Oleh Hamidulloh Ibda
Saat mencari bekal makan siang, teman dosen bercerita bahwa murid yang di sekolah adiknya kesurupan. “Wah, sampeyan nembe wae ngomong kerasukan-kerasukan, muride adikku kerasukan tenan, Pak?” katanya.
Saya berpikir, apa hubungannya dengan yang saya nyanyikan dan diskusikan tadi? “Bukane sak iki akeh wong ketoke waras, tapi asline kesurupan, termasuk aku dewe,” pikir saya dalam hati.
Ya, kami baru saja mendiskusikan lagu “Salah Apa Aku” besutan ILIR7 band yang kini viral di aplikasi TikTok dan menyebar ke berbagai lini kehidupan nyata maupun maya. Termasuk di Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan lainnya. Lagu ini, bagi saya merupakan fenomena kerasukan, kesurupan, kehilangan kesadaran, dan alam bawah sadar yang menguasai diri kita.
- Iklan -
Bahasa kerennya ‘unconsciousnes’ atau ketidaksadaran, bisa juga bayang-bayang ilusi, delusi yang wilayahnya melebihi imanensi dan transendensi. Kerasukan dalam KBBI V berarti kesurupan, kemasukan roh jahat dan sebagainya sehingga bertindak yang aneh-aneh. Itu gambaran orang kesurupan yang dianggap sebagai “kewarasan”.
Ironisnya, kerasukan dianggap “kewarasan” dan dianggap biasa. Bahkan, pelakunya pelajar, guru, dosen, juga wisudawan. Masyarakat kita memang benar-benar berada pada titik “kerasukan” yang nyata. Apakah kerasukan seperti ini bukan anomali, dan wajar-wajar saja di era Revolusi Industri 4.0 ini? Tampaknya kok manusia saat ini semakin “tak waras” bahkan terkena sindrom “skizofrenia”.
Kilas Balik “Merasukimu”
Sebelum viral bulan lalu sampai kini, awal kali idiom “Entah Apa yang Merasukimu” ini adalah penggalan atau reffren lagu “Salah Apa Aku” produk ILIR7 band.
Liriknya Aku percaya kamu//Tapi lagi-lagi kau bohongiku//Kau telah tipu aku//Aku menyayangimu//Tapi lagi-lagi kau sakitiku//Kau telah khianatiku//Tak pernah ku sangka kau telah berubah//Kau membagi cinta dengan dirinya//Aku yang terluka, sungguh aku kecewa//Entah apa yang merasukimu//Hingga kau tega mengkhianatiku//Yang tulus mencintaimu//Salah apa diriku padamu//Hingga kau tega menyakiti aku//Kau sia-siakan cintaku//Aku menyayangimu//Tapi lagi-lagi kau sakitiku//Kau telah khianatiku//Tak pernah ku sangka kau telah berubah//Kau membagi cinta dengan dirinya//Aku yang terluka, sungguh aku kecewa//Entah apa yang merasukimu//Hingga kau tega mengkhianatiku//Yang tulus mencintaimu//Salah apa diriku padamu//Hingga kau tega menyakiti aku//Kau sia-siakan cintaku//Entah apa…
Lagu grup band asal Lubuk Linggau, Sumatra Selatan ini diubah dan dinyanyikan dengan berjoget sederhana yang diringi suara burung gagak. Aneh bin ‘koplak’, namun membuat kita serba salah meresponnya. Apakah kita terkena dampak kerasukan juga?
Lagu ini kontennya kesedihan dan bercorak pop Melayu. Patah hati usai pujaan hati berkhianat. Intinya kira-kira demikian jika kita tafsirkan. Berawal lagu sedih, setelah digubah dengan corak gembira dengan efek atuo-tune dan tempo lagunya dipercepat, menjadikan lagu ini lagu gembira semi “gila”.
Uniknya, lagu Salah Apa Aku ini “merasuki” warganet, khususnya pengguna TikTok. Satu persatu, bahkan sudah ratusan orang membuat video-video lucu dengan judul “Entah Apa yang Merasukimu” menjadikan lagu ini semakin viral. Durasi lagu ini di Youtube ada yang sampai 10 jam. Lagu ini populer di Malaysia, bahkan menjadi brand iklan Buka Lapak. Ngeri! Semua bangga dan benar-benar ‘kerasukan’.
Tak hanya pelajar, remaja, guru, polisi, mahasiswa pun saat diwisuda turut membuat lagu ini semakin viral. Ulah itu dilakukan Raja Fadli Afriyandhika, mahasiswa Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya. Saat dipanggil dalam prosesi wisuda, Rabu (3/10/2019), ia menunjukkan adegan berjoget “Entah Apa yang Merasukimu” di video yang turut meramaikan warganet.
Bisa disebut, semua warganet terkena sindrom kerasukan. Sebab, sebelumnya juga viral lagu “Pamer Bojo” yang terkenal dengan juga bukan judul lagunya, melainkan reffrennya yaitu “Cendol Dawet”.
Baca: Generasi Cendol Dawet (Bagian 1)
Baca: Generasi Cendol Dawet (Bagian 2)
Kerasukan: Embrio Skizofrenia
Dalam hidup, orang memang butuh “keseimbangan” dan harmoni. Kerja tapi juga butuh piknik. Belajar tapi juga butuh hiburan. Semua harus seimbang. Namun, keseimbangan itu kadang berlebihan, tidak kesenangan dan “kesehatan jiwa” yang didapat, namun sebaliknya. Bahkan perilaku anomali yang kadang menandakan manusia kini mudah waras sekaligus mudah gila.
Untuk mendapat keseimbangan itu, dalam kamus psikologi disebut “katarsis”. Suatu usaha, kegiatan, atau apa saja yang menjadikan orang segar, kembali normal, berupa penyucian jiwa diri. Itu intinya. Ada yang dilakukan dengan jalan-jalan alias piknik, belanja, baca novel, bersiul, bernyanyi, berjoget, ngopi, semua dilakukan untuk mendapatkan ketenangan.
Namun pertanyaannya, apakah katarsis itu normal atau justru anomali? Dari pengalaman saya bergaul dengan dua teman pengidap skizofrenia, tampaknya tidak benar adanya. Dari dua teman ini, saya belajar banyak tentang skizofrenia. Ini merupakan salah satu bentuk penyakit mental yang kini banyak didera orang-orang normal.
Skizofrenia secara sederhana merupakan penyakit “gangguan mental”. Wujudnya, kondisi penderita “kacau”, mereka susah membedakan antara realitas dengan apa saja yang diimajinasikan. Mereka penuh imajinasi, ilusi, halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, perubahan perilaku, kadang senyum-senyum dan berteriak-teriak sendiri.
Efek lain, mereka bisa bernyanyi dan berjoget sendiri, ‘gremeng’ sendiri, dan mereka sangat membutuhkan teman untuk curhat, mendengarkan apa yang ia imajinasikan. Jika tidak ada teman curhat atau wahana katarsis, mereka bisa ‘bengok-bengok’ sendiri, bakar diri, bahkan bunuh diri. Indikator awalnya tentu seperti kerasukan dengan bertingkah laku anomali alias tidak normal.
Salah satunya bagi saya adalah mendendangkan Entah Apa yang Merasukimu ini. Artinya, pesan merasuki ini ternyata juga merasuki sang pelaku joget-joget lucu dengan iringan lagu Salah Apa Aku tersebut. Jika dibiarkan, mereka bisa kehilangan hakikat diri, jati diri, bahkan harga diri. Sebab, dalam penderita skizofrenia, selalu ada diri yang lain yang bersemayam dalam dirinya.
Hakikat Diri
Dalam pandangan filsafat, “diri” memiliki banyak potensi. Tak sekadar berurusan diri sendiri, namun manusia (diri) erat berkaitan manusia (hablumminannas), relasi dengan Tuhan (hablumminallah), dan dengan alam (hablumminalalam). Banyak filsuf yang membahas tentang konsep diri (self concept), baik dari perspektif filsafat, agama, tasawuf, sosiologis, biologis, dan lainnya. Di antaranya Ibnu Miskawaih (932-1030), Imam Ghazali (1058-1111), dan Martin Buber (1878-1965).
Ibn Miskawaih lebih memandang manusia terdiri atas dua substansi. Pertama, substansi berupa tubuh sebagai wawasan materi. Kedua, jiwa (al-nafs), substansi tak berdimensi sebagai wawasan imateri dan ini yang menjadi esensi manusia. Konsep Ibn Miskawaih ini mengajak kita untuk memahami manusia dari objek formal maupun material. Artinya, yang menggerakkan materi adalah imateri.
