Cerpen Heru Sang Amurwabumi
Surau itu terletak di dekat muara Bengawan Pegirian, anak Bengawan Mas. Surau itu bukanlah surau biasa, sebab menjadi salah satu surau pertama yang ada di belahan timur tanah Jawa. Ia berdiri di tengah permukiman orang-orang yang berasal dari tanah seberang. Orang-orang yang memiliki hidung lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa. Mereka umumnya berbadan tinggi dengan wajah ditumbuhi jambang dan jenggot lebat, memakai baju seperti jubah, serta menggunakan penutup kepala yang lebih tebal dari ikat kepala penduduk yang lebih dulu bermukim di sana.
Surau itu sendiri dibangun di tengah halaman sebuah pesantren bernama Ampel Denta. Tak jauh dari surau, terdapat sumur yang airnya berasa tawar meskipun berada di dekat bibir pantai. Orang-orang sering berebut mendapatkan airnya sebab dianggap bertuah. Di sanalah keyakinan baru yang dibawa orang-orang berhidung mancung itu diajarkan.
Malam itu, ruang serambi Pesantren Ampel Denta hanya diterangi oleh empat damar1 yang terpasang pada pilar-pilar kayu yang menjadi penopang bangunannya. Ada dua bayang-bayang tubuh manusia yang timbul dari sorotan lampu berbahan bakar minyak itu. Duduk bersila menghadap halaman pesantren, Sayyid Ali Rahmat. Sementara di depannya tampak berposisi duduk yang sama, Sayyid Ali Murtadha. Kedua orang saudara itu sedang terlibat pembicaraan empat mata yang serius, terlihat dari tak ada seorang santri pun yang ikut bergabung di serambi itu.
- Iklan -
“Mimpi itu selalu hadir setiap malam,” jelas Sayyid Ali Rahmat.
“Siapa sosok yang hadir dalam mimpimu itu?” Sayyid Ali Murtadha menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Entahlah. Sepertinya aku pernah bertemu, tetapi lupa, kapan dan di mana.”
“Barangkali sosok dalam mimpi itu memang benar-benar orang yang pernah bergaul dengan kita di waktu silam. Mungkin kita masih memiliki janji yang belum terbayar kepadanya.”
“Bisa jadi. Atau ini sebuah petunjuk dari-Nya.”
“Petunjuk?” tanya Sayyid Ali Murtadha.
“Iya, Kangmas. Petunjuk bagi kita, bagaimana menyikapi perkembangan kabar yang ada di kota-kota di tanah Jawa ini. Perkermbangan di Trowulan, Giri, Demak, dan Daha. Juga kabar kedatangan bangsa Rambut Jagung2 di tanah Melayu, Malaka.”
Belum sempat Sayyid Ali Rahmat melanjutakan pembicaraan, datang seorang santri ke serambi itu. “Maaf, Kangjêng Sunan. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Kangjêng.”
“Siapa dia, Shonhaji?”
“Seorang laki-laki tua yang mengaku dari Trowulan, Kangjêng,” jawab santri yang dipanggil dengan nama Shonhaji.
“Persilakan dia masuk.”
“Maaf, Kangjêng. Menurut pengakuannya, tamu itu ingin berbicara dengan Kangjêng Sunan empat mata, tanpa ada orang lain.”
“Baiklah. Aku akan menunggu di surau. Sudah waktunya salat penghujung malam juga,” sela Sayyid Ali Murtadha yang menyadari bahwa tamu yang dimaksud Shonhaji memang memiliki kepentingan mendesak dengan Sayyid Ali Rahmat.
Shonhaji bergegas meninggalkan serambi, diikuti Sayyid Ali Murtadha yang berjalan menuju surau pesantren. Tak berselang lama, datang seorang laki-laki tua yang diantarkan kembali oleh Shonhaji. Tubuhnya gemuk dan pendek, rambut penuh uban digelung rapi di atas ubun-ubun. Ia berperut buncit. Selembar kain berwarna putih, terselempang di pundak.
