Oleh Fitriati Arina Manasikana
Tak ada anak yang ingin menjadi piatu, ditinggal mati oleh ibu kandung saat masih membutuhkan kasih sayang dan perhatiannya. Kejadian ini terjadi pada hari Sabtu bulan Februari 2014. Saat itu aku masih menjadi mahasiswi di salah satu universitas yang ada di kota Malang. Ibu pergi meninggalkan dunia ini ketika aku masih dalam masa PKL. Kematian memang rahasia Ilahi dan tak ada yang tahu kapan tiba waktunya untuk pergi dari dunia ini.
Hidup dan mati merupakan satu paket dari Tuhan untuk manusia. Kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian. Kematian ibu datang menjemput tatkala azan subuh berkumandang. Setelah melaksanakan salat subuh, ayah meneleponku mengabarkan jika ibu telah meninggal. Kala itu, aku yang masih bangun tidur antara sadar dan tidak sadar, bingung dengan apa yang ayah sampaikan.
“Ayah bercandakan…,” batinku.
- Iklan -
Namun, aku mendengar suara sesenggukan dari ayah. Barulah aku sadar jika ibu memang telah meninggal dunia. Mendadak dadaku terasa sesak. Untuk menarik napas pun terasa sulit dan menyakitkan. Dadaku bagaikan dihantam palu gada. Kucoba berdiri untuk membangunkan rekanku yang sedang terlelap di kamar sebelah. Akan tetapi kedua kakiku lemas tak berdaya. Dan … aku tersungkur.
“Ibu….,” jeritku dalam hati sebab bibirku terasa kaku untuk berkata.
Entah mengapa semua anggota tubuh terasa mati rasa dan kebas. Untuk berkata tolong pun bibir terasa kelu. “Ya Allah, kuatkan hamba,” pintaku dalam hati. Aku bersujud menghadap ilahi. Meronta-ronta memanggil nama ibu … ibu … ibu …, di sela-sela isakan tangis.
***
Dalam perjalanan pulang ke kampung halaman di Blitar, aku masih berharap jika semua yang kudengar merupakan isapan jempol. Namun, harapan hanya sebuah harapan. Ibuku yang sangat kucintai dan kusayangi benar-benar telah tiada. Bendera kuning terpasang di depan rumah. Para pelayat menatapku dengan tatapan rasa iba.
“Ternyata ibuku sungguh-sungguh telah pergi,” batinku
Sejak berangkat dari Malang ke Blitar, dan selama dibonceng teman kedua mataku terasa kering tak bisa mengeluarkan air mata. Namun, saat kulihat jenazah ibu terbujur kaku di atas meja dengan memakai kain kafan putih bersih, air mataku menetes kembali, bukan hanya menetes tapi sudah seperti bendungan yang jebol.
“Ibu… aku pulang. Bangunlah…!” pintaku sambil memeluk erat tubuhnya yang sangat dingin.
Untuk terakhir kalinya kutatap wajah ibu begitu lama sebelum jenazahnya dimasukkan ke dalam keranda. Wajah ibu begitu cantik, seulas senyum menghiasi bibirnya. Kukecup keningnya sambil melafalkan doa dalam hati.
“Selamat jalan ibu,” kataku ketika melihat keranda ibu meninggalkan rumah
Kematian ibu merupakan nasihat tersirat dalam hidupku. Kematian adalah pasti, tetapi kapan dan di mananya adalah misteri—tidak diketahui kecuali Allah Swt. Kematian tak mampu di wakilkan. Oleh karena itu, kematian merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi pada manusia. Kematianmu adalah kematianmu, dan kematianku adalah kematianku.
Hidup di dunia ini ada batasnya. Tidak ada manusia yang bisa lari dari kematian, seperti apa yang Allah firmankan, “Katakanlah. Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh, kematian itu akan menemui kalian, lalu kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Kemudian Dia beritakan pada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. al-Jumu’ah: 8)
***
Ibu meninggal sudah delapan tahun yang lalu. Akan tetapi kenangan indah bersamanya tidaklah mudah untuk dihapus. Kenangan itu telah terpatri dalam memori. Kadang-kadang ingatan itu keluar begitu saja tanpa diminta. Kenangan indah yang hanya bisa dikenang. Dan, ketika itu aku hanya bisa merapalkan doa untuk ibu agar selalu bahagia di sana.
