Cerpen Malihatun Nikmah
Kiai Sya’dullah tak sanggup lagi menampung air mata. Hari-harinya selalu diisi oleh penyesalan yang luar biasa. Semua yang diisyaratkan Allah benar, harus kita lakukan. Dan syariat itu tidak pernah keliru. Hal yang menjadikan manusia hancur adalah pribadinya. Warga menyebutnya Kiai karena ia adalah seorang pengasuh di pondok pesantren peninggalan sang Abi. Kehidupan Kiai Sya’dullah tidaklah berkekurangan. Ia memiliki bisnis travel umrah dan haji.
Kiai Sya’dullah diberi Allah pendamping yang cantik, pintar, rajin dan sangat salihah. Namana Syafiah. Hidup Sya’dullah sangat bahagia. Apalagi Syafiah telah memberinya dua orang putra dan satu putri.
Rumah tangga Sya’dullah sangat bahagia. Suatu hari hati Kiai Sya’dullah diuji oleh Allah SWT. Sya’dullah jatuh cinta pada seorang gadis yang sangat cantik dan lebih muda. Aisyah namanya. Gadis yang lebih membuat Sya’dullah semakin kuat ingin menikah lagi, lebih-lebih karena gadis itu bersedia menjadi istri keduanya.
- Iklan -
Akhirnya Sya’dullah memutuskan untuk menikahi Aisyah. Dan Sya’dullah sudah memberi tahu istrinya. Namun, Syafiah tidak menjawab apa-apa. Yang Sya’dullah lihat hanya air mata yang jatuh saat dia menyampaikan itu. Sya’dullah tak peduli, toh nanti dia juga akan menerima, pikirnya.
Terjadilah pernikahan antara Sya’dullah dan Aisyah. Awal-awalnya memang susah tapi lambat laun baik-baik saja. Hanya saja Syafiyah menjadi perempuan pendiam usai Sya’dullah menikah lagi.
Waktu terus bergulir. Tidak terasa Sya’dullah sudah membina rumah tangga dengan Aisyah hampir dua tahun dan dikaruniai satu putra yang sekarang berusia 6 bulan. Sementara Syafiyah tidak banyak yang berubah darinya.
Seperti umumnya manusia, Sya’dullah mulai bosan dan jenuh. Sehingga terjadilah badai dalam rumah tangga mereka. Sya’dullah ingin menceraikan salah satu istrinya dan terjadilah pertengkaran yang dahsyat dalam keluarganya.
Akhirnya, jatuhlah talaknya pada Syafiyah. Terlihat air mata pada wajah Syafiah, namun dia terus diam dalam kebisuan air mata.
Sya’dullah biarkan Ilham, Kaisan dan Fatimah ikut dengan Syafiyah. Karena, Sya’dullah tahu pasti mereka memilih ibunya.
Tahun berganti tahun. Hidupnya dengan Aisyah pun mulai goyah, meski sesungguhnya Kiai Sya’dullah sangat bahagia dengannya. Namun, sifat manja dan tidak memahami perasaan Sya’dullah membuatnya tidak nyaman. Tidak jarang rumah tangga mereka mulai dilanda pertengkaran.
Suatu hari Kiai Sya’dullah dengan Aisyah diterpa pertengkaran hebat dan membuat Sya’dullah enggan pulang ke rumah. Dan santri-santri yang mediami pondoknya perlahan berhenti dan pindah ke pesantren lain.
Di sebuah masjid ia larutkan diri dalam salat. Dalam masjid itu pun Sya’dullah rindu dengan Syafiyah dan anak-anaknya. Tapi di mana mereka?—15 tahun silam saat ia menalak Syafiah, Ilham putra pertamanya berusia 5 tahun, dan Kaisan berusia 4 tahun sementara Fatimah berusia 1 tahun.
Hingga kini Kiai Sya’dullah tak pernah menanyakan kabar mereka, apalagi mengirimkan mereka biaya hidup,—sungguh semakin membuatnya menderita memikirkannya.
Sya’dullah diam-diam memacu hasratnya untuk mencari Syafiyah dan anak-anaknya. Dia mulai menanyakan kepada keluarganya dan pada teman-teman Syafiyah tapi tetap nihil. Mereka hilang bagai di telan bumi. “Di mana mereka Ya Allah,” rintihnya dalam hati.
Sya’dullah semakin ketakutan manakala tidak mendapat kabar apa-apa tentang mereka. Pikirannya semakin tak menentu. Di sisi lain, Syafiyah hidup dengan Kiai Sya’dullah dengan sejuta tuntutan.
Hari-hari pun berlalu bahkan hampir 11 bulan Sya’dullah mencari mereka. Hingga pada suatu hari sehabis mengikuti kajian, tiba-tiba salah satu keluarga Syafiah mendekati Kiai Sya’dullah.
“Paman Sya’dullah, apakah paman sudah bertemu bibi, Kak Ilham dan adik-adik-adiknya?”
Sya’dullah menggelengkan kepala dengan air mata kerinduan.