“Rahayu, Raden.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Mugi sarwa hayu,3 Paman.”
“Semoga Sang Maha Suci juga senantiasa memberikan keselamatan dan kebahagiaan kepadamu, Raden.” Lelaki tua itu mengangkat telapak tangan kanannya.
“Aamiin.” Sayyid Ali Rahmat menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Masyaallah, rupanya Paman Sabda Palon yang hadir dalam mimpiku setiap malam. Tentu bukan suatu kebetulan saja, sehingga seorang pengasuh Bathara ring Wilwatikta4 sudi singgah di Ampel Denta ini?”
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Raden,” jawab laki-laki tua yang rupanya bernama Sabda Palon itu.
“Jika boleh tahu, apa itu, Paman?”
“Sudah lama aku mendapatkan pawisik.5 Matahari di atas cakrawala Trowulan meredup, lalu tertutup awan hitam hingga gelap gulita. Dalam kegelapan yang pekat itu, terbitlah bulan sabit. Kemunculannya berdampingan dengan sebuah bintang yang tampak terang benderang.”
Suara Sabda Palon terdengar parau. Tangan laki-laki tua itu mengelus jenggot putih yang tumbuh tidak terlalu lebat di dagunya.
“Lalu, apa yang hendak Paman bicarakan tentang pawisik itu?”
Sayyid Ali Rahmat yang mendapat gelar Raden dari Bathara ring Wilwatikta, kembali menangkupkan tangan bersikap astungkara.6
“Raden pasti tahu, bulan dan bintang yang terbit saat matahari redup adalah sebuah pesan tersembunyi. Pesan yang harus dipecahkan maknanya. Matahari di atas langit Trowulan, tak lain adalah simbol dari Surya Majapahit. Lambang sembilan dewa dari orang-orang pemuja Syiwa Sogata.7 Sedangkan bulan dan bintang, tentu adalah ajaran baru yang selama ini Raden sebarkan dari Ampel Denta.”
“Iya, Paman. Apa yang harus kusikapi dari pesan itu?”
Kini, antara Sayyid Ali Rahmat dan Sabda Palon duduk berdekatan. Keduanya sama-sama bersila dengan posisi berhadap-hadapan.
“Jika pawisik itu memang telah menjadi kehendak Pengatur Semesta, tidak mungkin bisa kita tolak. Yang ingin kutanyakan kepada Raden, apakah ajaran baru yang meredupkan syiwa sogata itu akan disebarkan dengan jalan berdarah-darah? Menghancurkan Majapahit? Menghabisi para penganut Syiwa Sogata?”
Sabda Palon mengucapkan kalimat terakhir sambil memejamkan mata. Suaranya terdengar serak dan berat. Ada kekhawatiran dari raut muka yang keriput itu.
“Puntên dalêm sewu,8 Paman Palon. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi Angudhi Panembah Sejati. Artinya, para penganutnya harus bisa memahami Zat Sejati; Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang tak lain adalah Tuhan dari segala yang ada di semesta beserta semua makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia dari golongan mana pun. Itu diwujudkan dengan jalan menemukan pemahaman pada kedalaman pribadi, menghayati ajaran luhur tanpa menentang ajaran lain, atau merasa paling benar sendiri. Dengan kata lain, Islam adalah ajaran yang melarang pemeluknya untuk mencela penganut ajaran lain. Islam adalah agama yang Rahmatan lil Alamin, selalu menebar kelembutan kasih dan welas kepada semua,” Sayyid Ali Rahmat menahan ucapannya sejenak, “Bukan itu saja. Paman Bathara ring Wilwatikta dan istrinya yang juga bibiku, telah memberikan banyak bantuan kepadaku untuk mengenalkan Islam di tanah Jawa. Sudah menjadi kewajiban bagiku untuk membalas budi baiknya. Islam juga mengajari penganutnya untuk tidak berbuat zalim kepada sesama manusia. Bagi kami, Syiwa Sogata adalah saudara tua yang harus dihormati dalam keberagaman. Islam dan syiwa sogata bisa hidup berdampingan dengan ajaran kasih masing-masing, tanpa ada duri-duri kebencian di antara keduanya.”
