Oleh Muhammad Zulfan Masandi
Sebelum membahas ke inti, saya akan mencurahkan satu pengalaman pribadi yang terjadi saat satu pelajaran berlangsung di kelas. Kisah berikut tidak ada unsur merendahkan siapa pun, utamanya kepada sosok ustaz yang sengaja saya samarkan identitasnya, melainkan sebagai salah satu fungsi dari masa lalu—yaitu untuk dipetik hikmah yang terkandung di dalamnya.
Seperti biasanya selepas memberikan materi, ustaz membuka sesi tanya jawab. Dengan antusias, salah seorang teman saya segera mengangkat tangan. “Ketiadaan itu makhluk atau bukan, Ustaz?” begitu pertanyanya setelah dipersilakan mengajukan pertanyaan.
Di kalangan para santri, teman saya (sebut saja Habib) ini memang dikenal anak yang banyak pertanyaan lagi aneh-aneh, termasuk tentang ilmu kalam atau ilmu tauhid, pelajaran yang sedang berlangsung pagi itu.
- Iklan -
Seketika satu kelas dibuat bingung oleh Habib. Tidak hanya saya dan teman-teman lainnya yang perlu waktu untuk mencerna pertanyaan si Habib, ustaz pun meminta Habib mengulangi pertanyaannya, barang kali ia salah memilih kata atau mungkin sedang mengingau.
Habib kembali membuka suara. Ternyata ia dalam keadaan penuh kesadaran. Pertanyaan yang sama kembali ia ucapkan.
Tidak langsung menjawab, ustaz diam sejenak, berpikir. Kelas menjadi hening. Hingga akhirnya beliau berkata, “Mohon maaf, saya tidak tahu jawabannya.”
Perlu diketahui, ustaz saya itu sempat menempuh pendidikan tingginya di luar negeri. Saat ini menjadi dosen di salah satu universitas, juga beberapa instansi pendidikan lainnya. Beliau juga menjabat sebagai bagian dari satu divisi di suatu organisasi Islam di Indonesia. Dalam arti lain, beliau bukanlah sosok kaleng-kaleng, khususnya menyangkut bidang yang beliau geluti, yaitu ilmu kalam.
Ustaz melanjutkan, bahwa sebelumnya beliau belum pernah menerima pertanyaan nyeleneh seperti yang diajukan Habib barusan. Para guru beliau pun belum pernah membahasnya, apalagi sampai terpikirkan pertanyaan seperti itu. Beliau juga bakal mem-forward pertanyaan Habib itu kepada guru-guru beliau.
Meski membuat murid sekalas kecewa, utamanya Habib, ustaz tetap tegak pendirian untuk tidak menjawab. Beliau hanya menjelaskan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang pasti binasa.
Saya Tidak Tahu
Terkait apa yang dilakukan ustaz saya itu, yang tidak segan-segan untuk “menolak” menjawab pertanyaan Habib dan memilih menjawab “saya tidak tahu”, juga pernah dialami oleh ulama kaliber Imam Malik, bahkan manusia bergelar khairul khalqi, Nabi Muhammad saw., berikut kisahnya:
Imam Malik yang gelarnya mujtahid mutlak pernah membuat “kecewa” seseorang yang pertanyaannya tidak bisa beliau jawab. Suatu ketika Imam Malik didatangi seorang utusan dari Maroko yang dititipi tetangganya pertanyaan hingga terkumpul puluhan. Namun, dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan, hanya hitungan jari yang mampu beliau jawab.
Orang itu mendesak, mengingat perjuangannya untuk sampai ke Madinah, tempat tinggal Imam Malik ditempuhnya dengan sangat berat juga kepercayaan para tetangganya untuk menanyakan soal-soal itu kepada Imam Malik. Tetapi Imam Malik bersikeras untuk tidak menjawab pertanyaan itu karena tidak tahu. Beliau juga meminta orang tersebut mengatakan, bahwa ia telah sampai kepada beliau (Imam Malik) dan hanya sebagian kecil itu yang mampu beliau jawab, lainnya beliau tidak mengetahui jawabannya.
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam, Imam Ghazali menyebutkan pada bagian ketiga bab tentang adab seorang alim atau pengajar salah satunya adalah meninggalkan rasa gengsi atau malu dari perkataan “laa adrii” (saya tidak tahu) jika benar-benar tidak mengetahui tentang hal yang sedang dipertanyakan.
