SEBELUM SABDA
Ibu tak pernah berhenti menata kisah
dari kenangan-kenangan pada etalase
ingatan dan usia menuturkannya
- Iklan -
bagai hujan pada malam tak berbatas.
Di tangannya yang terlalu banyak mencatat
tak ada jarak antara setiap yang berlalu
dahulu dan detik-detik kini
yang ia hela.
Aku tahu, Ibu terlalu sakral untuk kumaknai
tapi rasanya, begitulah yang dapat kulihat
dari kerut kelopak matanya. Selebihnya,
jiwa Ibu tetap misteri tak terkuak.
Sesekali kulihat segerombol laron dan sesekali
semacam tabir. Seperti lapisan kabut.
Beribu lapis kabut.
Ibu memang terlihat kehilangan banyak hal.
Timangan. Teman bicara. Keceriaan dapur.
Anak-anak kecil yang berebut kue.
Tetapi Ibu tetap saja isi dari segala hal.
Siapa dapat memisahkan api dari panas?
Aku khawatir pada Ibu, lebih-lebih
pada diriku sendiri. Bila aku pulang.
Membuka pintu kamarnya. Mengencup tangannya.
Hidupku, yang sering kosong, terpenuhi.
Hidupku terasa memeluk hidup.
Niscayalah setiap kehilangan di bumi
yang mulanya tak ada apa-apa ini.
Tetapi Ibu dan semua maknanya,
bukankah ia tak sefana gunung-gunung?
Tak serapuh tebing dan dermaga.
Aku khawatir tak sempat merawi
dan sabda Ibu melayang begitu saja
ke jagat tak bertanda jam matahari.
Tahun-tahun adalah bunga pagi buta,
gampang gugur. Ibu terus menata kisah
seperti menata gelas pada lemari kaca.
Musim-musim akan lewat
udara berkuda pada muka waktu,
dan tangan Ibu akan berhenti mencatat.
Aku berhenti di sana.
2018
AKU MENCINTAIMU
Aku mencintaimu, Ibu. Mungkin
karena kau ibuku. Karena aku anakmu.
Karena pada darahku ada darahmu
atau mungkin tanpa karena apapun.
Bukankah cinta tak menyerah
pada sebab-sebab? Atau cinta menyerah
pada sebab-sebab? Sebab Tuhan
menyifati kita dengan cinta. Tetapi kita
tidak sekalipun punya kesempatan
merunut mula ia tiba. Bagaimana ia terbentuk.
Bagaimana ia mewujud begitu saja.
Kita tak pernah dapat memastikan
di mana letak cinta, bukan?
Di hati? Seperti merpati bertengger
di dahan randu atau seperti bangau
di punggung seekor kerbau
pada penghujung musim rindu,
segala yang bertengger akan pergi
tapi cinta tak pernah pergi. Menetap.
Menatrap. Memenuhi. Jadi penuh itu
sendiri. Cinta abadi sejak dimulai.
Menyifati pakaian-pakaian kita.
Menyifati kejadian, kenangan, dan
semua yang kita namai cita-cita.
Tetapi yang abadi adalah yang tak punya
permulaan. Cinta bukan Tuhan, kan, Bu?
Tuhan menyifati kita dengan sifat
cinta-Nya. Ia abadi meski kita fana
atau cinta ada agar kita yang fana
ada sebagai yang tak sia-sia.
Kita makna dari ketakbermakaan.
Cinta pada diri kita membentuk makna
untuk yang tak punya makna.
Cinta kadang mondar-mandir
seperti laron pada cahaya atau
sebetulnya cahaya itu cinta dan laron
adalah kita atau laron dan cahaya ada
karena keduanya ada. Menjadi tak ada
jika keduanya tak ada.
Aku mencintaimu, Ibu. Sejak aku
mengamini bahwa aku hidup
sebagai manusia di bumi yang apa saja
dapat membuat kita bosan.
Sebentar, aku pernah mencintai
beberapa manusia, kemudian tak cinta.
Kubersamai mereka untuk kutinggalkan.
Aku tak tahu mengapa tiba-tiba cinta
dan mengapa tiba-tiba tak cinta.
Cinta barangkali barang habis
yang dapat diperbarui. Habis
cari yang baru. Tetapi itukah cinta
atau ilusi cinta? Cinta memiliki
sisi-sisi ilusi? Cinta mesti bukan ilusi.
Hanya saja prasangka kehadiran
dan ketakhadiran atau wujud
cinta itu memang ujian berat.
Aku percaya itu, karena cintaku
kepadamu tak pernah menemu bosan.
Makin waktu cintaku kepadamu
makin besar. Ini berarti cinta
dapat melemah. Tetapi itu aneh.
Cinta tak melemah tak menguat.
Cinta utuh sebagai yang kuat.
Kesadaran dan ketaksadaran,
pada keduanya barangkali
bersandar menguat dan melemah itu.
