Oleh Fathorrozi
Masih belum beranjak dari benak kita perihal pawang hujan pada balapan MotoGP di Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah, NTB, beberapa hari yang lalu dengan mendapat pujian sebab berhasil memindahkan hujan ke lokasi lain, namun juga tuai hujatan dan kecaman. Pro dan kontra terus bergulir.
Seorang mantan pejabat negara menyebut bahwa pakai pawang hujan di Sirkuit Mandalika adalah perbuatan bodoh (sumber: suara.com, 21/03/2022). Ia juga mengatakan, siapa yang menggunakan pawang hujan untuk menghalau hujan bisa membuat salatnya tidak diterima selama 40 hari. Bahkan, ia heran terhadap pemerintah yang bisa-bisanya mengundang dukun untuk melakukan ritual yang berbau kesyirikan.
Sementara, sebagaimana dilansir dari jatim.nu.or.id (20/03/2022), menegaskan bahwa perbuatan panitia balapan MotoGP Mandalika yang meminta bantuan jasa untuk menghentikan dan mengalihkan hujan ke tempat lain itu dapat dibenarkan.
- Iklan -
Sebab, memindah hujan ke lokasi lain, bahkan menghentikannya bukanlah semata keinginan pawang hujan. Sama halnya dengan kita. Setiap kita berhak menghindar dari guyuran hujan, baik dengan bantuan payung, berlindung di balik mantel, atau berteduh di bawah pohon berdaun lebat. Itu pilihan bebas, seperti Rara Istiani Wulandari juga bebas memohon kepada Sang Pengatur hujan.
Di dalam hadis Sahih Bukhari riwayat Anas bin Malik, Rasulullah pernah melakukan hal tersebut semasa hidupnya. Suatu ketika, Rasulullah berdoa:
Allahumma hawalayna wala ‘alayna. Allahumma ‘alal akami wa thirabi wa buthunil audiyyati wa manabitis syajari.
Artinya: “Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, dan jangan turunkan kepada kami untuk merusak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan di dataran tinggi, beberapa anak bukit, perut lembah, dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan.”
Tersiar pula kisah sebagaimana dituturkan oleh Abu Sa’id al-Ashma’i. Ia bercerita bahwa suatu ketika ia berkunjung ke daerah yang dihuni oleh kabilah Kalbin. Daerah tersebut sudah lama dilanda kekeringan. Kemarau panjang membuat rumput-rumputan tidak bisa tumbuh. Hewan-hewan ternak pun banyak yang mati kelaparan.
Terik matahari terus membakar atap-atap rumah yang ada di sekitar perkampungan tersebut. Angin musim kering membawa debu padang pasir dan mengempaskannya ke dinding-dinding rumah. Denyut kehidupan seakan telah lama terhenti. Burung pemakan bangkai yang biasanya melayang-layang di udara mencari binatang yang sedang sekarat pun tidak terlihat.
Abu Sa’id al-Ashma’i melangkahkan kakinya ke setiap sudut perkampungan itu. Matanya menyapu setiap jengkal tanah yang ada di sekelilingnya. Ia terkejut saat telinganya menangkap sayup-sayup lantunan takbir. Ternyata suara itu berasal dari orang-orang yang sedang menunaikan salat istisqa’, sebuah salat permohonan minta air hujan. Tubuh mereka tampak dipaksakan. Wajah mereka terlihat sangat letih.
Ketika orang-orang itu nyaris berada di ambang putus asa, seorang perempuan tua berdiri dan mengeruk segenggam tanah dengan tangannya. Ia lalu memekik:
Ya Dzal ‘Arsyi, ishna’ kayfa syi’ta fainna arzaqana ‘alaika.
Artinya: “Wahai Pemilik Arsy, berbuatlah sekehendak-Mu. Tapi, tetap saja rezeki kami bergantung kepada-Mu.”
Tidak lama setelah perempuan tua berteriak, seketika matahari tidak terlihat. Langit yang sebelumnya cerah, tiba-tiba dipenuhi awan tebal. Gumpalan-gumpalan awan itu berarak dan bertemu satu sama lain, lalu berubah menjadi sewarna pucat mengkudu lalu pekat. Lamat-lamat terdengar gemuruh di langit, suara yang sejak lama dinanti oleh penduduk kabilah Kalbin.
Titik-titik air pun kemudian turun diiringi gema syukur penghuni kampung. Ketika riuh rendah kebahagiaan mereka tidak terdengar karena ditelan oleh suara hujan yang semakin lebat, perempuan tua yang memanjatkan doa itu terlihat sedang sendirian sembari bersandar di dinding rumahnya. Ia tersenyum dengan bulir-bulir bahagia terhias di matanya.
Dari dua kisah ini (kisah Rasulullah yang mengalihkan hujan dan kisah perempuan tua yang meminta hujan) menunjukkan bahwa manusia hanya bisa berdoa mengharap belas kasih Allah ketika menghadapi kekuatan alam yang merupakan tajalli dari Allah. Bahkan, sejatinya untuk sekadar mengatur air pun manusia tidak mempunyai kekuatan.
Lailahaillallah.
La haula wala quwwata illa billah.
Wallahu a’lam bi shawab…***
Fathorrozi, alumnus Pascasarjana Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq Jember. Aktivitas kesehariannya mengamalkan ilmu di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono Jember, dan mengelola YPI Qarnul Islam Ledokombo Jember.