Judul: Guru Dilarang Mengajar!
Penulis: Hamidulloh Ibda
Penerbit: CV. Asna Pustaka
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 189 hlm
ISBN: 978-623-91103-3-8
Harga: Rp 35.000,-
Oleh Khoirun Niam
Pendidikan sampai kapan pun temanya tak akan bosan untuk dibahas, sebab peradaban manusia dibangun melalui pendidikan. Bukan hanya itu saja, dari pendidikan lah kita bisa membedakan warna merah, hitam, kuning dan kelabu. Terpenting lagi kita bisa menjadi manusia seutuhnya harus melalui pendidikan.
Buku guru dilarang mengajar ini mencoba untuk mengurai benang kusut, carut marut di dunia pendidikan kita, terutama Indonesia; sebab bisa dibilang pendidikan kita saat ini belum bisa berjalan secara maksimal atau menjadikan manusia yang memanusiakan manusia.
- Iklan -
Dalam pengantar buku ini pun R. Andi Irawan mengatakan jika pendidikan merupakan perihal yang kompleks dan rumit, serumit manusia, sebab berbicara pendidikan berarti juga berbicara hakikat manusia. Dalam hal ini, pandangan kita terhadap hakikat manusia sangat berkaitan bagaimana kita memandang hakikat pendidikan. Manusia sebagai ciptaan Allah yang paling unik dan sempurna, baik dari sisi dalam maupun fisik, memiliki berbagai potensi yang menjadi objek pendidikan.
Pendidikan tidak hanya sekadar berbicara dan usaha mengembangkan otak atau aspek kognitif, namun juga menekankan pentingnya pendekatan yang integratif dan komprehensif, yaitu menakankan pengembangan seluruh potensi manusia, baik otak (ta’lim), hati (tazkiyah) maupun fisik atau inderawi (tilawah). (hal v).
Hamidullah Ibda dalam dunia persilatan kepenulis sudah diakui, banyak buah pemikirannya tersebar di koran-koran nasional atau lokal. Buku bertajuk guru dilarang mengajar ini merupakan kumpulan artikel yang sudah pernah termuat di media masa baik cetak maupun online. Akan tetapi meskipun begitu pengumpulannya tidak memamah biak, melaikan dipilah dan dipilih sesuai tema.
Seperti yang dikemukakan penulis melalui pengantarnya, apabila buku ini bukan buku ilmiah yang memakai banyak teori, rujukan ilmiah dari buku-buku berat atau jurnal bereputasi internasional, melainkan hanya kumpulan curhatan-curhatan saya di media massa. Kebetulan, ada salah satu judul yang menarik berjudul “Guru Dilarang Mengajar!” yang menjadi refleksi kritis yang berhasil dimuat di koran pada tahun 2017.
Sebenarnya, mengajar dan mendidik hakikatnya berbeda jauh. Mendidik belum tentu mengajar, mengajar hanya bagian dari kegiatan mendidik. Maka di sini, saya mencoba membuat angle lain dalam meluruskan paradigma ajar dan paradigma didik yang menjadi dasar guru dalam menjalankan roda akademik di kelas.
Ada perbedaan radikal antara mendidik dan mengajar. Sebab, ketika ditanya orang kalau guru dilarang dilarang mengajar, pasti jawabannya adalah ya harus “mendidik”. Padahal maksudnya tidak demikian. Mengajar, secara paradigmatik hanya proses transfer ilmu, ia searah, dan yang aktif hanya guru, dosen, atau pengajarnya. Yang benar adalah “membelajarkan” alias membuat siswa atau peserta didik belajar.
Dalam konteks di sekolah, guru seharusnya “membelajarkan” bukan mengajar. Jika hanya mengajar, banyak dampak dari proses tersebut yang tidak memenuhi standar kompetensi lulusan. Sebab, guru tidak hanya dituntut memenuhi capaian ranah kognitif (pengetahuan) saja, namun juga afektif (sikap, nilai) dan psikomotorik (mental). Namun, fakta di lapangan masih banyak guru belum paham perbedaan mendasar dari aktivitas mendasar ketiga hal itu. Padahal jika konsep “membelajarkan” dilaksanakan guru dengan serius, maka gagasan Revolusi Mental bisa dimulai dari pendidikan.
Jika ada idiom “guru dilarang mengajar”, jawaban mereka pasti “guru harus mendidik”. Padahal, mengajar bukanlah mendidik dan mendidik bukanlah mengajar. Output, konsep dan dan setting filsafatnya berbeda, serta capaian tiap kegiatan juga berbeda. Dalam konteks ini, guru memang “dilarang mengajar” jika beriman pada “metodologi pembelajaran” dan ingin ada interaksi dua arah, yaitu guru-siswa maupun siswa-guru. (hal 156).
Paulo Freire (1970) pernah mengritik kegiatan pendidikan yang masih membelenggu siswa. Paulo Freire menilai pendidikan masih menggunakan “gaya bank” yang jelas itu membelenggu siswa bahkan menindas siswa dari kebebasan. Hal itu tentu dari akibat pola pendidikan yang salah dan pelaksanaan pembelajaran yang melenceng dari hakikatnya.
Dari pola yang salah tersebut, ouput pendidikan melahirkan generasi cerdas intelektual, namun miskin spiritual dan moral. Mereka cerdas tapi tidak memiliki “kesalehan intelektual”. Padahal, Tan Malaka (1897-1949) menyebut tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.
Problem tersebut, tentu dimulai dari pola pembelajaran dalam kelas. Jika hanya mengajar saja tanpa membelajarkan bahkan mendidik, maka ouputnya hanya generasi cerdas tapi miskin moral. Padahal, hakikat belajar bukan meraup ilmu sebanyaknya dan menumpuk gelar setingginya, namun menata cara berpikir dan mengubah perilaku.
Jika itu terlaksana, maka pendidikan akan melahirkan generasi yang memanusiakan manusia. Pertanyannya, sampai kapan guru di negeri ini akan terus mengajar? (hal 159).
Dalam hal belajar dan mengajar, maka buku ini layak untuk di jadikan referensi agar supaya kita sebagai guru atau pun peserta didik bahkan pengamat pendidikan mempunyai cara pandang yang berbeda. Selamat membaca!
-Penulis adalah Tim dari Gerakan Literasi Maarif Jawa Tengah.