(Refleksi Hari Sumpah Pemuda 22 Oktober)
Oleh Hamidulloh Ibda
Materi Sumpah Pemuda diajarkan di sekolah dan kampus, bahkan menjadi bahan ujian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), namun mengapa radikalisme masih bercokol di Nusantara? Tak hanya pada pemuda, guru, dosen, radikalisme juga menjadi bahaya laten yang kini menyusup di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Ironis.
Tak sekadar prihatin, kita tentu marah ketika mendengar berita guru dan dosen ASN, pelajar, mahasiswa di lembaga pendidikan negeri, bahkan pejabat pemerintah terpapar radikalisme. Mereka jelas-jelas abdi negara, generasi atau orang yang dibiayai negara yang harusnya setia Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, kok bisa-bisanya terpapar radikalisme karena alasan ingin mengubah sistem negara ini. Bukankah itu wujud khianat pada NKRI?
Siapa yang salah? Pemerintah, penegak hukum, kampus, atau sekolah? Jika mencari akarnya tentu ideologi radikal yang bersembunyi dalam kedok agama. Pembagian ideologi radikal meliputi aspek fikrah (pikiran), aqidah (keyakinan), amaliyah (tradisi ibadah), dan harakah (gerakan) sebagai level tertinggi. Dari doktrin sesat yang diterima, pemuda berani angkat senjata dan bom untuk “pemurnian Islam” sesuai doktrin yang meracuni mereka.
- Iklan -
Gerakan klaim benar sendiri juga menjadi ciri radikalisme. Pola gerakan mereka terwujud pada pemurnian ajaran Islam yang harus sesuai dengan Alquran dan sunnah Nabi Muhammad. Padahal sudah jelas agama tak sekadar urusan doktrin agama, melainkan harus melihat realitas sosial, budaya, suku, kebangsaan, dan tradisi masyarakat.
Radikalisme juga cenderung melakukan gerakan tabdi’ (membidahkan), tasyri’ (menyirikkan), takfiri (mengafirkan) kepada umat Islam yang tak sama dengan mereka. Ujungnya, mereka mengafirkan hormat bendera, mengharamkan Lagu Indonesia Raya, dan narasi lain yang intinya “semua salah kecuali mereka”. Padahal hidup di Nusantara ini tak cukup jika memiliki rumus “kebenaran beragama”, namun harus mengaplikasikan “kebenaran bernegara”.
Mengapa begitu? Tidak ada nas sharih (jelas) di Alquran maupun hadis memaparkan tentang bentuk negara, sebut saja khilafah. Yang ada hanya perintah hidup bernegara dengan sistem apa saja asalkan berprinsip kemaslahatan dan jauh dari kemudharatan. Hanya itu. Di Alquran justru menjelaskan kisah raja-raja seperti Raja Namrud, Raja Zulkifli, Raja Dawud, Raja Sulaiman, Raja Thalut, Raja Firaun dan lainnya. Apakah ada sistem Khilafah? Tidak ada. Jika ada, pasti sejak dulu Nabi Muhammad menyuruh umatnya untuk menerapkan Khilafah.
Artinya, mau berbentuk kerajaan, demokrasi, asalkan membawa kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudharatan, maka halal hidup bernegara dan tak perlu ganti sistem. Sistem demokrasi atau khilafah bukan tujuan, melainkan sekadar alat menuju kemaslahatan umat. Mengapa banyak kelompok ingin mendirikan khilafah dengan berbagai cara dan ujungnya melahirkan radikalisme? Jelas hal itu fenomena politik, bukan fenomena agama.
Ancaman Radikalisme pada Pemuda
Radikalisme yang bercokol di Nusantara terus disebar dengan berbagai cara. Riset Badan Intelijen Negara (2017) menemukan 39 persen mahasiswa dari sejumlah kampus terpapar radikalisme. Penelitian ini mendapat data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad demi tegaknya negara Islam (Cnnindonesia.com, 29/4/2018).
