Cerpen Taqin Majid
Sudah cukup jauh lelaki itu mengayuh sepeda, dan sinar matahari pun mulai menghangatkan legam lengan terhias butir bening keringatnya. Namun, satu pun botol atau gelas plastik yang dibuang orang-orang di sisi kiri-kanan jalan raya itu tak kunjung ia temukan. Biasanya pada waktu-waktu seperti ini, ia telah mengisi seperempat dua keranjang bambu yang ia boncengkan itu. Apakah semua telah diangkut oleh orang-orang yang mencari nafkah dengan cara seperti dirinya? Ia tidak tahu. Yang ia tahu, pada hari-hari lalu, kendatipun ia kadang berpapasan dengan mereka, ia tetap kebagian rezeki. Maka, ia tidak putus asa. Di depan, mudah-mudahan, ada rezeki menantinya.
Matahari mulai meninggi, ia belum menemukan apa-apa. Beberapa jarak di depan, yang ia dapati malah sarang burung yang teronggok di bahu jalan. Saat satu di antara sekian kendaraan yang lalu-lalang itu hampir-hampir menggilas sarang burung itu, ujuk-ujuk ia kepikiran, apa jadinya jika ada anak-anak burung di dalamnya? Kendatipun sudah agak lelah, ia mempercepat ontelan sepedanya.
Betul dugaannya. Beberapa ekor anak burung mencericit, seperti memanggil-manggil induknya. Ia segera menepikan sepeda, lalu memungut sarang itu.
- Iklan -
Pada cabang pohon mahoni dekat situ, ia melihat seekor burung peking tampak gelisah memandang ke arahnya. Mungkin itu induk mereka, demikian benaknya sembari memanjat pohon itu. Lalu pada pertemuan tiga ranting, ia menaruh sarang burung itu. Tanpa menunggu orang itu turun, si induk langsung terbang lalu hinggap di sarang. Aneh, pikirnya kemudian, si burung tidak takut akan kehadirannya. Mungkin karena si burung lebih mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya, demikian benaknya sembari beranjak turun. Namun, selanjutnya adalah momen yang tak pernah ia duga: si burung mengucap terima kasih padanya lewat bahasa yang dapat ia pahami—bahasa manusia. Kendati mula-mula ia terpana, spontan ia menjawab, “Sama-sama….”
Demi membalas kebaikannya, demikian kata si burung, ia hanya bisa mendoakan kebaikan untuk orang itu. “Ngomong-ngomong, sampean ingin apa? Siapa tahu doa saya bakal dikabulkan oleh Gusti Allah Ta’ala—Dzat Pemelihara alam raya.”
Secara jujur, lelaki itu menyatakan bahwa sebetulnya ia menolong anak-anaknya itu lillahi ta’ala, tidak mengharap suatu apa kecuali pahala dari-Nya.
Saya dapat memaklumi, tanggap si burung, itu tandanya sampean ikhlas. Hanya saja, lanjut si burung, saya ingin mendoakan atas kebaikan sampean. Apa tidak boleh sesama makhluk ciptaan-Nya saling mendoakan?
Lelaki itu tersenyum lepas—saking senangnya—mendapati seekor burung punya pikiran dan keinginan seperti itu. “Tentu boleh,” jawabnya.
“Kalau begitu, sekarang sampean ingin saya mendoakan sampean dalam hal apa?”
Lelaki itu tampak berpikir. Setelah memantapkan diri bahwa bisa jadi doa si burung bakal terkabul, ia menyatakan supaya si burung berdoa untuk kebaikan seluruh umat Kanjeng Nabi.
“Itu saja?”
Lelaki itu mengangguk.
Si burung menandaskan, “Betul, itu saja?”
Lagi-lagi lelaki itu mengangguk. Si burung pun berdoa. Hanya saja menggunakan bahasa burung—yang barang tentu tak dapat dipahaminya.
Setelah turun, sebelum pergi, lelaki itu melambaikan tangan pada si burung yang disambut dengan riang ocehannya.
Matahari mulai condong ke arah barat, ia baru saja menunaikan salat di musala pinggir jalan raya itu. Lalu ia melanjutkan lewat pertigaan di depan, jalan yang melingkar menuju rumahnya.
Tidak berapa lama kemudian, ia hampir sampai di sebuah rumah yang kadang si pemilik rumah tersebut menjadikannya senang dengan cara mengumpulkan barang-barang yang sudah tidak terpakai seperti kardus dan lain-lain di pinggir jalan depan rumahnya—terkesan menyilakan pemulung untuk mengambilnya. Ia kagum dengan kelakuan orang tersebut, sepertinya sengaja memisahkannya—mempermudah pemulung memungutnya.
Lain daripada itu, seorang teman sesama pemulung bercerita padanya bahwa ia beberapa kali pernah diberi uang oleh orang tersebut, tak lama setelah memunguti barang-barang di pinggir jalan depan rumah orang tersebut. Ah, demikian benaknya sembari terus mengontel sepedanya, kenapa ia malah jadi berharap pada orang tersebut? Apa karena sesiang ini ia belum menemukan apa-apa?
Namun demikian, buru-buru ia memperbaiki lintasan hatinya, karena harusnya hanya kepada Gusti Allah Ta’ala ia berharap. Jikapun berkaitan dengan orang tersebut, tidak lain orang tersebut hanya perantara Tuhan membagi rezeki untuknya. Maka, begitu ia hanya mendapati sekotak kardus kecil di pinggir jalan depan rumah itu, ia pun bersyukur. Karena, kendatipun sedikit, itu adalah rezekinya. Mungkin di depan, demikian benaknya sembari memungutnya, ada rezeki yang lebih banyak.
Namun kemudian, saat hendak menaruhnya pada keranjang, ujuk-ujuk rasa penasaran mengguyurnya—mendapati sebuah amplop di dalam kardus itu. Diambilnya, ia tambah penasaran: sebaris tulisan terbaca, “Mungkin sampean sedang beruntung, bukalah!”
Ia pun menyobek amplop yang dilem itu. Rupanya ia mendapati sebuah amplop yang lebih kecil dengan tulisan, “Sampean belum beruntung, coba sekali lagi!”
Ia pun menuruti anjuran kata-kata itu, menyobek amplop yang rupanya berisi sebuah amplop yang lebih kecil lagi. Kali ini ia tak menemukan kata-kata tertulis di permukaannya. Hanya saja, saat ia terawangkan ke arah matahari, ia mendapati selembar uang terlipat di dalamnya. Selembar uang yang cukup memenuhi kebutuhan keluarganya untuk beberapa hari. Allah Karim, ucapnya kemudian sembari mengayuh sepedanya. (*)
Kesugihan, 10:07, 12 Januari 2021
*TAQIN MAJID, pernah membaca dan menulis beberapa cerita—mudah-mudahan akan lagi. Beberapa cerpennya disiarkan duniasantri.co, magrib.id dan termaktub dalam antologi bersama, di antaranya: Ragu (CV. Penerbit, Yogyakarta, 2020), Pecahan Asa dalam Kata (Aksara UPI Tasikmalaya, 2020), Pada Sampah Buanglah Tempatnya (Sip Publishing, Purwokerto, 2021). Sementara ini ia tinggal di Doplangkarta, pesisir selatan bagian tengah pulau Jawa. Ig: @taqinmajid25