informasi (pengetahuan) yang didapatkan. Kecakapan bernalar ini juga akan membuat murid memiliki kecakapan berkomunikasi, yang selanjutnya bermuara pada kecakapan sosial mudah menerima perbedaan yang sungguh sangat dibutuhkan dalam berinteraksi di era global sekarang. Ini menjadi modal penting dalam membangun masa depan Indonesia yang maju, mandiri, beradab, berbudaya, serta tidak mudah terprovokasi informasi-informasi hoaks. Wallahu a’lam bish-shawaab