Riset PIM UIN Syarif Hidayatullah (2017) menyebut generasi Z (kelahiran1990an-2000an) terkena radikalisme. Sebesar 37.71 persen memandang jihad (perang) melawan non-muslim wajib dilakukan. Lalu 23.35 persen setuju bom bunuh diri itu jihad Islam, 34.03 persen setuju muslim yang murtad harus dibunuh, 33,34 persen setuju perbuatan intoleran terhadap kelompok minoritas.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010-Januari 2011, menyebut hampir 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Dari data itu, ada 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak relevan lagi. Lalu 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan syariat Islam di Indonesia, 52,3 persen siswa setuju kekerasan untuk solidaritas agama, dan 14,2 persen membenarkan serangan bom (Bbc.com, 26/5/2016).
Kita tentu masih ingat, terorisme yang mengakibatkan meledaknya Gereja Santa Maria Tak Bercela Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia dan Gereja Pantekosa Pusat Surabaya pada 2018 adalah ulah teroris muda. Teroris jaringan ISIS ini melibatkan anak-anak steril dari radikalisme.
Apakah kaum muda sudah kehilangan arah karena masifnya indoktrinasi radikalisme? Fenomena ini harus diputus mata rantainya. Ibnu Khaldun (1332-1406) menyebut ada tiga generasi yang hidup di suatu zaman. Mulai generasi pendiri-pembangun, penikmat, dan perusak. Pertanyannya, pada posisi mana generasi muda saat ini? Apakah mereka tak ingat dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928?
Sumpah Antiradikalisme
Spirit Sumpah Pemuda harus digelorakan dan dikuatkan lagi. Pemuda tak boleh kehilangan arah dan menjadi sasaran empuk penyebaran radikalisme. Perlu beberapa strategi jangka panjang dan pendek untuk mengembalikan ruh Sumpah Pemuda dan spirit nasionalisme. Pertama, memasukkan pendidikan antiradikalisme di sekolah dan kampus. Jika sudah ada pendidikan antikorupsi, maka pendidikan antiradikalisme harus dikuatkan melalui kurikulum, mata pelajaran atau mata kuliah yang mengarah pada pendidikan nasionalisme dan pendidikan damai.
Kedua, penguatan jiwa Pancasila pada pemuda melalui doktrin kebenaran beragama dan bernegara. Pancasila sudah sangat islami dan tak perlu mengubahnya karena beragama tak cukup sekadar pada kulit/bungkus, melainkan pada substansi.
Ketiga, penumbuhan pemahaman “Indonesia adalah negara Islam” dan tak harus menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan. Kita harus berkaca pada negara yang hanya menerapkan spirit beragama seperti Afganistan, Irak, Suriah, dan Yaman. Mereka hancur lebur karena tak memiliki spirit nasionalisme atau cinta tanah air.
Keempat, pemaknaan ulang tentang jihad, hijrah, cadar, dan lainnya yang diidentikkan dengan ciri kaum radikal. Jika salah makna, maka salah penerapannya. Sebab, hal ini menjadi “jualan” kaum radikal yang menyusup ke berbagai lini. Kelima, penataan ulang organisasi seperti rohis, osis, atau organisasi pada perguruan tinggi agar terhindar dari radikalisme.
Lebih penting lagi ikrar Sumpah Pemuda Antiradikalisme dari pikiran, hati, perkataan, dan perbuatan pemuda. Jika Sumpah Pemuda hanya dijadikan “ritual tahunan” tanpa diimplementasikan setotal-totalnya, maka pemuda ke depan akan khianat pada NKRI.
Sudah saatnya spirit antiradikalisme ini menjadi perhatian utama dalam perayaan Sumpah Pemuda. Jika ada pemuda lahir, hidup, dan besar di Indonesia, namun melakukan radikalisme dan merugikan umat, apakah pantas mereka disebut pemuda Indonesia?
– Dosen STAINU Temanggung, Ketua Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah