Oleh Abdul Khalim
Kehadiran film The Santri telah memicu berbagai kontroversi meskipun baru sekadar trailer. Film ini mencoba mengekspresikan sebuah entitas dan komunitas, yakni pesantren. Dalam hal ini pesantren bergumul di dunia global. Pesantren sebagai sebuah entitas dan komunitas sebenarnya memiliki budaya tersendiri, sehingga menurut Gus Dur pesantren adalah subkultur. Meski demikian pesantren juga tidak bisa lepas dari realita kehidupan di masyarakat.
Pergumulan kaum pesantren di tengah-tengah masyarakat membawa dampak positif, wabilkhusus dalam penjagaan moral. Seideal apapun nilai-nilai pesantren, secara riil kaum santri harus bergumul dengan budaya di masyarakat tentu dengan berbagai dinamikanya. Maka tidak heran jika kaum santri secara nyata mengikuti narasi pola perkembangan masyarakat, karena memang santri bagian dari masyarakat akan tetapi tetap dalam koridor nilai-nilai akhlak santri.
Film sebagai sebuah hasil karya seni sangat popular saat ini, sehingga kerap kali dijadikan sebagai media untuk menyampaikan sesuatu. Apa yang disajikan dalam film The Santri mencoba untuk menangkap fenomena milenial dengan berbagai permasalahannya.
- Iklan -
Film yang diinisiasi PBNU melalui NU Channel hasil kerja sama dengan sutradara Livi Zheng dan Ken Zheng ini mencoba menginformasikan keberadaan dunia pesantren yang penuh dengan kesederhanaan, kemandirian, toleransi serta cinta terhadap tanah air, menghadirkan Islam yang ramah, damai serta anti terhadap radikalisme dan terorisme.
Baca: Tulisan-tulisan Abdul Khalim
Pesantren untuk Kedamaian Dunia
Saat ini, dunia merindukan pola keberagamaan yang damai terutama Islam ramah. Maraknya radikalisme dan terorisme pasca teror bom di gedung WTC tahun 2011 menjadikan Islam distigma sebagai agama yang meyeramkan sehingga dunia pesantrenpun tak luput dari setigma sebagai sarang teroris.
Bahkan menurut Badrus Sholeh, media Barat menyebut pesantren telah menjadi ‘breending ground’ radikalisme dan terorisme di Indonesia meskipun akhirnya terbantahkan karena fenomena radikalisme dan terorisme menurut Azumardi Azra sebagai sesuatu yang bukan Indonesia origins. Dalam konteks ini dunia pesantren melalui film The Santri mencoba membantah stigma itu.
Dunia pesantren pada perjalanan sejarah pada dasarnya adalah terbukti telah mengemban Islam yang ramah dan cinta kasih dalam kurun yang cukup lama. Pasalnya, sejak dari awal berdirinya, pesantren sudah diarahkan sebagai motor penggerak pembaharuan masyarakat. Pembaharuan yang diwujudkan oleh pesantren berjalan melalui proses yang fleksibel, tidak kaku atau menutup diri terhadap dunia luar.
Prinsip-prinsip keseimbangan–tawasuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh-sudah lama dijadikan landasan etika sosial oleh kalangan pesantren. Sehingga, persoalan-persoalan apapun yang dihadapi, baik agama maupun sosial selalu didasarkan pada landasan etis “jalan tengah” atau “moderasi”.
Pesantren di Indonesia berhasil melakukan adaptasi dengan perubahan lingkunganya. Kiprah komunitasnya seiring dengan tuntutan zaman, sesuatu yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam dibeberapa negara (madrasah di Pakistan, pondok di Malaysia, Patani dan Mindanao).
Fondasi perubahan pesantren tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal saja, yakni kiai, santri, pesantren (masjid), akan tetapi juga telah digerakan oleh elemen ekternal seperti media, politik dan masyarakat sipil. Oleh karena itu, pesantren mampu beradaptasi dengan tuntutan sosial Indonesia dengan persoalan kompleks di tingkat nasional dan global.
Terbukti masyarakat pesantren telah berkiprah dalam stabilitas internasional, dan rekonsilisasi regional. Mereka telah terjun dalam memediasi persoalan dan konflik antara masyarakat dan negara bahkan dunia internasional.
Apa yang ditampilkan dalam skenario film The Santri saat santri masuk ke gereja dan memberikan nasi tumpeng kepada umat Nasrani sebenarnya memberikan pesan persahabatan dan berupaya menjalin harmonisasi hubungan antariman. Hal ini menunjukan bahwa dunia pesantren peduli dengan persahabatan dan mengembangkan nilai-nilai humanisme meskipun berbeda keyakinan.
Bukankah prilaku yang seperti ini telah diajarkan oleh Rasulullah meskipun dalam konteks yang berbeda, misalkan ketika Rasulullah ngopeni pengemis Yahudi, menghormati ahlul kitab bahkan Rasulullah mau menghormati jenazah kaum kafir. Persoalan santri masuk gereja, bukankah sahabat Umar juga telah memberikan contoh akan hal itu sekali lagi meskipun dalam konteks yang berbeda.
The Santri: Perwujudan Fiqhu Dakwah
Sebagaimana dalam sekenario film itu, bagi dunia pesantren memang sesuatu yang asing. Seorang santri memasuki tempat ibadah keyakinan lain adalah sangat jarang terjadi pada dunia pesantren. Namun bukan berarti menyalahi nilai-nilai pesantren. Karena sebagaimana ditunjukan dalam trailer film tersebut, misi memasuki gereja adalah untuk memberikan pesan persahabatan dan kedamaian.
Sikap itu merupakan upaya dalam menerapkan pripsip Islam Rahmatan Lilalamin. Dengan demikian meskipun di dunia santri jarang kita dapati para santri memasuki gereja bukan berarti menyalahi nilai-nilai pesantren.
Kita tentu ingat bahwa salah satu dakwah Sunan Kudus dalam mengislamkan masyarakat Kudus yang waktu itu masih beragama Hindu ia melarang umat Islam untuk menyembelih sapi dengan dalih untuk menghormati umat Hindu tersebut karena sapi adalah sesembahan mereka. Dalam konteks ini dalam rangka untuk mengajak umat agama lain agar menghormati kita (Islam) atau bahkan memeluknya membutuhkan keberanian keluar dari kebiasaan.
Maka dalam memandang hal ini, kita perlu memaknainya dengan memakai kaca mata fiqhu dakwah. Apa yang dilakukan dalam film The Santri, saya memandangnya adalah dalam rangka ‘sikap untuk mengajak’ artinya dengan kaca mata fiqhu dakwah.
Dengan demikian, film The Santri adalah sebuah upaya kalangan santri untuk menampilkan Islam ramah, damai, bersahabat dengan melalui metode dakwah (fiqhu dakwah) untuk kedamaian dunia. Bukahkah santri, atau umat Islam Jawa terbiasa keluar masuk Borobudur?
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.