Kita pada suatu ketika memang
akan kehilangan kesempatan
saling mengunjungi. Tatapan kita
akan sama-sama berhenti,
tapi cinta rasanya bukan
tentang pertemuan-pertemuan
jasad kita. Sebagaimana api
pada tubuh Ibrahim: api panas,
ketika panas hilang api tak padam.
Apikah panas itu atau sebab
ada api panas ada? Panas nyatanya
tak menyerah pada api.
Begitu sepertinya cintaku kepadamu
karena waktu pada cinta
tak pernah ditandai hidup
matinya jasad.
Aku mencintaimu, Ibu. Ini sama sekali
tak perlu ditanyakan lagi.
2019
DI DAPUR WAKTU LARUT
Hanya dapur dan keheningan.
Layang-layang lesap di plafon
dan sebuah klereng tergelincir
di jogan, dekat saluran pembuangan air.
Ada yang datang minta direngkuh
Ada yang pergi
sebelum apa-apa disiapkan,
—semacam kata perpisahan.
Apakah yang kini belum berubah
belum hilang, belum
menjadi lebih rusak dari sedia?
Tak ada lagi yang dapat kusentuh
dengan degup dan debar
semenggembirakan dahulu.
Jalanan dan rumah-rumah
yang mengungkungku,
ini hidup sebetulnya bergerak atau
sekadar ilusi perpindahan?
Tak ada kelebat sesiapa
di dapur waktu larut begini.
Hanya hatiku makin jauh
ke kedalaman langit, melampaui
planet, kegelapan, dan jejak-jejak
tersesat yang merintih:
Tuhan, kirim kami pada rahim Hawa.
Kami tak kuasa lagi
mencari jalan yang tak celaka.
Aku tak pernah dapat memastikan
di mana suaraku.
KEGEMBIRAAN KECIL-KECILAN
Detik, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun
hanya ilusi yang disepakati
agar saya dan Anda dapat sedikit bergembira
karena merasa hidup untuk waktu lama.
Kita telah menghitungnya puluhan tahun.
Membuat pesta setiap tanggal kelahiran.
Seolah kita suka pada kelebat bayang tangan maut
mendekat dan menyambutnya
dengan lagu dangdut dengan sedikit sentuhan blues.
Anda pasti mengerti, sebuah lilin dinyalakan
untuk ditiup. Kita bertepuk tangan untuk itu.
Sebuah prilaku aneh yang kita nikmati.
Atau tabiat manusia memang begitu?
Karenanya, saya, Anda, dan semua orang
suka sekali mengadakan perayaan.
Api yang lekas dipadam setelah doa seremonial itu.
Kue yang dibagikan kepada orang-orang tercinta.
Semua adalah yang sengaja dibuat sebagai alasan
tak masuk akal untuk sejenak berpaling
dari kenyataan bahwa di jagat manusia ini
tak ada yang sungguh sempurna dan kekal.
Tetapi itu menjadi masuk akal ketika kita
sepakat bahwa kita mesti selalu menciptakan
kegembiraan kecil-kecilan
karena kita hanya makhluk kecil di bumi.
Mempercayai ketidakkekalan memang menyakitkan.
Jutaan lagu dan puisi asmara sering sekali
menggunakan kata “kekal” untuk menghibur diri
karena mereka pun tak sungguh meyakininya.
Orang-orang yang jatuh cinta takkan mampu
menerima hari perpisahan penolakan, atau, oh
tangan terulur yang sama sekali tak disambut itu.
Tetapi kesukaan, kehendak, dan harapan
semacam boneka kucing yang kita peluk
menjelang tidur kita yang tidak ada apa-apa.
Saya juga Anda telah lama membersamainya dengan baik.
Suka atau tidak suka, banyak
orang yang melakukan apa yang kita lakukan.
Orang-orang yang telah begitu lama hilang.
Orang-orang tinggal nama pada sebuah kubur.
Beberapa nama memang masih dikisahkan
dengan bunga-bunga yang, kadang aneh.
Selebihnya, dilupakan sebagai yang pernah ada.
Saya, Anda, dan semua manusia
di antara manusia sama sekali tidak istimewa
sekalipun manusia diciptakan
sebagai makhluk istimewa
—itupun karena kita meyakininya.
Jadi, Anda dan saya, tidak perlu ikut-ikutan
punya cita-cita dicatat di buku sejarah.
Kita pada waktu hidup yang tidak seberapa ini
harus memisahkan diri dari golongan
orang-orang menderita
meski kita sama-sama menciptakan
kebahagiaan kecil-kecilan sebagi makhluk kecil
yang akan segera dilupakan.
2017
KISAH SUATU MALAM KETIKA KANAK-KANAK
I
Sebelum larut, Ibu melepas ikat kelambu.
Abah membaca ayat-ayat Tuhan.
Sorban hijau yang Abah beli di Mekkah
tak pernah dikenakan. Sekadar jadi alas kitab suci.
Abah yang gemar bersongkok hitam
sering tak mendengar protes Nenek.
Kata Nenek, Abah sudah haji
mestinya memakai kopyah putih dan sorban.