Suatu ketika Rasulullah saw. didatangi oleh seseorang. Ia bertanya bagian bumi manakah yang paling buruk dan bagian bumi manakah yang paling baik. Rasulullah pun menjawab, “laa uhsinuha”, sebagian riwayat menggunakan redaksi “laa adrii” yang artinya sama, “saya tidak tahu”.
Kemudian Malaikat Jibril datang, Rasulullah menanyakan jawaban atas soal orang itu. Akan tetapi Malaikat Jibril juga tidak mengetahui jawabannya. Ia pun bertanya kepada Allah Swt. kemudian Malaikat Jibril turun kembali menemui Rasulullah dan memberikan jawabannya. Baru Rasululluah saw. mengatakan bahwa bagian bumi paling buruk adalah pasar dan bagian bumi paling baik adalah masjid.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ilmu itu ada tiga; Al-Qur’an, sunah, dan kata “tidak tahu”. Demikian kata Habib Husein Ja’far Al-Hadar dalam salah satu undangannya di suatu podcast. “Dan tahu bahwa dirimu tidak tahu itu adalah sebuah pengetahuan. Sayangnya kebanyakan orang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, dan akhirnya sok tahu,” lanjut Pendiri Komunitas “Pemuda Tersesat” itu.
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh ulama Tanah Air. Berikut dua kisah Gus Nadirsyah Hosen yang tertuang dalam blog pribadinya, Khazanah GNH yang berjudul “Adab Menjawab dan Bertanya”.
Pada tahun 1998, Gus Nadir mengantre, menunggu cukup lama di kediaman Gus Dur untuk bertanya mengenai sejumlah fatwa NU. Namun Gus Dur malah menjawab, “Tanyakan saja hal tersebut kepada (K.H.) Said Aqil Siradj.” Kemudian datang Nusron Wahid yang juga bertanya kepada Gus Dur tentang suatu peristiwa di Tanah Air. Gus Dur menajawb, “Saya gak tahu. Jangan tanya saya soal itu.”
Masih di tahun yang sama, beliau, Gus Nadir menuju Rembang dan sowan kepada K.H. Musthofa Bisri atau Gus Mus dan menanyakan soal keputusan Munas di Lampung mengenai manhaj NU dalam berfatwa. Sebelum menjawab, Gus Mus bertanya kepada Gus Nadir, “Sudah ke rumah (K.H.) Kholil Bisri? Itu rumahnya di depan. Nanti tanya juga kepada beliau.”
Begitulah adab para kiai dalam memberi jawaban atas soal santri-santrinya, tidak merasa paling tahu, apalagi merasa jawaban yang diberikan adalah satu-satunya sebuah kebenaran.
Tentang tanya-jawab, berikut saya sertakan juga beberapa adab atau tata krama orang yang melakukan tanya-jawab. Bagi penanya, hendaknya memperhatikan betul waktu, tempat, dan kondisi penjawabnya, karena ada kalanya seseorang dalam keadaan bosan, lelah, atau keadaan tidak memungkinkan untuk menjawab lainnya. Penanya juga hendaknya selektif dalam menentukan orang yang akan dimintai jawaban yaitu dengan memilih mereka yang kompeten dan ahli dalam bidang yang sedang ditanyakan.
Bagi penjawab, hendaknya menjelaskan jawabannya dengan kadar sekiranya penjelasannya dapat ditangkap oleh penanyanya. Karena tidak mungkin sama gaya bahasa atau pemilihan kata antara orang dewasa dengan anak-anak, orang berpendidikan tinggi dengan orang awam. Agar tidak terjadi salah paham, hendaknya penjawab memastikan ulang apakah ada penjelasan yang belum dipahami. Mengurungkan memberi jawaban jika memang tidak mengetahui persis apa jawaban atas pertanyaan penanyanya.
Demikianlah Pembaca sekalian, dari para “sumber ilmu pengetahuan” itu bisa kita ambil pelajaran, bahwa tidak semua pertanyaan harus kita jawab, apalagi jika hanya paham setengah-setengah atau lebih parah lagi, tidak tahu sama sekali, alias menjawab ngawur.
Dan berterus terang dengan mengatakan “saya tidak tahu” atau kalimat semacamnya bukanlah sebuah kehinaan atau pun kerendahan yang harus kita hindari. Tidak perlu malu dan gengsi dalam “menolak” memberi jawaban, toh selevel Kanjeng Nabi juga pernah melakukannya. ***
*MUHAMMAD ZULFAN MASANDI, Alumni MANPK- MAN 4 Jombang PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar dan Anggota di Komunitas Pena PeKa Denanyar.