Cerpen Gunoto Saparie
“Bangun! Bangun! Ayo, bangun!”
Itu suara Mahfudz, santri senior. Di pesantren Bahrul Ulum suara Mahfudz membangunkan para santri menjelang subuh telah kami hafal. Tak segan-segan ia mengguyur air dengan gayung ke arah para santri yang masih bermalasan, bahkan tidur lagi, melanjutkan mimpinya.
“Baru pukul setengah empat,” keluh Syamsul sambil mengusap-usap matanya.
- Iklan -
“Oh ya, kirain pukul setengah lima. Hehehe,” jawab Mahfudz tanpa rasa bersalah. “Kalian kan bisa memanfaatkannya untuk mengerjakan salat tahajud,” ujarnya.
Sebagian santri bangun, mengambil air wudu, lalu mendirikan salat tahajud. Beberapa orang mengambil Al-Qur’an dan mendaras ayat-ayat Tuhan. Namun, ada pula yang masih duduk-duduk dengan lesu di tikar tempat salat. Bahkan ada yang masih tiduran sambil menatap langit-langit. Sebagian besar santri memang memilih tidur di musala yang lebih lapang ketimbang di dalam gotakan (kamar). Banyak yang tidak betah tidur di dalam kamar sempit, penuh pakaian, dan kitab-kitab. Kapasitas kamar untuk empat orang sering diisi dua kali lipatnya.
Pondok pesantren kami memang tidak termasuk modern. Pondok pesantren kami sifatnya tradisional dan sering disebut sebagai pesantren salaf. Di sini kami belajar mengaji kitab-kitab kuning. Berbeda dengan di pondok pesantren modern, di sini hubungan antara kiai dengan santri cukup dekat secara emosional. Kiai tak segan-segan terjun langsung dalam memberikan pelajaran kepada para santrinya.
Ayahku sebelumnya memang tidak setuju aku mengaji di pondok pesantren, apalagi yang klasik atau salaf. Beliau menginginkan aku sekolah dasar dan menengah seperti biasa, tetapi kalau sore belajar di madrasah ibtidaiah dan malamnya mengaji di surau. Namun, aku tetap bersikeras untuk berangkat ke sebuah kota di Jawa Timur untuk menimba ilmu di pesantren.
Tentu saja ayah marah. Tak terkendali. Menggebrak meja. Aku lari masuk ke dalam kamar. Menangis. Ibu datang mengusap-usap kepalaku.
Metode belajar-mengajar di pondok pesantren ini terbagi menjadi tiga, yaitu sorogan, wetonan, dan klasikal. Metode sorogan adalah sistem belajar-mengajar di mana santri membaca kitab yang dikaji di depan ustad atau kiai. Sedangkan sistem weton adalah kiai membaca kitab yang dikaji sedang santri menyimak, mendengarkan dan memberi makna pada kitab tersebut. Metode ini juga sering disebut sebagai bandongan. Sedangkan metode klasikal menggunakan sistem kelas yang tidak berbeda dengan sistem modern. Namun, bidang studi yang diajarkan mayoritas adalah keilmuan agama.
Ketika suara azan subuh menggema, para santri bergegas ke kamar mandi, mengambil air wudu di kulah besar. Air begitu dingin menerpa kulit kami. Sesekali sebagian santri bermain air, menyiramkan ke temannya dengan gayung batok yang terbuat dari tempurung kelapa.
Kami memakai kain sarung dan berpeci saat salat. Memang ini menjadi ciri khas kami. Bahkan dalam keseharian kami memakai sarung. Tidak hanya saat berada di pondok pesantren, namun juga ketika berjalan-jalan ke toko atau pasar.
Sebenarnya menjalani hidup di pondok pesantren cukup berat. Namun, aku telah bertekad untuk menjadi santri yang baik dan siap menjalaninya. Aku harus kuat. Awal-awal aku di sini, aku memang sering teringat orang tua dan saudara-saudaraku di kampung halaman. Aku sering merasa sangat rindu kepada mereka. Celakanya, aku tidak bisa setiap saat pulang ke rumah. Apalagi jadwal liburanku sering telah penuh dengan kegiatan pesantren.
Aku tidak lagi bisa santai-santai di pondok pesantren. Jadwalnya sangat padat. Para santri seakan tidak boleh beristirahat. Bangun jam tiga pagi pun sudah biasa, untuk mengerjakan salat malam. Sehabis salat malam, dengan kantuk yang memberat, dilanjutkan dengan kegiatan mengaji dan salat subuh.
