BANDONGAN QAALAL-MUSHONNIFU
Semua duduk tawaruk sembari tumungkul,
merasa rendah di hadapan pewaris rasul.
Kiai datang dengan secarik kertas kuning,
lalu duduk memandang satu demi satu
kepala yang berhasil dielus-elus olehnya
dengan senyum, hati, dan tangan-tangan doa—
Qaalal-mushannifu rokhimahullaahu ta’aala
wa nafa’anaa bihii wa bi ‘uluumihii fid-daroini,
aamiin.
Ratusan santri bisu-mematung
: suaranya dirampas kewibawaan,
ruang gerak dipersempit ketakziman.
Diksi-diksi arabi yang dibubuhi
dengan makna gandul pegon jawi
merupakan cirikhas pesantren negeri kami,
cenderamata Sunan Gunung Jati—
BismiLlaahi : Kelawan nyebut asmane Allah—sifate Allah;
ar-rahmaani : kang welas asih ing dhalem dunyo-akhirat—sifate Allah;
ar-rahiimi : tur kang welas asih ing dhalem akhirat beloko.
Dengar-mendengar.
Serat-menyerat.
Sirat-menyirat.
- Iklan -
Suara Kiai mengair laiknya mata air yang
pecah dan mengalir menuju segala penjuru muara.
Menuntun santri-santri memahami Pencipta dan ciptaanNya
: memahami satu demi satu ayat ilahiat,
memaknai sabda-sabda nubuat dengan cermat,
dan petuah ulama salaf pada kertas-kertas keramat—
al-Khamdu : Utawi sekabehane puji kang patang perkoro—iku;
liLlaahi : kagungane Allah;
(…)
Dengar-mendengar.
Serat-menyerat.
Sirat-menyirat.
Ibarot orang-orang dulu
dipapah melewati rerimbunan dada.
Utawi iki iku menjelma kaki yang
mengitari kerikan beberapa jangkrik yang kelelahan
dan kepala-kepala santri yang dengklak-dengkluk
menunggu wallahu a’lam tak kunjung datang.
Kiai tersenyum, “Berkah, berkah, berkah.”
Seluruh santri menunduk dan mendesah—
Menahan kantuk yang tak sudah-sudah.
Al-Ikhsan, 2018-2020
NGAJI ONLINE
: Saat Pandemi Corona
/1/
Di depan layar empat inci, seorang santri menatap wajah kiai
yang sedang membacakan kitab arabi dengan makna jawi
dan tangannya yang menari-nari, ngapsahi dengan hati-hati.
“Mudah sekali, bisa sambil tiduran, ngudut juga ngopi
tanpa rikuh di hadapan Kiai,” kata santri.
Tidak terlalu sering terserang kantuk layaknya ngaji
di serambi seperti di kebiasaan hari.
Bila tertinggal, ia bisa men-download
video streaming, lalu didengarnya ulang
sambil nambal tulisan yang sempat tertinggal.
Katanya: enak sekali di masa-masa pandemi,
bisa lama-lama di rumah dan memanjakan diri,
tak perlu susah-susah cari tempat sembunyi untuk merebah diri,
ngaji online pun tak sulit untuk diikuti.
/2/
Di benaknya ada resah yang mengganjal, mengingat
banyak santri-santri yang lebih ndherek tindak-lampah
langsung dari Kiai dibanding hanya
transfer ilmu yang sering tak-sampai hati
: bagaimana wudunya, salat, dahar, ngunjuk,
berjalan, dan tatakrama-tatakrama lain
yang sering tidak dicontohkan di dalam buku.
/3/
Matanya terpejam, membayangkan sang kiai
sedang berkelakar demi mengusir segala kantuk
dan bosan yang ada di setiap relung santri.
Kemudian wajahnya yang bulan tersenyum lembut
menyinari tubuh santri dengan cahaya-cahaya pelukan.
“Mau sampai kapan mata ini tak bisa melihat
langsung wajah yang hangat dan murah senyum itu?
Pandemi, cepatlah pergi, aku sudah pengin ngaji bareng Kiai,”
gumam santri yang sedari tadi wajahnya sudah ambruk ke atas bumi.
Al-Ikhsan, 2020
MONDOK
/Minggu pertama/
Bapak- Ibu menggandeng tanganku
yang gemetar melihat dunia yang begitu baru
dan mengajakku masuk ke sebuah tempat
untuk belajar sebuah kesederhanaan dan mengenal
siapa yang telah memberiku nafas dan kecukupan.
“Semoga engkau bisa kerasan, ya Nduk,”
pesan mereka sebelum benar-benar melepasku masuk ke dalam
sebuah penjara yang, aku tidak tahu, kapan berakhirnya.