Sayyid Ali Rahmat kembali mengangkat tangan berposisi astungkara.
“Lalu, kenapa murid dan menantu Raden, Panembahan Fattah di Demak, juga Raden Paku di Giri Kedaton, terus memperkuat pasukan? Tidakkah itu adalah tanda bahwa mereka akan mengangkat senjata untuk menegakkan ajaran baru yang kalian sebarkan?”
Sabda Palon menatap Sayyid Ali Rahmat dengan sorot mata memelas.
“Puntên dalêm sewu, Paman Palon. Tidak ada kaitan antara penghimpunan pasukan di dua tempat itu dengan Islam. Aku sendiri yang akan maju di barisan paling depan, menjadi pembela kedamaian umat, seandainya Demak dan Giri Kedaton mengangkat senjata dalam berdakwah!”
Sayyid Ali Rahmat membalas tatapan mata Sabda Palon dengan senyuman. Mendengar jawaban itu, serta merta mata Sabda Palon berkaca-kaca.
“Terima kasih, Raden. Jika benar apa yang baru saja Raden katakan, sungguh lega perasaanku. Kekhawatiran akan tumpahnya darah di Jawadwipa terhapus sudah. Semoga para penerus Raden kelak juga memegang teguh prinsip ini.”
“Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.”
“Mugi sarwa hayu, Raden. Aku pamit.”
Dua sosok laki-laki itu berpelukan sejenak sebelum Sabda Palon berjalan keluar meninggalkan pesantren lalu lenyap di balik gapura. Sayyid Ali Rahmat menatap dengan dada bergetar.
‘Ya Allah, jauhkan kami dari pertumpahan darah sesama saudara, apalagi yang mengatasnamakan jihad di jalan-Mu.’ Dengan bibir gemetar, Sayyid Ali Rahmat memanjaatkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.
***
Hati Sayyid Ali Rahmat belum tenang. Pertanyaan-pertanyaan tamu laki-laki tua dari Trowulan membuat dadanya terasa ngilu. Mahaguru di Pesantren Ampel Denta itu kemudian larut ke dalam ingatan masa lalunya.
Suatu malam, tak lama setelah tiba di Kambang Putih, Sayyid Ali Rahmat dan Sayyid Ali Murtadha muda mendapatkan wejangan dari ayah mereka, Syekh Ibrahim As-Samarqand, bahwa tanah Jawa yang mereka datangi tak akan begitu saja bisa menerima ajaran Rasul. Ajaran yang bagi sebagian besar orang di tanah Jawa dianggap aneh dan asing.
Menurut Syekh Ibrahim As-Samarqand, jauh sebelum pendahulu mereka berusaha mengenalkan Islam, orang-orang Jawa sudah mengenal konsep ketuhanan. Mereka percaya bahwa ada zat yang mengatur segala alam semesta beserta kehidupannya. Zat yang tak tampak oleh mata. Tak bisa digambarkan dan disamakan seperti apa pun—orang-orang Jawa menyebutnya Tan Kena Kinaya Ngapa.
Begitu sulitnya membawa ajaran baru bagi orang-orang di tanah Jawa yang sudah memiliki keyakinan sendiri itu, hingga para brahmana dari Jambudwipa juga tak mampu menjadikan ajaran Kasyiwan, Waisnawa dan Sogata sebagai agama besar di tanah Jawa. Jika ada yang bisa menerima, hanya di kalangan penguasa dan penduduk kotaraja.
