DOA BOCAH PENJAJA GORENGAN
Tuhan, kata orang hujan itu berkah. Hujan berlimpah, rezeki pun melimpah. Tapi mengapa saat air langit turun. Membasahi bumi dan tubuh mungilku.Daganganku malah tak laku? Tak ada yang membeli pisang goreng buatan ibuku. Mereka lebih suka meringkuk dalam selimut. Sembari memainkan jari di layar ponsel. Sekali sentuh aplikasi makanan. Tukang ojek online datang bawa kudapan
Aku bersama kakakku berteduh di depan minimarket. Payung yang kami bawa tak cukup melindungi. Hanya cukup untuk menutupi baskom. Biarlah kami kedinginan diterpa guyuran hujan. Asal dagangan kami tak kena tempias air hujan
Lelaki karyawan minimarket mendatangi kami. Oh, gembira hatiku bakal mendapat pembeli pertama. Tapi kata-kata yang diucapkannya membuat kami pilu. “Dik, kalau jualan jangan di sini! Itu nanti buat parkir!” Aku dan kakakku menyingkir hingga pinggir jalan
- Iklan -
Lelaki itu kembali bersuara, berteriak lantang. “Di situ juga enggak boleh! Pedagang gorengan bergerobak nanti datang. Mereka sudah membayar sewa bulanan!” Tuhan, berat benar jalan takdir kami. Kejam benar dia pada dua anak sekolah dasar. Yatim sejak balita, Bertahan hidup dengan mencari uang receh
Ayahku sang tulang punggung keluarga meninggal waktu kami kecil. Kata ibu, Ayah tertabrak mobil ketika berangkat kerja dengan becaknya. Sedang ibu tak leluasa bekerja sebab kakinya lumpuh. Dengan gerak yang terbatas, ibu menggoreng makanan. Ibu pantang putus asa menghidupi kami. Aku pun tak mau putus harapan
Hujan mulai reda, kami melangkah penuh doa. Tuhan, kirimlah malaikatmu. Untuk memborong dagangan kami. Agar ibu menyambut kami pulang dengan senyuman
Solo, Hujan Awal Tahun 2020
PEREMPUAN DI TAHUN TIKUS
Tubuh perempuan tergeletak di ranjang
Menatap pilu sekeranjang kue keranjang
Tahun Tikus membungkus ragu
Lalu ke mana langkah perempuan itu?
Malam mulai gerimis
Perempuan bertandang ke tengah kota
Sekeranjang kue keranjang digendong
Berharap pelancong memborong
Ia memandang ribuan lampion, teramat meneduhkan
Berbeda dengan tatapan para lelaki
Tajam menusuk, telanjangi kemolekan
Mereka memborong kue keranjang, tandas tak tersisa
Para lelaki rakut menyantap kue keranjang
Keranjang yang digendongnya lenyap
Berpindah pada kelopak mata mereka
Perempuan itu bergidik ngeri
Solo, 25 Januari 2020
RINDUKU PADA KEKASIH
Kau membungkam mulutku
Aku terpedaya pesonamu
Pesan rindu terkirim pada WhatsApp
Menggelantung di awan muram
Pudar terhanyut bulir gerimis
Masihkah kau sudi
Mendengar ceracau kekasih
Dengan muslihat bahasa
Ia membujuk rayu
Menyamarkan rindu
Solo, Februari 2020
BAYANG BAYANG GERIMIS
Pada setiap gerak langkah
Ada bayang seseorang
Entah kawan atau lawan
Hampir tak bisa dibedakan
Tersamar pada bayang gerimis
Dendam kesumat mengambang
Membunuh jalur nasib
Layaknya malapetaka
Menderas kegagalan
Sendiri, ia mencari bayang itu
Hingga kini tak tertemukan
Ia tak dapat dikenali, mahir kamuflase
Bersembunyi saat terjaga
Menyelinap lalu menelantarkan
CAHAYA REMANG
Ia tak sanggup membaca isyarat
Karena ada setitik cahaya remang
Sepanjang jalan kau menertawainya
Ia akan menyengsarakanmu
Menundukkan pada kehancuran
Solo, Februari 2020
*Miftahul Abrori, Lahir 13 Juli di Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah. Juara 3 Lomba Menulis Cerpen Solopos (2011) dan peraih Penghargaan Puisi Terbaik Ukara Geni dari Buletin Sastra Pawon (2012). Penulis adalah alumnus MA Al-Muayyad dan UNU Surakarta. Pernah menimba ilmu jurnalistik sebagai wartawan di berbagai media dan redaktur Majalah SERAMBI AL-MUAYYAD. Kini mengabdikan diri sebagai pembimbing ekskul jurnalistik dan sastra di SMP Al-Muayyad Solo.