Aku seorang anak kecil, hanya mendengarkan
bila Nenek dan Abah bersilang pendapat
di dapur Nenek yang bergaya Belanda
—yang terlihat tua tapi megah itu.
Aku lebih suka pendapat Abah.
Katanya, seorang haji punya tanda pada hati.
Tetapi aku mengerti maksud Nenek,
seorang ibu selalu ingin melihat anaknya
tampak gagah dan bermartabat.
II
Aku berbaring lemas. Tangan kananku
kuletakkan di paha Abah, tangan kiriku
meraba dingin pada dinding.
Entah aku sangat menyukai suhu
dinding, seperti aku suka meneguk air
dari mulut kendi waktu tengah malam,
ketika Abah dan Ibu terlihat pulas
dalam mimpi masing-masing.
Aku menatap langit-langit kamar.
Rumahku tak punya plafon.
Pada lengkungan-lengkungan genting
ada dua ekor laba-laba yang begitu telaten
menyusun dunianya sendiri.
Sebuah dunia, yang barangkali, semacam kota-
kota besar manusia.
Aku tak tahu, jam berapa laba-laba tidur.
Aku hanya tahu, rumah laba-laba ada di rumahku.
III
Duniaku yang kini sekadar sekotak ruang
bernama kamar, di antara ayat-ayat
terasa berbeda: teduh dan tenteram.
Seperti gemericik air di sungai seberang kampungku;
seperti angin pada gemericik air itu.
Itulah mengapa aku tak suka dongeng
perang. Menakutkan sekali.
Ribuan manusia, bahkan ratusan juta,
mati di ujung pedang, diporak-porandakan bom.
Aku juga membenci Dragon Ball.
Di sana terlalu banyak monster.
Monster-monster seperti tak ada habisnya.
Aku sampai lupa, nama-nama monster
yang sering diceritakan teman-temanku
setiap hari Senin di belakang sekolah.
Sialnya, aku suka Conan—serial anak-anak
yang setiap episodenya berisi adegan
pencarian seorang pembunuh.
Aku memang tak mengerti arti setiap ayat
yang diperdengarkan Abah
tapi aku sungguh-sungguh merasakan
gelombang suara Abah merambatai
kelenjar-kelenjar tubuhku.
IV
Di bawah lampu lima watt, aku seperti melihat
wajah teman-temanku:
Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron.
Mereka mencurangiku ketika main kelereng
pagi hingga petang tadi.
Kecurangan mereka membuatku kalah banyak.
Aku kehilangan sekotak kelereng
yang kukumpulkan berminggu-minggu.
Padahal jika pun mereka tak curang,
aku takkan menang. Tetapi barangkali
mereka sebenarnya tak curang, hanya saja
orang-orang kalah sepertiku
sering merasa dicurangi.
Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron
mungkin sudah menarik sarung
meringkuk di risbang masing-masing
atau mereka masih bermain di gang tengah,
karena pada malam empat belas purnama
orang-orang di kampungku tidur ba’da shubuh.
Sebagian mereka pergi ke Banten Lama.
Ada yang berziarah di kubur sultan-sultan
dan ada yang, aneh-aneh di reruntuhan
benteng, yang kata Abah, benteng itu
habis dibakar Belanda pada Senin subuh.
Besok masih libur. Aku, Jejen, Jaelani,
Mukmin, Mumtaji, dan Juhron
pasti main kelereng lagi.
V
Malam liat makin jauh, mataku makin berat.
Lampu kamar dimatikan. Kitab suci telah diletakkan
di lembedang. Abah berbaring
membaca shalawat kepada Kanjeng Nabi.
Aku yang sudah cukup hafal, mengikutinya.
Suara Abah terasa semakin dalam, suaraku
habis ditelan nyanyian sekumpulan jangkik
di luar. Aku tertidur di sisi Abah,
begitu saja.
Cilegon, 2017
Biografi penyair:
Muhammad Rois Rinaldi, lahir di Banten 8 Mei 1988. Koordinator Nasional Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa) dan Presiden Lentera Sastra Indonesia (LSI). Bersastra sejak 1998. Tulisannya berupa puisi dan esai dimuat di berbagai media massa, baik lokal, Nasional, maupun media massa di beberapa negara ASEAN. Karya-karyanya juga telah diterbitkan dalam bentuk buku, di antaranya Puisi Sepasang Angsa (Abatatsa, 2012); Terlepas (Pustaka Senja, 2015); esai Sastracyber: Makna dan Tanda (Esastera Enterprise, 2016); esai Koperasi dari Barat (Gaksa Enterprise, 2017), Pemanggungan Puisi; Panduan Praktis Baca Puisi (Gaksa Enterprise, 2018), dan Membaca Puisi-puisi Penyair Perempuan Asia Tenggara (Gaksa Enterprise, 2018). Rois menerima penghargaan Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Utama Penyair ASEAN (E-Sastera, 2015 dan 2016). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik terbitan Esastera Enterprise di Malaysia (2006-2016). Surel: rois.rinaldi.muhammad@gmail.com.