/Minggu kedua/
Malam semakin gelap,
memekakan telinga untuk mendengar pertengkaran
angin yang sedang ribut berebut seporsi sunyi
yang hendak ia suguhkan kepada mata
yang belum padam. Kutatap lamat-lamat dan kudekati—
ia malah hilang. Tiba-tiba ia masuk lewat lorong-lorong jendela
dan memelukku erat dengan tangannya yang dingin.
/Minggu ketiga/
Jarum jam berpeluk mengadu rindu.
Melihatnya, aku cemburu.
Aku merangkak tersuruk-suruk menuju persembunyian,
ikut mengadu rindu dengan air mata;
memangku air mata di atas serban ibuku.
/Minggu keempat/
Rindu menjadi surya sejengkal di atas telaga.
Meringkaikan air yang bermuara. Derasnya pelupuk
tak membuat isi, justru semakin tandus
bak sahara Afrika.
Sia-sia!
Aku pulang saja!
/Minggu kelima/
Tinta berada di saku,
kitab-buku catatan diapit ketiakku
menuju surau ngaji:
menghidupi vokal-vokal yang mati;
mengawinkan konsonan-konsonan yang masih sunyi.
Ach! Sulit!
Pening!
Pulang saja!
/Minggu keenam/
Aku mulai bisa memahami, mengapa
bapak dan ibuku melepasku dari pangkuan mereka
sebelum aku benar-benar menjadi dewasa.
Hari-hariku berputar monoton tak bervariasi,
hanya itu-itu saja yang musti kujalani
: mengunyah kertas usang tulisan Mbah Shonhaji,
mengurut 200 lebih nazam imrithi,
ngapsahi ibarot-ibarot ulama salafi
dengan makna-makna jawi,
dan unggah-ungguh ala pesantren
yang membuatku kikuk di depan kiai.
Namun, lumayan, mereka mampu
mengajakku istirah sebentar melupakan
kata liburan yang tak kunjung datang.
/Minggu ketujuh/
Sunyi senyap merintih lewat bibir malam;
mengajakku menelusuri nasihat demi nasihat,
rengkuh demi rengkuh sahabat-sahabat,
dawuh demi dawuh kiai-ustad,
kata demi kata sabda nubuat,
dan makna demi makna surat-surat ilahiat.
“Bapak! Ibu! Aku sudah kerasan,” kataku,
sambil tersenyum menepis ragu dan haru.
Al-Ikhsan, 2018-2020
SANTRI BARU
Seperti halnya Adam dan Eva, pada saat
mereka diusir dari rumahnya untuk tinggal
di pondok pesantren bumi dan tidak ada
cobaan yang lebih menyakitkan kecuali rindu.
Kemanjaan-kemanjaan di surga, pelukan adam
juga belaian eva, dan kemewahan-kemewahan
rumah musti ditinggalkan sementara waktu.
Adakah yang lebih mulia dari merelakan itu semua?
Al-Ikhsan, Juli 2020
ROTI HATARI SANTRI
Kesepianku melebihi biskuit hatari
yang diisolasi oleh jajanan-jajanan kaum santri
pada hari di mana liburan dipaksa berhenti
dan semuanya diharuskan kembali.
Pada saat jajan-jajan santri sudah ludes berlalu,
sedangkan suara perut mulai bertalu-talu,
aku yang duduk sendiri di pojok almari
ternyata mulai dilirik dan diperhatikannya lagi–
“Wah, masih ada sisa hatari, bisa buat ganjal
perut di malam hari,” katamu sambil dibiarkannya
tubuhku habis dimakan, walau hanya sekadar sebagai
pengganjal nyeri di kala sepi datang kembali.
Kesepianku melebihi biskuit hatari
yang diisolasi oleh jajanan-jajanan kaum santri.
Meski pada akhirnya tubuhku habis dicuili,
tapi tetap tak diberi makna ataupun arti.
Al-Ikhsan, 27 Juni 2020
*JAMALUDIN GmSas— adalah nama pena dari Jamaludin. Lahir di Pemalang, 20 Juli 1997. Ia adalah santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas. Laki-laki pecinta kopi ini puisi-puisinya pernah disiarkan di laman: Koran Tempo, Pos Bali, Medan Pos, Radar Banyumas, dan lain-lain. Tersebar juga di beberapa antologi bersama, antara lain: Tahun Baru Bersama Bunda (Anara Publishing, 2018), Petani dan Sebatang Padi (Jejak Publisher, 2018), dan Setumpuk Rindu Yang Berdebu (Inspira Pustaka, 2019).