Oleh Fatna Harista
Dewasa ini rupanya bumi mulai kurang bersahabat dengan kita. Sejak peristiwa gempa, longsor, kebakaran, angin topan, erupsi gunung hingga banjir bandang. Kita terkadang menyorotinya dengan sebelah mata. Kita mengira musibah ini hanyalah bencana alam biasa, sehingga akal kita cuma sibuk dengan cara mengatasi musibah demi musibah ini. Padahal sejatinya tidak.
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka terhadap (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)
Kita tidak menyadari bahwa di balik semua ini terdapat pelajaran agung dan peringatan penting untuk kita renungi bersama. Pelajaran tentang Kemahakuasaan Allah atas segala kehendak-Nya. Serta peringatan agar kita menangkis diri dari kemaksiatan dan kemungkaran. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
- Iklan -
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
Jadi, sesungguhnya dalam setiap musibah itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah agar kita kembali kepada Allah, bertobat kepada-Nya dan menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat yang selama ini kita kerjakan, seperti meninggalkan salat, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturahim, pergaulan bebas, narkoba, berjudi, makan riba, minum minuman keras dan lain sebagainya.
Musibah yang banyak terjadi di akhir-akhir ini, senyatanya juga pernah terjadi pada masa lampau. Berabad-abad yang lalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab.
Imam al-Haramain dalam asy-Syamil mengisahkan tentang gempa bumi yang terjadi pada masa Sayyidina Umar. Saat bumi berguncang, Sayyidina Umar justru memuji dan memuja Allah. Meskipun demikian, bumi terus saja berguncang dan bergetar. Lalu Sayyidina Umar memukul bumi dengan cambuk sambil berkata, “Tenanglah kau, hai Bumi! Bukankah aku telah berbuat adil kepadamu?” Tak berlangsung lama dari itu, mendadak bumi menghentikan guncangannya.
Kiat mengatasi gempa sebagaimana deskripsi di atas, mengajarkan kita bahwa sebagai amirul mukminin yang hakiki Sayyidina Umar menjatuhkan takzir atau hukuman kepada siapa pun yang telah melakukan kesalahan, termasuk kepada bumi. Ketika beliau telah memimpin rakyat dengan adil seadil-adilnya, tetapi bumi masih berguncang, maka beliau berhak mentakzirnya. Seperti halnya seorang penguasa yang melakukan takzir terhadap rakyat jika mereka melakukan kesalahan.
Jika kita memperhatikan ungkapan Sayyidina Umar kepada bumi yang mengatakan, “Bukankah aku telah berbuat adil kepadamu?” Makna dari ungkapan tersebut, jika terjadi kelaliman dari para penguasa, maka sudah menjadi hak bumi mengguncangkan badannya. Akan tetapi, jika memang di bumi tersebut tidak terjadi kelaliman dan para penguasa memerintah secara adil, lantas alasan apa yang membuat bumi mengguncangkan badannya.
Dalam asy-Syamil tersebut, Imam al-Haramain juga menerangkan bahwa bumi berguncang pada dua kejadian.
Pertama, pada yaumil akhir, sebagaimana yang tercantum dalam surah az-Zalzalah ayat 1-5 yang artinya, “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya.”
Kedua, bumi akan berguncang di saat terjadi kezaliman oleh para penguasa. Hal ini berdasarkan penafsiran dari perkataan Sayyidina Umar di atas.
Jadi, konklusinya bumi berguncang disebabkan memang telah tiba waktunya (hari kiamat) dan akibat perlakuan tidak adil para penguasa. Di samping itu, maksiat dan kemungkaran yang merajalela juga berpotensi mengundang guncangan bumi. Maka dari itu, bersama kita introspeksi dan benahi diri agar selamat dari bencana gempa bumi.
Di samping gempa, pada masa pemerintahan Sayyidina Umar juga terjadi erupsi gunung. Muhammad Mahfudz at-Tarmasi dalam Bughiyatul Adzkiya’ menjelaskan bahwa pada masa Sayyidina Umar terdapat erupsi dari sebuah gunung, tepatnya dari dalam gua yang terdapat dalam gunung tersebut. Erupsi itu meluber dan membakar setiap sesuatu yang ada di sekitarnya. Maka kemudian Sayyidina Umar memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari untuk masuk ke gua tersebut dengan membawa serban miliknya, lalu menyuruh agar menyumbat lubang tempat keluarnya erupsi itu dengan serban tersebut. Menurut Imam as-Subki, Sayyidina Umar melakukan hal itu supaya erupsi yang terjadi tidak membahayakan penduduk yang tinggal di sekitar gunung tersebut.
Karomah penyumbatan erupsi gunung dengan disumpal memakai serban ini tentunya tidak akan terulang dalam sejarah hidup kita. Ini bisa dilakukan hanya oleh para kekasih Allah yang dicintai dan disayangi sebab ketaatan dan kepasrahan mereka yang luar biasa kepada-Nya. Sedangkan kita yang jauh dari anugerah karamah tersebut, kita tangkal erupsi (dan bencana lainnya) dengan berusaha mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebab, Allah yang menurunkan musibah, maka Allah pula yang memberikan jalan keluarnya. Dalam al-Qur’an surah al-A’raf ayat 96 Allah berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf ayat 96)
Jelas sekali, bahwa jika negeri kita ingin diberi keberkahan, hujannya menumbuhkan tanaman dan menyuburkan tanah, kota serta desanya menjadi tempat tinggal yang nyaman, aman dan tenteram, jalan keluarnya adalah takwa; mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Maka, kewajiban kita ketika musibah datang adalah meminta ampun kepada Allah, bertobat kepada-Nya dan meminta keselamatan, serta memperbanyak zikir dan istigfar.***
*Fatna Harista, pegiat literasi, sekaligus pendidik di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono Jember.