Belajar dari itu, Syekh Ibrahim As-Samarqand mengajak kedua anaknya agar memilih pendekatan yang berbeda. Tradisi dan keyakinan orang-orang di tanah Jawa sudah mengakar begitu kuat. Tak bisa mereka dipaksa begitu saja, apalagi dengan pertikaian.
“Berangkatlah ke Trowulan, temui Batara ring Wilwatikta dan bibi kalian. Sebagai tamu yang baik, kita harus meminta izin dari penguasa Jawa untuk melakukan syiar agama,” ucap Syekh Ibrahim As-Samarqand
“Doakan kami,” jawab Sayyid Ali Rahmat dan Sayyid Ali Murtadha serempak.
“Tenagaku sudah terlalu renta untuk ikut berjihad bersama kalian jauh ke selatan. Biarkan aku mengajarkan Islam di sini saja. Tugas kalianlah, yang masih muda-muda, mengenalkan Islam sebagai ajaran yang menebar banyak kemaslahatan untuk umat,” lanjut Syekh Ibrahim As-Samarqand. “Sabar, nriman, ngalah, loman, akas, lan temen.9 Itulah prinsip dakwah kita, Anakku,” lanjut Syekh Ibrahim As-Samarqand.
Sayyid Ali Rahmat dan Sayyid Ali Murtadha merapikan posisi duduknya. Keduanya manggut-manggut mendengar penuturan ayahnya.
“Sabar adalah sebuah sikap untuk tahan menghadapi ujian. Syiar kita serupa ujian. Butuh ketenangan, tidak tergesa-gesa dan terburu nafsu untuk mencapai tujuan dari jihad yang mulia ini. Jihad dengan jalan mengenalkan Islam di tanah Jawa. Sabar juga bisa diartikan sebagai sifat tabah ketika nanti kalian akan menemui banyak jalan terjal selama bersyiar.”
Syekh Ibrahim As-Samarqand berhenti sejenak, lalu melanjutkan penuturannya, “Nriman artinya bisa menerima. Ikhlas dalam menyikapi segala kejadian yang telah digariskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sikap bisa menerima dalam kaitannya dengan syiar Islam kalian di tanah Jawa sendiri bisa dikatakan sebagai menerima keberagaman keyakinan dan tradisi mereka. Ingat, tanah Jawa sudah lebih dulu memiliki budaya yang tentu berbeda dengan budaya kita.”
Sayyid Ali Rahmat dan Sayyid Ali Murtadha tak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya. Sementara Syekh Ibrahim As-Samarqand meraih cangkir yang berisi air putih. Sebentar kemudian meneguknya.
“Ngalah berarti mewujudkan dua prinsip itu tadi. Ngalah atau mengalah adalah sebuah sikap untuk bersabar dan bisa menerima. Tidak memaksakan kehendak diri sendiri atau keinginan menang sendiri. Ada kata-kata mulia dari para sufi, mundurlah selangkah demi melompat ke depan dua langkah.”
“Lalu apa yang dimaksud loman?” sela Sayyid Ali Rahmat dengan sebuah pertanyaan.
“Gemar bersedekah. Loman adalah kebalikan dari sifat kikir. Perbanyaklah menolong kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa melihat apa keyakinan mereka. Jika itu ikhlas kalian lakukan, niscaya syiar kalian lambat laun akan mendapatkan tempat di hati orang-orang Jawa.”
Untuk kesekian kalinya, Sayyid Ali Rahmat dan Sayyid Ali Murtadha kembali manggut-manggut.
“Terakhir adalah akas dan temen. Akas artinya ringan kaki dan tangan. Bekerja keraslah sebab tak mudah mengislamkan tanah Jawa. Sementara temen atau kejujuran adalah kunci dari keseluruhan prinsip syiar tadi. Katakanlah benar jika memang benar, pun juga sebaliknya, salah jika memang layak disebut salah.”
Pembicaraan antara ayah dan dua anak malam itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa Syekh Ibrahim As-Samarqand akan tetap tinggal di Kambang Putih.
