Oleh Vito Prasetyo *)
Sejatinya warga Nahdlatul Ulama (NU) berbangga diri dengan adanya ribuan lembaga pendidikan yang menyebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan RI. Tantangan pendidikan semakin berat, sehingga harus ada perimbangan lembaga pendidikan swasta dan negeri. Belum lagi ditambah kesiapan prasarana dan sarana pendidikan. Dalam struktur hirarkis Nahdatul Ulama, lembaga pendidikan Ma’arif menjadi garda terdepan dalam sistem edukasi pendidikan formal. Ikatan emosional secara kultural, pembangunann kerangka pendidikan di lingkungan NU ini begitu dikenal sampai lapisan masyarakat terbawah.
Dalam rangka khidmat NU yang ke-95, tentunya kematangan ormas NU menjadi potensi terbesar dalam kerangka pembangunan pendidikan nasional. Dengan tema “Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan”, tentunya bukan hanya sebuah slogan yang tanpa tujuan. Semangat ini tentunya dibangun atas dasar kemajemukan masalah serta perubahan sosial sebagai tantangan ke depan untuk mewujudkan nilai-nilai humanis dan berkeadilan, khususnya bagi warga nahdliyin.
Tantangan ini semakin berat, khususnya untuk mempertahankan nilai-nilai fiqih dan akidah (muslim) bagi generasi penerus bangsa, jika sistem pendidikan agama tidak berimbang dengan pendidikan umum, yang saat ini prosentase studi keakhlakan (etika moral) makin tergeser. Maka perlunya konsistensi pengajaran yang membangun orientasi moral sebagai dasar dari perwujudan komitmen kebangsaan. Meminjam istilah yang ditinggalkan oleh ulama besar NU, yakni Gus Dur: bangsa kita tidak kekurangan orang hebat, bangsa kita tidak kekurangan orang pintar, bangsa kita hanya kekurangan orang baik. Pernyataan filosofis ini begitu mendalam dalam refleksi bangsa.
- Iklan -
Ada banyak hal kenapa sistem pendidikan kita saat ini sulit untuk menemukan indikator yang akuntabel (terukur). Dalam beberapa bulan ini, pendidikan dilakukan dengan sistem pembelajaran jarak jauh (daring). Ini tidak mudah, mengingat akses informasi pendidikan membuat kondisi di pelbagai daerah menjadi terbengkalai akibat negara (pemerintah) harus fokus dan menjadikan skala prioritas untuk pemulihan kondisi ekonomi, dan pencegahan merebaknya pandemi covid-19 berkepanjangan.
Kondisi ini cukup berat, mengingat perubahan zaman atau era global telah berkembang sangat pesat, sementara prasarana dan sarana infrastruktur pendidikan masih berkutat pada standar kurikulum, yang memakai pola revisi atau perubahan. Pada titik ini, tentu ada problem baru yang dihadapi, yakni sejauh mana output (hasil) dan tujuan pendidikan nasional tercapai!?
Meminjam istilah atau semboyan dari proklamator bangsa ini, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, tentu harus dilihat dari perspektif bijak. Bahwa ada beberapa catatan yang tentu bisa dipakai sebagai kebijakan dalam merumuskan dan menguraikan persoalan-persoalan yang menjadi benang merah sistem pendidikan nasional kita. Karena bangsa ini menjadi bangsa yang besar (plural), tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran masa lalu yang didasari oleh perjuangan martabat bangsa. Ini jangan dianggap stigma (pandangan negatif) dalam pembangunan kerangka bangsa, termasuk untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Sebuah paradigma yang mengatakan pendidikan era modern lebih berkualitas, bukan untuk meninggalkan regenerasi pendidikan dan menciptakan opini kesenjangan catatan sejarah. Ada banyak tantangan di setiap masa yang berbeda, dan itu menjadi mata rantai untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan era ini karena adanya perubahan iklim sosial dan menjadikannya sebuah tantangan baru (lebih komplek). Kemudian teoritis-analitik menjadi pengembangan ilmu empiris yang digunakan untuk menjawab tantangan tersebut. Media yang digunakan pun lambat-laun mengalami perubahan genetik. Apakah dunia pendidikan kita telah siap untuk menghadapi ini semua?
Sebagaimana yang menjadi pikiran dasar dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, bahwa ada beberapa penekanan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dimana pendidikan itu harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Maka dalam kondisi seperti saat ini, dibutuhkan piranti kuat untuk membangun komitmen tersebut.
Membaca persoalan di atas yang menjadi benang merah pendidikan nasional, tentunya akan berimbas pada tantangan di lembaga pendidikan NU. Maka komitmen itu harus diwujudkan melalui pengembangan nilai ke-aswaja-an NU dengan berpikir kritis dan tetap pada kepentingan umat, tentunya dengan dialog-dialog damai demi terwujudnya pendidikan berkualitas yang mampu menjawab segala tantangan era ke-21. Era yang juga dikatakan sebagai era digital. Maka penguasaan teknologi juga menjadi substansi dasar, baik prasarana dan sarana dalam lingkungan pendidikan NU. Termasuk bagaimana peran politikus NU untuk membangun strategi pendidikan nasional, selalu bisa memberikan informasi akurat dalam mewadahi program-program pendidikan, khususnya untuk kemaslahatan umat. Karena politik, sesungguhnya untuk mewujudkan martabat kemanusiaan secara adil.
Kondisi saat ini memang sangat dilematis. Karena kelangsungan pendidikan juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Di satu sisi, aspek humanisme (kemanusiaan) sangat bergantung dengan rasa aman kesehatan masyarakat luas, di sisi lain pemulihan kondisi ekonomi juga harus dapat kembali normal. Artinya, konsep pendidikan dibangun dengan berbagai opsi tanpa meninggalkan peran kurikulum di semua jenjang pendidikan. Ketiga opsi atau pilihan tersebut, yakni: tetap mengacu pada kurikulum nasional, menggunakan kurikulum darurat, atau melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Ini mungkin bisa terjemahkan sebagai dialog damai dalam kelangsungan pendidikan nasional.
Dari opsi tersebut, maka tentunya lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama, diharapkan dapat memberikan kontribusi terbesar dalam menghasilkan siswa yang berkualitas, memiliki wawasan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan zaman, termasuk dapat menghasilkan santri-santri yang mampu menjaga akidah agama secara benar. Maka tidak ada lain, secara dini bagaimana membangun konsep desain pendidikan dan penelitian secara berimbang, dengan dialog damai di tengah kemajemukan bangsa. ***
–Penulis adalah sastrawan dan peminat budaya