Keponakan Sya’dullah itu melanjutkan, “Insyaallah mereka baik-baik saja, Paman,” perkataan sepupu Ilham membuat Sya’dullah menatap wajahnya. Wajah sepupu anak Kiai Sya’dullah seolah menyiratkan sesuatu, ia seperti mengetahui keberadaan Shafiyah dan anak-anaknya. Ternyata, benarlah dugaan Sya’dullah, ia memberi tahu setelah Kiai Sya’dullah mendesak di mana bibinya dan sepupunya berada.
Syafiyah menghilang dalam kehidupan Kiai Sya’dullah dan menetap di sebuah kota yang sangat jauh dari tempat yang pernah menjadi kota tempat mereka saat membina rumah tangga. Jarak tempuhnya 9 jam perjalanan dengan kereta atas dan kereta bawah di sebuah pondok pesantren di pelosok desa tempat di lereng gunung.
Kiai Sya’dullah berangkat dengan sepupu anaknya sebagai petunjuk arah dan mediator guna mempertemukan Kiai Sya’dullah dengan Syafiyah. Perjalanan yang panjang membuatnya dan keponakannya ingin beristirahat sejenak. Mampirlah mereka di salah satu masjid. Di tempat itu dada Kiai Sya’dullah bergemuruh. Perasaannya tak menentu. Sya’dullah ketakutan manakala anak-anaknya tidak mau melihatnya dan menerimanya sebagai ayah. Namun, mau tidak mau, ia terus meyakinkan hatinya.
Dari lamunan itu, tiba-tiba hilang oleh merdunya suara azan. Air mata Kiai Sya’dullah menetes menghayati kalimat muazin. Saat itu waktu magrib. Ia dan sepupu anaknya memutuskan bermalam di masjid tersebut.
“Allahu Akbar.”
Suara imam menggema. Kiai Sya’dullah dan sepupu anaknya tenggelam dalam salat oleh tartilnya bacaan imam dan menunjukkan sangat fasihnya dalam menghafalkan Al-Qur’an.
Keesokan hari di kala subuh menjelang, Kiai Sya’dullah berdoa, “Ya Allah, pertemukan aku dengan Syafiyah dan anak-anakku.”
Azan subuh pun berkumandang. Sebelum salat, tiba-tiba sepupu anaknya berkata, “Insyaallah pagi ini paman akan bertemu dengan putra pertamamu.”
Semakin bergemuruh hati Kiai Sya’dullah. Ditambah lagi, sang imam membuat para jemaah memecahkan tangisan. Sungguh desa dan tempat yang dipilih Syafiyah benar-benar sangat damai dari kebisingan dunia.
Tiba-tiba selesai salat dan zikir, keponakan Kiai Sya’dullah menghampiri iman masjid dengan tanpa canggung. Ia langsung memeluk tanpa sungkan, seakan tidak ada jarak di antara keduanya, seperti memiliki keakraban yang sangat dekat, dalam pelukan cukup lama dan sambil saling menepuk pundak. Mereka berbincang kecil dan senyum keduanya menguarkan kehangatan. Momen itu di saksikan oleh Kiai Sya’dullah.
Benarlah pagi itu Kiai Sya’dullah bertemu dengan putra sulungnya, Ilham, yang tiada lain imam yang dari tadi malam membuat jemaah menangis kerena tartilnya membaca Qur’an. Hati Kiai Sya’dullah bergemuruh dalam usia yang sangat muda ia telah memiliki ilmu setara gurunya. Hatinya kembali bergemuruh mana kala melihatnya tumbuh menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Menetes air mata Kiai Sya’dullah dan dipeluknya Ilham erat sekali. Kiai Sya’dullah kemudian menanyakan ibu dan kabar adik adiknya. Dengan gaya bahasa yang sangat sopan, Ilham menceritakan perjalanan ibunya menanggung ketiga anaknya tanpa ada sosok ayah.
Ilham telah didewasakan oleh ilmunya walau usianya baru 20 tahun. Kisah perjalanan mantan istri Kiai Sya’dullah didengar dengan air mata tak terbendung.
Hati Kiai Sya’dullah semakin merinding manakala Ilham mengatakan bahwa adiknya, Kaisan, yang beda usia setahun dengan Ilham telah berangkat ke Mesir karena prestasinya mendapat beasiswa pendidikan. Di sisi lain, Fatimah, yang berusia 16 tahun telah selesai mengikuti program kelas tahfiz.
“Kami semua bisa seperti ini, karena sesosok ibu yang Abi tinggalkan,” ucap Ilham, anak pertama Kiai Sya’dullah tenang.
“Umi membesarkan dan mendidik kami untuk mencintai Allah SWT. Umi memberi kami makan dari hasil kerjanya sebagai seorang cuci piring di dapur pondok ini. Abi… Umi tidak pernah mengajari kami untuk membencimu. Tapi ketahuilah, Abi adalah ayah kami, tapi tidak layak menjadi suami Umi kami.”
Kalimat itu meluncur bagai petir menyambar. Kiai Sya’dullah menunduk, terendam malu dan tidak tahu harus melakukan sesuatu.
*Malihatun Nikmah, lahir di Sumenep, 29 Desember 1996. Alumni Prodi Tadris Bahasa Indonesia IAIN Madura. Gemar menulis puisi, cerpen, opini dan reportase di sejumlah media cetak dan daring.