Oleh Ahmad Farisi*
Siapa yang tak kenal Gus Dur, ia merupakan cucu kiai karismatik pendiri NU, kiai Hasyim As’ary. Belaiu lahir dari seorang ayah bernama Wahid Hasyim, Gus Dur tumbuh besar dilingkungan Pesantren. Dan, semasa hidupanya beliau tercatat sebagai ketua umum PBNU dan Presiden keempat Indonesia. Secara keturunan dan kedudukan Gus Dur termasuk golongan darah biru. Meski begitu, Gus Dur tetap rendah hati, tidak sombong dan tidak pula jahat pada sesama.
Saat menjabat presiden, Gus Dur terbilang sebagai orang yang tak punya uang. Pasalnya, menurut Mahfud MD yang dikutip Kiai Husein Muhammad dalam bukunya yang berjudul Kezuhudan Gus Dur (Diva Press, 2019), gaji Gus Dur sebagai presiden sering diberikan kepada orang-orang yang memerlukan atau yang menurutnya membutuhkan meski tak diminta, termasuk pula kepada para menterinya. Alwi Shihab dan AS Hikam adalah menteri yang pernah disedakahi uang oleh Gus Dur, atas dasar jas dan sepatu mereka berdua sudah lawas dan tidak layak pakai sebagai seorang menteri.
Tidak hanya kepada Alwi Shihab dan AS Hikam, Gus Dur juga sering menyedekahkan uangnya kepada pengurus NU, kiai kampung, dan ustaz; santri, nelayan; tukang kebun; pedagang kelontong dan para petani yang membutuhkan. Baik untuk kepentingan fasilitas organisasi atau untuk memenuhi kebutuhan pribadi keluarga mereka. Gus Dur peduli kepada sesama. Loyalitasnya terhadap masyarakat begitu tinggi. Dan, di sisi lain ia juga tidak tamak terhadap harta yang dimilikinya sehingga memilih untuk memberikannya kepada sesama.
- Iklan -
Kebiasaannya memberi kepada yang membutuhkan beliau lakukan tanpa bertanya apakah yang beliau beri benar-benar membutuhkan atau tidak, Gus Dur tak peduli itu, bahkan beliau tak pernah menyuruh orang untuk menyelidiki orang-orang yang beliau beri. Dalam memberi beliau juga tak pernah melihat siapa yang beliau beri, tak pernah bertanya apa agama dan seterusnya, dalam segala keadaan beliau tak pernah bertanya mengenai identitas seseorang. Baginya semua orang sama, yaitu sama-sama makhluk Allah.
Bahkan, beliau sering membagikan uangnya kepada orang yang pernah mengkritik dan masih terus mengkritik pemikirannya. Tidak ada kata benci dan permusuhan dalam diri Gus Dur, yang ada adalah persaudaraan dan persaudaraan. Sebab, ayah dari Alissa Wahid ini yakin bahwa, dengan membenci dan memusuhi tiada yang didapat kecuali permusuhan dengan saudara-saudara kita sendiri.
Selain punya kebiasaan memberi, Gus Dur juga punya kebiasaan mendengar lantunan-lantunan ayat suci Al Qur’an yang merdu, bila ada yang mengesankan hatinya, beliau akan memberi tafsir atasnya. Bukan hanya melalui kaset yang diputar, kadang Gus Dur juga mengundang huuffazah (para penghafal Al-Qur’an) dari Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) untuk sema’an (mendengarkan) ayat-ayat suci Al-Qur’an di rumahnya.
Terlepas dari semua itu, dalam menjalani hidup Gus Dur terbilang sederhana. Hari-harinya selalu beliau jalani dengan berpuasa sunah. Saat beliau buka puasa atau makan pada umumnya, lauk-pauknya pun tak terlalu mewah seperti orang-orang sekelasnya. Lauk-pauknya hanya terdiri dari tempe, tahu dan sambal lalap; sayur bening atau lodeh, telor dan daging kering; cumi-cumi dan kerupuk. Sedangkan dalam berpenampilan, menurut pengalaman, dirumahnya ataupun di Istana Presiden pakaiannya sama saja, sama-sama sederhana.
Dialah Gus Dur, yang dalam menjalani kehidupannya selalu mengasihi sesama, membantu dan menolong mereka yang membutuhkan sebagai upaya untuk membentuk kehidupan beragama dan bermasyarakat yang lebih harmonis dan romantis. Dan, di sisi lain ia juga tak lupa untuk terus dan terus mengasa kehidupan spritualitasnya; mendekatkan diri kepada Dia (Allah) yang merupakan sumber dari segala sumber yang menggerakkan hati dan jiwanya untuk selalu berbaik hati kepada sesama.
Demikianlah Gus Dur sang Zahid yang begitu peduli kepada sesama yang dalam konteks kehidupan kita hari ini, nilai-nilai, ajaran dan semangatnya dalam membantu sesama, serta semangatnya dalam beragama (berislam khususnya) patut kita implementasikan kembali. Dengan harapan, cita-cita kita dalam bernegara dan berbangsa, yakni untuk menjadi komunitas manusia yang bisa hidup damai dan sejahtera bersama bisa kita wujudkan.
Gus Dur mangkat menghadap-Nya pada sebelas tahun yang lalu, 30 Desember 2009. Karena itu, pemikiran-pemikiran, ajarannya, dan semangat perjuangannya yang sungguh luar biasa sudah saatnya kita tanamkan sebagai prinsip dalam keseharian hidup kita. Bukan hanya didiskusikan dan diseminarkan di gedung-gedung mewah dan megah tanpa wujud kongret dalam kehidupan nyata. Wallahu A’lam.
*) Penulis, tinggal di Yogyakarta