Oleh Hamidulloh Ibda
Mengampu mata kuliah Karya Tulis Ilmiah (KTI) bukan hal mudah. Meski menulis sudah menjadi makanan sehari-hari bagi saya. Namun banyak pengalaman menarik yang perlu saya ceritakan di tulisan ini.
Pertama, kemampuan atau bisa disebut kompetensi mahasiswa dalam menulis berbeda. Sehingga mengharuskan saya memperlakukan mereka berbeda pula. Apalagi pembelajaran dalam jaringan seperti saat ini, yang awalnya saya bisa menjelaskan konsep sampai ke teknis-teknisnya, namun keterbatasan lewat dunia siber menjadi mahasiswa memahami materi berbeda. Bahkan ada yang “babar blas” tidak paham.
Kedua, kebiasaan bermedsos yang sudah dijadikan candu bagi mereka. Maka wajar ketika diajak mikir menulis artikel ilmiah pada “ngelu” semua. Bahkan ada yang japri saya, semalaman tidak tidur hanya untuk mengetik satu halaman saja. Ngeri!
Ketiga, faktor kesusahan itu karena intinya tidak terbiasa. Meski pandai menulis status di WhatsApp, namun menulis artikel memang berbeda. “Jebul susah banget ya, Pak” begitu curhatan salah satu mahasiswa.
Pemaksaan atau Apa?
Saya pribadi sejak mengampu Bahasa Indonesia Dasar dan Lanjutan, Bahasa Indonesia MI/SD, Pembelajaran Sastra Anak, Karya Tulis Ilmiah, Pengembangan KTI MI/SD dan Proposal Skripsi, harus “mbatek” sedikit bahkan super memaksa kepada mahasiswa.
Memaksa apa? Ya memaksa menulis mereka dengan orisinil, genuine, jujur dan bebas plagiasi. Semua mata kuliah di atas outputnya adalah produk karya.
UTS saya bebankan pada tugas artikel-esai populer yang wajib dimuat di media massa. Mereka yang tulisannya dapat menembus media massa cetak, otomatis saya beri nilai A. Sedangkan UAS luarannya adalah submit artikel ilmiah di jurnal ilmiah.
Sementara produk lain berupa proposal skripsi, resensi, review jurnal. Tak sekadar makalah. Untuk sastra, produknya puisi, cerpen dan cergam yang saya jadikan buku.
Hampir sepuluh buku hasil produk asli mahasiswa juga. Mulai dari antologi cerpen, antologi puisi, cergam, kumpulan atau bunga rampai artikel populer, artikel ilmiah dan lainnya.
Nyatanya bisa. Bisa dan bisa. Setiap saya mengampu mata kuliah di atas, nyatanya ada yang dimuat di koran cetak, dan lainnya di massa siber.
Ada tujuh mahasiswa yang terdeteksi sudah juara di tingkat nasional pada LKTI Tingkat Nasional LP Ma’arif PWNU Jateng, Lomba Artikel Kemdikbud dua kali, dan yang lain.
Beberapa artikel ilmiah juga sudah tembus di beberapa jurnal yang terindeks Sinta 2. Ini luaran yang sangat luar biasa bahkan bagi sebagian kampus besar tidak mungkin dapat mendesain mahasiswa memiliki prestasi tersebut.
Saya pun bangga ketika beberapa mahasiswa sudah konsisten menulis. Selain kepuasan intelektual, mereka juga mendapat “uang beli kopi”. Yang juara mendapat uang jutaan juga lumayan untuk menambah biaya kuliah. Bukankah ini keuntungan plus?
Selentingan “wah tugase Pak Ibda angel menguras tenaga dan pikiran” sering saya mendengar. Saya diam. Karena saya yakin mereka akan merasakan manfaatnya besuk ketika sudah lulus. Baik saat menjadi guru, ASN, atau saat studi lanjut Pascasarjana.
Beberapa juga sudah japri “Pak besuk saya dibimbing nggeh pas ada tugas jurnal ilmiah”. Saya selalu siap dan bilang “woke”.
Selain produk karya tulis jurnalistik, karya tulis ilmiah, karya sastra, juga ada karya digital berupa video di Youtube, desain, dan lainnya. Semua output itu saya yakin bukan inisiasi pribadi yang saya paksakan pada mereka, namun sudah sesuai zeitgeist (spirit zaman). Sudah saatnya begitulah!
Saya pernah bertanya, “apa tugas yang saya berikan berat?” Salah satu mahasiswa menjawab “boten, Pak, tapi karena tidak biasa ya mumeti niku”.
Namun buktinya beberapa mahasiswa sudah “enjoy” menemukan jalan menulis dan menjadi candu. Mereka mendapat honor, nama, juga mendapat kejuaraan bahkan melebihi kapasitas atau minimal setara dengan mahasiswa S2.
Yang lebih bikin ngakak itu, ada mahasiswa yang menyimpan buku hasil tugas saya itu di kamar, tidak dibuka bungkusnya. Alasannya apa? Ya karena eman-eman. Hehehe.
Ini bagi saya kebahagiaan sendiri. Meski bagi sebagian orang berpendapat bahwa menyebarkan dan menularkan kebaikan itu susah, tapi nyatanya bisa. Riil bukan hoaks.
Bahkan beberapa mahasiswa kemarin juga menghubungi saya. Mereka curhat karena akan menerbitkan buku. Wah ini kemajuan dan kabar kejujuran plus menggembirakan. Sebab, sebelumnya juga ada dua mahasiswa menerbitkan buku hasil risetnya dan juga sudah terbit menjadi artikel jurnal ilmiah.
Dalam literasi memang tidak sekadar penyadaran saja. Namun pilarnya adalah “membaca, menulis, mengarsipkan”. Mahasiswa sudah saya arahkan ke sana. Tak sekadar menyadarkan namun saya mengajak mereka berkarya. Sebab, usia karya kita akan lebih abadi dan bertahan lama dari usia kita sendiri. Itu pasti!
Artinya, sampel ini membuktikan bahwa literasi yang saya galakkan bukan pemaksaan, tapi?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.