Oleh Muallifah
Sejak maraknya virus corona yang menjadi bencana dunia, barangkali menjadi peringatan besar kepada para umat di dunia bahwa apapun yang menjadi ketetapan dari sang Maha Pencipta, adalah bentuk ketidak kuasaan manusia sebagai ciptaan yang seringkali mengaku hebat, sebagai penemu sesuatu atau bahkan pencipta sesuatu. Padahal semuanya akan bermuara pada ke-Mahakuasaan sang Khaliq. Namun, ketika kondisi mencekam seperti sekarang ini, bukan lagi berangkat pada premis bahwa virus corona merupakan tentara Tuhan yang dikirim untuk manusia yang tidak taat pada Tuhan lalu serta merta berubah menjadi kesesatan manusia dalam bertindak, lalu Tuhan murka dengan hal tersebut. Ini merupakan wujud sikap denial, misalnya merebaknya teori konspirasi, bahwa virus corona akibat bocornya sebuah penelitian virus di Kota Wuhan, atau virus ini bagian dari prang antara Amerika vs China.
Boleh saja, kita beranggapan demikian, sebab ini bentuk muhasabah terhadap diri sendiri atas perbuatan kita terhadap alam, lingkungan serta masyarakat sekitar. Akan tetapi, bersikap seolah-olah ini murka Tuhan atas kelalaian dan kejahatan sebagian kelompok rasanya justru akan semakin menimbulkan kekacauan.
Masyarakat kita, bukanlah manusia yang memiliki tingkat literasi diatas rata-rata. Bahkan sejak virus corona menyebar, di antara banyak penelitian yang masuk, hanyalah Indonesia yang tidak memiliki penelitian secara ilmiah, semua merujuk kepada konspirasi yang diciptakan oleh penguasa kepada masyarakat. Kondisi akan dimainkan oleh beberapa kelompok yang memiliki kepentingan politik, balas dendam politik untuk menghancurkn sebuah rezim yang tidak disukainya. Belum lagi dengan kecanggihan teknologi bisa mengendalikan manusia.
- Iklan -
Terkadang pengguna media sosial yang memberikan kritikan mendidik, membangun, serta demi kemashlahatan masyarakat justru menjadi salah akibat dipermasalahan dan dianggap melawan pemerintah. Baru-baru ini, melalui akun twitter, ada beberapa akun yang sudah mengalami pembekuan akibat kritikan terhadap pemerintah yang dirasa menyebabkan kegaduhan.
Di antara berbagai negara yang mengalami penyebaran virus corona, China misalnya menutup seluruh kegiatan masyarakat secara serentak selama 14 hari untuk mengurangi penyebaran virus Corona. Masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan yang begitu minim terhadap kebijakan pemerintah yang kontroversial dalam menanggapi bencana besar ini.
Di samping itu, krisis keterbukaan suatu rezim dalam sebuah pemerintahan baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah menyebabkan masyarakat awam bingung menyikapi berbagai kebijakan. Mulai dari kebijakan yang tidak tetap, hingga framing dari berbagai media yang saling menyerang satu sama lain. Masyarakat kita disuguhi oleh lelucon pemerintah yang tidak konsisten terhadap segala kebijakan yang diambil.
Di satu sisi, pemerintah justru memiliki tanggung jawab besar atas terjadinya bencana dunia yang tidak direncanakan ini. Sudah seharusnya mereka memberikan sesuatu dengan tanggap. Sehingga bisa saja, ketidak terbukaan pemerintah untuk memberitahukan korban virus corona ini demi mengurangi kepanikan masyarakat. Akan tetapi, dengan berbagai informasi yang beredar, media sosial membuat masyarakat semakin panik akibat beredarnya informasi yang tidak jelas sumber informasinya.
Masyarakat butuh media yang mencerahkan untuk memberikan informasi yang mengedukasi masyarakat awam agar tidak menjadi kaum kagetan dengan menerima berbagai informasi yang datang yang tidak jelas sumbernya. Jurnalis dari berbagai media seharusnya memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar tidak membiasakan budaya percaya terhadap sesuatu yang belum pasti. Bersikap hati-hati untuk menjaga kesehatan merupakan hal yang paling penting.
Pemerintah pusat ataupun daerah harus saling bersatu menjadi pelindung masyarakat dengan memanfaatkan media sebagai pemberi informasi, agar masyarakat tidak menganggap remeh pemerintah atas kebijakan yang simpang siur serta tidak sejalan antara pusat ddengan daerah. Media, pemerintah harus bersatu untuk memberikan edukasi kepda masyarakat awam agar bersatu melawan berita bohong yang beredar.
Masyarakat juga harus bersinergi dengan pemerintah dengan menaati peraturan yang telah ditetap. Hari libur yang menjadi salah satu alternatif kebijakan pemerintah benar-benar digunakan untuk social distancing. Hal tersebut mungkin akan dirasa berat, akan tetapi jika masyarakt tidak bisa menaati peraturan tersebut, bukanlah pemerintah yang bisa disalahkan atas kejadian ini. Terkadang kita menginginkan pemimpin yang baik, sedangkan diri kita sendiri belum mampu untuk jadi masyarakat yang baik. Wallahu a’lam bisshowab.
-Penulis mahasiswi IAIN Madura dan aktivis IPPNU
Ada dua hal yang ambigu di artikel ini. Pertama, poin ‘pemerintah kontroversial’ yang oleh penulis dilempar kepada pandangan masyarakat, sama sekali tidak ada poinnya. Karena tidak menjawab pertanyaan kebijakan ‘apa’ yang dimaksud serta kapan kebijakan itu dikeluarkan. Ini tidak baik bagi pembaca. Kedua, krisis keterbukaan yang DIASUMSIKAN oleh penulis itu, saya anggap terlalu bombastis. Media yang edukatif bukan tidak banyak ya, bergantung user mau apa tidak mencarinya. Seharusnya penulis tidak terburu-buru memosting sebelum cek and recek. Karena akhir tulisan ini secara tidak langsung, penulis mengajak masyarakat untuk mengontrol dan tetap menghargai kebijakan pemerintah. Saya sepakat. Tetapi tetap saja, ambigunya masih nempel karena logika tulisan ini tidak komit: seolah mengkritisi pemerintah tetapi nol data.