SEJARAH MENGARUS DAN BERAYUN PERGI
Mimpi buruk melindap bersama muncratnya cahaya dini.
Khianat yang sempurna. Licin, licik hingga cerdik.
“Kita ternyata perlahan menuju punah!” bisikmu gelisah dan terbata-bata
Sejarah mengarus dan berayun-ayun pergi. Segenap manusia akan segera dikubur
dalam jurang-jurang berapi. Kita pun terlanjur terengah-engah, lengah
kompromi pada takdir, pasrah pada nalar yang mencekik pelan dan erat.
Syahdu dan penuh rasa hormat pada tiap rasa sakit.
Tertinggal, cuma hasrat yang paling lembut melampaui cumbu yang khusuk.
Itulah yang kau sebut: kenangan!
Warisan tinggalan leluhur yang wingit dan sakral.
Dilahirkan melalui mulut-mulut para penyair tragis: itulah takdir yang lain.
- Iklan -
Mendengar gumamnya adalah ritual menyimak waktu
Sekejap berlalu namun datang kembali seperti mantra yang diulang
dalam frase dan kata yang baru.
(Ngawi, 2019-2020)
PEREMPUAN TANDAK
*); pus.en
Perempuan bersampur, ooh, perempuan bagai
gelombang hanyutkan pasir, menyihir pesisir, menggerus karang.
Butir kristal embun dan samar bayang bulan
menebar pukat, menjaring pukau dengan jala sunyi
jerat segala pesona segala hasrat
Perempuan tandaikan lambaikan Sampit
seperti daun-daun selada mekar.
Di sanggul rambutnya bintang-binta bergelayutan,
kerlingnya kedip-kedipkan isyarat cinta dan birahi
yang selalu datang terlambat membuat para lelaki
terluka mulut dan lambungnya.
Perempuan tandak kibaskan sampur, segala penyair terluka
dan terlambat menuliskan bait-bait puisi.
(Ngawi, 2019-2020)
KESAKSIAN HUJAN
hujan selalu menggembirakan waktu dengan mozaik warna cinta
sebab pada curah rinainya selalu bergelayut kabar-kabar kangen
tak putus-putusnya menandai dingin dan kuyup yang tak henti-henti
mengalirkan riwayat-riwayat kenangan yang abadi membentangkan
waktu, dan hujan pulalah yang meruwatnya: merajut kembali retakan-retakan
masa silam dengan masa depan. Betapa pun kaburnya!
Klitik, 2019-2020
RITUS
/1/
ritus yang hanyutkan gigil dalam darah
rombongan ikan berduyun dalam bejana tubuh rapuh
sisik-sisiknya telah berwarna tembaga disusuri urat-urat
uzur yang melepuh di akar-akar rambut memucat.
: segala air, ngalir di satu muara yang sama!
biarkan tubuh basah. kuyup bagai bocah berlarian di gelombang hujan
: dinginnya bunda, dinginnya menuju gigil. dinginnya bunda, biar hanyut segala belatung!
/2/
bara dari api itu: bahan bagai si terkutuk itu tersisa juga dalam tubuh!
hanguskan mawar-mawar mempelai kembali pada abu.pada tiada.
nafas udara lamat-lamat jadi dengus bara berkobar nyala
membakar apa saja: pun usia yang sia-sia.
/3/
lempung ini muasalku, muasalmu.rahim segala debu
sekaligus tempat berpulang lantas moksa.liang abadi
tempat jasad digerus belatung rakus, bedah-muntahkan
jeroan perutmu sarang segala berhala kurcaci tumbuh dewasa
melepuh jadi denawa.
ini muasalmu.muasalku pula.warna abadi
gelap sempurna, ceruk tak berpelita
rumah sempurna untuk saksikan tubuh melengkung
lantas muncrat jadi abu.
/4/
ruang kosong tak bersudut.tanpa tepi.
bukan lingkaran apalagi kerucut atau jajaran genjang.
ngambang seperti planton
seperti suluk dan mantra yang nglambrang
atau doa tak sampai: hanya sebatas lurung
(Ngawi, 2019-2020)
MENEMUKAN DIRIKU DI UJUNG WAKTU
Kutemukan diriku sendiri di ujung waktu,
meringkuk di onggokan kertas penuh puisi.
Kutemukan diriku dengan mata lajur dan suara kering
seperti mulut yang dijejali korona, berbusa tuba.
Kutemukan diriku dalam selimut waktu yang memutih
lantas hancur seperti kertas penuh puisi yang dikeramus ngengat.
Tak ada siapa-siapa. Hanya tubuh lunglai dan mulut menganga
dan di sudut ruangan hanya setumpuk abu dan kaos dalam yang usang.
Di ujung waktu kutemu diriku seperti ranting yang ranggas
ditancapkan dalam-dalam di sebuah liang hitam penuh ngengat dan belatung!
2020
*Tjahjono Widarmanto. Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Studi S1 dan S2 nya di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Sempat belajar di program S3 Unesa. Menulis berupa puisi, esai, artikel, dan cerpen. Selain menulis sastra Indonesia juga menulis sastra Jawa. Tulisan-tulisan tersebut termuat dalam Horison, Basis, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Solo Pos, Republika, Jurnal Sajak, Majas, Kedaulatan Rakyat, Sindo, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Harian Fajar, Kurungbuka.com, ide-ide.com, Cendana News, Jurnal Faktual.id, Jayabaya, Panjebar Semangat, dsb.
Berapakah bukunya yang telah terbit antara lain: Yuk, Nulis Puisi (2019), Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016), Memahami Kata dan Bentuk Kata Bahasa Indonesia (2019), Pengantar Jurnalistik: Panduan Awal Penulis dan Jurnalis (2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (2014), Mata Air di Karang Rindu (2013), Masa Depan Sastra:Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Umayi (2012), Nasionalisme Sastra (2011), Kitab Kelahiran (2003), Kubur Penyair (2002), dan Di Pusat Pusaran Angin (1997).
Pernah meraih beberapa penghargaan di antaranya, Penghargaan 5 Buku Puisi Terbaik TK. Nasional versi HPI 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik TK Nasional 2013 dari Pusat Pembinaan Bahasa, Penghargaan Sutasoma kategori Guru Bahasa dan Sastra Berdedikasi 2014 dari Balai Bahasa Jatim, Guru Berprestasi II se-Jatim 2016, Penghargaan SenimanBudayawan Berprestasi Se-Jatim 2012, berturut-turut memenangi lomba penulisan tk. nasional2004,2005, 2007, 2010, 2013. dll.Selain menulis juga menjadi guru di SMAN 2 Ngawi. Kadang diundang menjadi narasumber, juri, instruktur, maupun peserta. Beralamat di Perum Chrisan Hikari B.6, Jl.Teuku Umar-Ketanggi