Wejangan-wejangan dari Syekh Ibrahim As-Samarqand itu senantiasa dipegang teguh oleh Sayyid Ali Rahmat sampai di Ampel Denta. Wejangan yang juga tak pernah lelah ia berikan kepada santri-santri di pesantrennya. Kepada Panembahan Fattah yang kini tinggal di Demak setelah menikahi anak perempuannya, Asyiqah. Juga Ainul Yaqin yang telah mendirikan pesantren baru di Giri setelah memperistri anak perempuannya yang lain, Murtasyiah. Dua orang itu bukan hanya menantu, tetapi santri yang tidak biasa. Iya, dua santrinya itu yang menjadi kekhawatiran besar tamu penuh misteri yang terus bergentayangan dalam mimpi Sayyid Ali Rahmat.
***
Sayyid Ali Rahmat menghela napas dalam-dalam, mengusap keringat dingin yang keluar dari dahi dan pelipisnya. Ia singkap lengan bajunya, lalu membasuh segala bagian tubuhnya mulai tangan, mulut, hidung, wajah, lengan, ubun-ubun, telinga hingga kaki. Hatinya masih belum tenang. Ia merasa memiliki kewajiban untuk ikut menjaga hubungan damai antara orang-orang Syiwa Sogata dan Islam. Antara Trowulan, Daha, Giri, dan Demak. Tanggung jawab sebagai pembawa ajaran Rasul yang agung. Ajaran yang pantang menumpahkan darah dalam bersyiar.
Baginya, hari-hari yang akan ia lalui besok masih tetap berat. Sayyid Ali Rahmat membayangkan para pembesar di Trowulan tetap beranggapan bahwa desas-desus tentang klaim Giri sebagai sebuah kedaton, dan Demak sebagai kesultanan baru di luar kekuasaan Batara ring Wilwatikta benar adanya. Dengan kata lain, para penganut ajaran Islam yang mulai marak di pesisir utara Jawa memang berniat menggunakan pertumpahan darah dalam menegakkan keyakinan mereka.
Selesai berwudu, Sayyid Ali Rahmat masuk ke dalam surau. Ia lakukan sembahyang pada tengah malam itu, lalu duduk bersila tepat di tengah surau di akhir salatnya. Tangannya meraih aksamala,10 lalu memutar untaian demi untaian biji kayu cendana itu dengan jemari.
Dalam posisi duduk bersila, Sayyid Ali Rahmat berusaha memusatkan pikirannya pada titik paling hening, agar bisa tenggelam dalam kuasa Pencipta. Dari bibir laki-laki itu mengalir doa yang diucapkan sangat fasih. Sayup dan terdengar merdu ganti-berganti, seolah kata-kata suci itu kemudian terbang menjauh meninggalkan tempatnya duduk bersila, membubung tinggi ke langit malam.
Jemari Sayyid Ali Rahmat tiba-tiba berhenti. Pada lantunan lafal doa yang kian sayup terdengar, napasnya turut berhenti pelan-pelan. Dalam ambang batas antara sadar dan tidak, ia memasuki sebuah ruang tanpa cahaya. Tak ada lagi yang bisa dilihatnya, kecuali dirinya sendiri yang tidak lagi bewujud Sayyid Ali Rahmat.
“Kenapa kau masih gamang, Sayyid Ali Rahmat? Bukankah kau seorang panutan?”
Sayyid Ali Rahmat tak menjawab. Ia tetap bertahan dengan posisi duduk bersila dan mata masih terpejam.
“Bukankah seorang panutan seharusnya bisa menjawab? Jangan hanya diam.” Pertanyaan itu kembali terlontar. Terdengar halus dan pelan, namun menikam tajam ke kedalaman dadanya.
“Jawablah pertanyaanku.”
