Oleh: Al-Mahfud
Belum lama ini, Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia berkata bahwa agama adalah musuh Pancasila. Tak lama kemudian, Yudian memberikan klarifikasi bahwa yang ia maksud musuh Pancasila adalah orang-orang berpemahaman sempit dan ekstrem dalam beragama. “Pancasila sering dihadap-hadapkan dengan agama oleh orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman yang sempit dan ekstrem, padahal mereka itu minoritas (yang mengklaim mayoritas),” katanya (detik.com, 12/02/2020).
Kontroversi tersebut seakan mengajak kita kembali melihat diskursus Pancasila dan agama dalam bingkai Indonesia. Secara historis, diskursus tentang hubungan agama dan Pancasila bisa dilacak sejak awal mula terbentuknya Pancasila. Pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno memperkenalkan 5 sila yang terdiri dari Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Perikamanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Maha Esa. Namun, hingga sidang selesai, belum ada kesepatakan karena perbedaan pendapat yang tajam antara kubu nasionalis dan kubu agamis.
Kemudian, dibentuk Panitia Sembilan guna menemukan jalan tengah. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pada 22 Juni 1945 lahir rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Isi Piagam Jakarta sama persis dengan Pancasila yang kita kenal sekarang, kecuali sila pertama berbunyi, “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
- Iklan -
Meski begitu, Piagam Jakarta pada gilirannya masih memancing perdebatan. Pada 18 Agustus 1945, terjadi perubahan dengan penghapusan tujuh kata dalam sila pertama. Dari awalnya “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Penghapusan tersebut menjadi bentuk kebesaran hati dan toleransi perwakilan umat Islam kepada rakyat bagian Indonesia Timur yang mayoritas non-Muslim.
Akan tetapi, perdebatan kembali muncul saat Sidang Konstituante dalam agenda perumusan konstitusi baru. Seperti dijelaskan Ghunarsa Sujatnika (2020), saat itu belum ada kesepatakan antara golongan Islam nasionalis dan nasionalis sekuler. Kelompok Islam nasionalis tetap mempertahankan kesepakatan Piagam Jakarta, sedangkan kelompok nasionalis sekuler bersikukuh dengan Pancasila yang sedang digunakan.
Akhirnya, perbedatan tersebut tuntas saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isinya, membubarkan Konstitante dan menegaskan kembali UUD 1945. Dalam Dekrit tersebut, disebutkan bahwa “Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan dengan konstitusi”.
Menurut Lukman Hakiem (2017), mantan staf PM M Nasir, atas pernyataan anggota DPR Partai NU, K.H.A. Sjaichu, soal arti konsiderans itu, Perdana Menteri Djuanda tegas mengatakan bahwa itu berarti terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat diberi arti “Ketuhanan dengan Kewajiban Melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Oleh karena itu, menurutnya, tak boleh ada satu pun peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan syariat Islam. Lewat penjelasan terang benderang itu, pada 22 Juli 1959, DPR hasil Pemilu 1955 secara aklamasi menerima Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Maka, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut, perdebatan mengenai relasi antar agama, khususnya Islam, dengan Pancasila sudah selesai dan tuntas. Sebab, dengan begitu, ajaran agama menjadi salah satu dasar dari Pancasila. Implikasinya, negara menjamin rakyat bebas menjalankan ajaran agama dan beribadah sesuai kepercayaan masing-masing dengan damai (Ghunarsa Sujatnika: 2020).
Hubungan Harmonis
Menelusuri perjalanan diskursus tersebut, semakin terang bahwa antara agama dan Pancasila memang bukan hal yang bertentangan atau perlu dipertentangkan. Alih-alih mengganjal Pancasila, agama justru menjadi satu spirit penting yang melandasi rumusan Pancasila. Ini tak bisa lepas dari realitas masyarakat Indonesia yang religius dan memegang teguh nilai dan ajaran agama dalam kehidupannya. Dan Pancasia, dengan brilian menjamin kebebasan beragama dan di saat bersamaan menyerap intisai ajaran-ajaran agama sebagai spirit membangun peradaban bangsa.
Antara agama dan Pancasila ada keterikatan dan keterkaitan yang harmonis. Pancasila di satu sisi menjadi pengayom seluruh umat beragama di Indonesia. Pancasila menjamin kebebasan menjalankan perintah agama sesuai kepercayaan masing-masing. Menariknya, setiap sila dalam Pancasila juga selaras dengan nilai-nilai ajaran agama. Seperti nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Artinya, antara keduanya sebenarnya bisa berjalan beriringan dan saling menguatkan.
Anggapan bahwa Pancasila tak sesuai atau bahkan bertentangan dengan ajaran agama, biasanya lahir dari orang atau kelompok yang menafsirkan ajaran agama secara sempit, kaku, tanpa rasa toleransi, empati, dan kebesaran hati. Mereka tidak memiliki spirit membangun keharmonisan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Semangat beragama yang kaku dan cenderung intoleran tersebutlah yang kemudian membuat agama seolah-olah menjadi musuh Pancasila. Padahal, jika semangat beragama dijiwai dan dijalankan secara benar, itu bisa turut mendorong terwujudnya cita-cita negara Pancasila.
Kita semua mesti punya kedewasaan berbangsa dan kedalaman memaknai ikatan persaudaraan. Kedewasaan tersebutlah yang bisa membuat kita mampu berpikir jernih dan bijak dalam memaknai hubungan antara ajaran agama dan dasar negara Pancasila. Sehingga kita tak mudah membentur-benturkan dua hal yang sebenarnya senafas dan sejiwa. Terlebih, jika sikap-sikap anti Pancasila tersebut hanya demi kepentingan atau agenda kelompok tertentu yang jauh dari semangat persaudaraan dan semangat kebangsaan.
Alih-alih membenturkan Pancasila dan agama, yang mesti ditekankan saat ini adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai keduanya dalam kehidupan bersama demi membangun bangsa. Jika keduanya benar-benar dijiwai dan dipraktikkan segenap bangsa Indonesia dengan baik, itu-akan semakin mendekatkan kita pada cita-cita bersama mewujudkan Indonesia yang maju, adil, makmur, damai, dan sejahtera. Wallahu a’lam
-Penulis lahir di Pati. Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media.