Ternyata kata ikhlas tidak semudah apa yang mampu aku ucapkan. Mengikhlas kepergian ibu untuk kembali pada Sang Khalik tidaklah mudah, membutuhkan proses yang sangat lama. Bagi seorang anak, ibu adalah muara dari segalanya. Jika muara sang anak telah tiada, maka ke manakah muara sang anak.
Masa-masa setelah ibu pergi merupakan saat yang paling berat dalam hidup. Aku kehilangan tujuan hidup. Hidup hanya pokok hidup tanpa impian atau cita – cita. Bagiku saat itu, apa yang harus dilakukan lagi jika ibu telah tiada. Tak ada alasan lagi selain untuk ibu.
Ketika aku benar-benar kehilangan jati diri, impian, cita-cita dan tujuan hidup, boleh dikatakan saat itu, aku bagaikan mayat hidup yang pokok bisa hidup. Di kala aku seperti itu, ternyata Allah masih sayang padaku, Allah memeluk hati ini dengan kuasa-Nya yang luar biasa. Allah Swt. menitipkan pesan untukku lewat salah satu ceramah dari dosenku kala itu. Sebut saja namanya Pak Mujib. Apa yang dikatakan Pak Mujib begitu relevan dengan suasana hati. Darinya, aku belajar lagi untuk menguatkan iman dan percaya bahwa Allah tidak akan memberikan ujian di luar kapasitas hamba-Nya.
Adapun pesan yang diutarakan oleh Pak Mujib ialah salat tahajud di sepertiga malam mampu menguatkan hati untuk selalu percaya dengan takdir yang Allah berikan. Bacalah Al-Qur’an agar hati tenang setiap waktu. Berkumpullah dengan orang baik dan saleh untuk mendapatkan pengalaman yang baik dari mereka.
Sedikit demi sedikit aku mulai istikamah mengamalkan ketiga hal tersebut dalam kehidupanku. Alhamdulillah ala kulli hal, aku mampu melewati masa berat itu dengan tetap berpegang teguh pada tali agama Allah.
***
Walaupun hati sudah tenang, ada kalanya beberapa penyesalan kadang masih mengusik hati. Pertama, saat ibu pergi menghadap Ilahi aku berada jauh darinya. Kedua, bagaimana ibu berjuang dalam sakaratul maut, aku tidak menuntunnya. Ketiga, saat ibu menahan rasa sakit yang selama ini dirasa aku tidak ada di sisinya. Nasi telah menjadi bubur, penyesalan selalu datang di akhir; menyesal karena selama ini sering mengabaikan waktu bersama ibu.
Seperti dalam surah Al-‘Asr yang mempunyai makna masa atau waktu. Ayat pertama menjelaskan demi masa. Maksud dari ayat ini menjelaskan betapa berharganya sebuah waktu. Ayat kedua mempunyai arti sungguh, manusia berada dalam kerugian. Dari ayat tersebut mempunyai makna tersirat, yakni manusia harus mampu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beramal dan beriman kepada Allah Swt., agar tidak termasuk dalam golongan yang merugi. Ayat ketiga mempunyai makna kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Dalam ayat ketiga ini menjelaskan bahwasannya orang yang tidak termasuk golongan merugi adalah orang yang beriman, mengerjakan amal yang baik, saling menasihati dalam hal kebenaran dan menasihati untuk tetap sabar.
Dari penjelasan surah Al-‘Asr dan uraian singkat diatas dapat diambil hikmah untuk diterapkan dalam kehidupan, yakni hargailah waktu yang ada. Berbuatlah baik selagi masih ada waktu. Karena jika waktu sudah habis, hanya penyesalan yang ada. (*)
***
*FITRIATI ARINA MANASIKANA, kelahiran Blitar 29 Maret 1993. Karya-karya alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini telah dimuat di beberapa media seperti Solopos dan Koran Merapi. Bekerja sebagai Abdi Negara di SD Negeri. Berdomisili di Tlogo, Kanigoro, Blitar.