Dalam buku Ma’arij al-quds, Imam Ghazali memiliki konsep diri mirip dengan Ibn Miskawaih. Namun, dalam buku Tasawuf Mi’raj al-Salikin, beliau menjelaskan manusia terdiri atas al-nafs, al-ruh dan al-jism. Dalam konteks akhlak, Ghazali mengistilahkan wawasan imateri dengan tiga istilah di atas. Akan tetapi, baginya, esensi manusia tetap sama, yaitu al-nafs (jiwa).
Sedangkan Martin Buber (1878-1965), menjelaskan jenis relasi dalam hidup manusia menjadi tiga. Pertama, relasi antara “aku-sesuatu” (I-It). Kedua, relasi antara “aku-engkau” (I-thou). Ketiga, relasi antara “Aku-Engkau Absolut” (I- Eternal Thou). Bagi Martin, ketiga relasi ini tak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Manusia tidak dapat menolak salah satu pola relasi. Bagi Martin, manusia hendaknya bijak dalam menyikapi pola relasi yang senantiasa melekat dalam hidup manusia.
Konsep diri dari ketiga tokoh di atas, sebenarnya intinya inti ada pada “jiwa”. Ya, diri ini harus dikuasai jiwa, imateri, metafisik, bukan yang fisik saja. Jika ingin lebih mudah memahaminya, dalam buku Filsafat Umum Zaman Now, saya menawarkan beberapa pertanyaan dasar tentang diri. Siapa diri ini? Untuk apa diri ini? Apakah diri ini, diri ini sendiri? Apakah dirimu, dirimu sendiri? Apakah dalam diri ini, ada diri-diri yang lain? Apakah dalam dirimu, ada diri-diri yang lain? Apakah diri ini, ada pada diri-diri yang lain?
Kerasukan, merupakan bagian dari proses normal yang dapat terjadi kapan saja. Baik kerasukan roh, diri lain, atau kerasukan diri sendiri. Sebab, kita ini memiliki akal, nafsu, hati, dan peranti yang lain seperti insting. Lalu, apa sih yang dapat kita lakukan dengan konsep diri yang lumayan ‘njelimet’ di atas?
Untuk menggapai hakikat diri, harusnya kita menguatkan spiritualitas, melalui pendekatan jasad, roh/jiwa, yang dapat mencapai keutamaan ketika dapat mentransformasikan pikiran, amarah, dan nafsu syahwat. Siapa saja yang kalah dengan nafsunya, ia tidak ada bedanya dengan hewan. Tuhan sudah menggambarkan jelas di dalam Alquran, bahwa perilaku manusia terkadang “lebih hina” dari hewan. Orang waras kadang lebih “konyol” dari orang gila, contohnya dengan berjoget ‘Entah Apa yang Merasukimu’ di atas.
Dus, bagaimana cara menghindari kerasukan, skizofrenia, dan ketidakwarasan? Jelas, menjadi diri sendiri, menguatkan jiwa, dan spiritualitas. Meski untuk menjadi diri sendiri, kita perlu ‘kerasukan’ diri-diri yang lain. Lebih tepatnya, diri ini adalah kepingan diri-diri lain yang hinggap di dalam diri kita, yang akhirnya menyejarah dalam diri kita, dan menjadi diri kita. Lebih simpelnya, di dalam diri ini ada ‘tajalli’ atau manifestasi Tuhan, nabi, wali, ulama, kiai, guru, orang tua. Jangan sampai, diri ini dikuasai atau dirasuki iblis, setan, dan orang-orang yang tak waras.
Manusia lewat konsep pengenalan diri di atas, harus menemukan harga diri, jati diri, dan rasa percaya diri. Semua itu, dapat diawali “mewaraskan” diri, bukan “merasuki” diri sendiri dengan diri lain yang belum tentu menguatkan diri.
Jika kita terpedaya dengan diri-diri yang lain, kemungkinan kegilaan diri semakin tinggi. Jika tidak mau menjadi diri sendiri dan kita membelah diri, patut kita pertanyakan, entah apa yang merasukimu?
-Penulis adalah pengajar mata kuliah Filsafat Umum, Filsafat Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan Dasar dan penulis buku Filsafat Umum Zaman Now (2018).