“Seandainya kau menghentikan geliat menantumu di Demak, apakah kau merasa bahwa islam terbebas dari anggapan miring sebagai ajaran yang hendak menyingkirkan keyakinan lama orang-orang Jawa?”
“Seandainya kau melarang sepak terjang santri yang juga menantumu di Giri, apakah kau yakin bahwa islam akan bersih dari tuduhan sebagai kekuatan baru yang berniat menggulingkan Trowulan untuk memuluskan syiarnya?”
“Seandainya semua itu kau lakukan, apakah kau tahu bahwa ada peristiwa yang jauh lebih menakutkan dari kekhawatiranmu selama ini?”
Ruang tanpa cahaya itu kembali hening. Sunyi sampai di kedalaman hati.
Sayyid Ali Rahmat membuka mata. Pelan-pelan kesadarannya mulai berada pada dimensi alam yang sedang ia pijak. Apapun nantinya peristiwa yang akan terjadi di Trowulan, Daha, Giri dan Demak adalah bagian dari takdir yang sudah digariskan Pengatur Semesta. Tak bisa lagi diubahnya. Di tengah kesadaran itu, tiba-tiba Sayyid Ali Rahmat melihat pemandangan yang sangat mengerikan. Matanya menyasar jauh ke arah barat daya. Arah dari letak Trowulan berada. Tampak jelas dalam pandangannya, tubuh orang yang sangat berjasa bagi syiar Islam yang ia lakukan di tanah Jawa, Bhatara ring Wilwatikta, ditebas pedang oleh empat keponakannya. Tubuh yang rebah bersimbah darah itu kemudian diinjak-injak oleh anak-anak Sang Sinagara.11
“Astaghfirullah al-Adhim,” ia buru-buru merapikan posisi duduknya. “Inikah jawaban dari semua kekhawatiranku selama ini?”
Sayyid Ali Rahmat sadar, agama lama orang-orang Jawa telah kini benar-benar telah berada di gerbang kehancuran. Bukan oleh kedatangan islam, ajaran baru yang ia syiarkan, tetapi tersebab pertikaiaan sesama saudara sendiri.
Untuk sesaat, Sayyid Ali Rahmat, laki-laki yang mulai uzur dimakan usia itu membiarkan air mata menetes ke pipi, lalu mengalir ke ubin surau tempatnya bersujud. (*)
HERU SANG AMURWABUMI,
Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. Tulisan-tulisannya telah terbit di media massa. Pernah duduk sebagai anggota redaksi Harian BERNAS. Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.
Catatan kaki:
- Damar = Lampu kuno, dulu awalnya berbahan bakar miyak jarak.
- Bangsa Rambut Jagung = Sebutan untuk bangsa Eropa.
- Mugi sarwa hayu (bahasa Jawa) = Semoga semuanya selamat.
- Bathara ring Wilwatikta (bahasa Jawa kuno) = Baginda di Majapahit.
- Pawisik (bahasa Jawa) = Pesan, bisikan.
- Astungkara = Sikap menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
- Syiwa Sogata = Sinkretisme antara ajaran Syiwa dengan ajaran Buddha Wajrayana.
- Puntên dalêm sewu (bahasa Jawa) = Mohon beribu maaf.
- Sabar, nriman, ngalah, loman, akas, lan temen. Tulisan ini terdapat di gapura makam Syekh Ibrahim As-Samarqand di Desa Gisikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
- Aksamala = tasbih.
- Berita pada manuskrip kuno Pararaton dengan tarikh 1478 M. Berita ini yang oleh Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda ditafsirkn bahwa syiar Islam Panembahan Fattah, sultan pertama Demak dilakukan dengan menumpahkan darah di Majapahit yang memeluk keyakinan lain. Faktanya, berdasarkan kajian ilmiah dari bukti penemuan arekologis Prasasti Jiyu dan Petak, yang menyerang Majapahit di Trowulan pada 1478 M adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dari Daha. Bukan Demak dengan syiar Islamnya.