Menjalani hukuman karena melanggar peraturan di pesantren adalah hal biasa. Aku beberapa kali dihukum mengisi kulah pondok pesantren putra dan putri. Waktu itu belum ada yang namanya pompa listrik. Aku harus menimba air dari dalam sumur yang sangat dalam. Letih dan keringat bercucuran.
Suatu ketika aku tidak mampu menghafal beberapa bait nadzom alfiyah dan imriti. Akibatnya, aku dikenai sanksi. Aku harus mengepel seluruh lantai pondok pesantren, bukan hanya di ruangan khusus putra, namun juga putri. Selain capai, ada rasa malu juga. Apalagi ketika mengepel di pondok pesantren putri. Mereka, para santriwati, terutama Zaenab, putri pemimpin pondok pesantren, mengejek dan menggodaku.
Di pondok pesantren memang harus kuat dan tabah. Menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah kegiatan sehari-hari. Kami juga harus menguasai minimal dua bahasa asing. Karena itu bahasa Arab dan Inggris digunakan sebagai alat komunikasi atau percakapan sehari-hari.
“Ada lagi. Belum sah menjadi santri kalau kau belum pernah terkena penyakit kulit berjamaah,” kata seorang santri senior bercanda.
Aku tertawa. Ternyata untuk menjadi santri harus terserang gudigen, penyakit kulit itu. Namun, kami menikmatinya. Menggaruk-garuk bagian-bagian kulit yang gatal itu ternyata menjadi keasyikan tersendiri.
Kiai Zaenal Zakaria, pemimpin pondok pesantren, setiap habis salat subuh, memberikan kuliah. Pagi ini topiknya tentang Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam rahmatan lil’alamin.
“Islam itu rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya keselamatan bagi manusia, tetapi juga untuk alam lainnya. Yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas, dan juga hablum minal alam,” katanya.
“Kita harus mengembangkan pola hubungan antarmanusia yang pluralis, humanis, dialogis, dan toleran. Kita juga harus mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa kasih dan sayang,” ujar Kiai Zaenal lagi.
Kami, para santri mengangguk-angguk. Kami memang suka cara Kiai Zaenal mengajar. Kami dilatih untuk biasa menghargai perbedaan pendapat, menempatkan wahyu dan akal secara proporsional, dan tidak fanatik.
Seperti biasa, kuliah subuh yang disampaikan Kiai Zaenal di sana-sini dibumbui dengan humor. Suasana menjadi menyegarkan dan kantuk pun hilang. Namun, mendadak di tengah suasana itu, Kiai Zaenal jatuh terduduk, lalu ambruk. Kami semua terkejut.
“Astaghfrullahal adzim….”
Orang-orang pun gaduh.
Beberapa orang santri segera menanganinya. Menggotong ke rumah Kiai Zaenal yang tak jauh dari pondok pesantren dan dibaringkan di dipan yang terletak di ruang tengah. Tampak wajah Kiai Zaenal berkeringat dan membiru. Sejumlah orang berinisiatif memanggil ambulans.
“Zaenab,” tiba-tiba Kiai Zaenal memanggil salah seorang putrinya.
Zaenab, gadis cantik, yang menjadi impian para santri itu, mendekat. Menggenggam tangan ayahnya. Nyai Maryam, istri Kiai Zaenal, menangis tersedu.
“Saefuddin,” tiba-tiba Kiai Zaenal menyebut namaku.
Orang-orang menolehku. Aku rasanya tak percaya terhadap pendengaranku.
“Saefuddin,” Kiai Zaenal memanggilku lagi.
“Dalem,” kataku terbata seraya mendekat.
Kiai Zaenal mengucapkan syahadat dengan suara bergetar dan terbata-bata. Matanya terpejam. Kami pun terdiam. Terpaku.
“Zaenab dan Saefu…,” namun kata-kata Kiai Zaenal terputus. Tidak selesai. Allah telah memanggilnya. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Tangis pun pecah di ruangan itu. Gerimis di luar tiba-tiba menderas. (*)
Semarang, September 2020.
*GUNOTO SAPARIE, lahir di Kendal, 22 Desember 1955. Pendidikan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Buku-bukunya yang telah terbit Melancholia (puisi, 1979), Solitaire (puisi, 1981), Islam dalam Kesusastraan Indonesia (esai, 1987), Malam Pertama (puisi, 1996), Penyair Kamar (puisi, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-lain (puisi, 2019), dan Bau (novel, 2019). Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah ini bersama keluarga tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Ngaliyan, Semarang.