Oleh Rizka Nur Laily Muallifa
BIODATA BUKU:
Judul: Kitab Cerita
Penulis: Setyaningsih
- Iklan -
Tahun: Desember 2019
Penerbit: Bilik Literasi
Tebal: 82 halaman
ISBN: 9-786237-258438
Pembaca pada mulanya terbuai oleh angan-angan sendiri. “Esai-esai Anak dan Pustaka”, keterangan di bawah judul utama itu sempat tertuduh sebagai keterangan bahwa esai-esai yang termaktub dalam buku ditujukan untuk anak-anak. Pembaca sangat penasaran bagaimana kiranya ujud esai yang diperuntukkan buat anak-anak. Saat mata baca tiba di halaman daftar isi, pembaca latah menepuk jidat dan tertawa-tawa sendirian. Mendapati judul-judul esai cenderung serius dan jelas tidak pas menyasar pembaca anak-anak. Oh, pembaca malang. Rupanya Kitab Cerita memang tidak ditujukan kepada para pembaca anak, kendatipun isinya melulu memperkarakan anak-anak.
Catatan menjelang penutup buku yang ditulis Fauzi Sukri menghadirkan ingatan pembaca pada Le Petit Prince garapan Antoine de Saint-Exupery. Mengutip Fauzi yang mengutip Saint-Exupery, “Kepada anak-anak aku mohon maaf, karena mempersembahkan buku ini kepada seorang dewasa. Aku mempunyai alasan yang kuat: orang dewasa itu adalah temanku yang terbaik di dunia. Aku mempunyai alasan lain: orang dewasa itu dapat memahami segalanya. Jika alasan itu tidak cukup, aku bersedia mempersembahkan buku ini kepada anak yang kemudian menjadi orang dewasa. Semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak (sekalipun hanya sedikit yang ingat)”.
Dalam hal ini, Le Petit Prince dan kemudian Kitab Cerita punya irisan. Membaca seluruh esai dalam Kitab Cerita mudah memperoleh simpulan bahwa tak satupun dari esai-esai di dalamnya ditujukan kepada pembaca anak. Corak kebahasaan yang dipilih, jalinan cerita, ideologi yang coba disampaikan penulis mustahil diterima para pembaca anak. Jadi sudah jelas, Kitab Cerita ialah bekal bagi orang dewasa demi misi membentuk biografi anak melalui rujukan pustaka yang membentang.
Sebelum Membaca
Perkembangan literasi anak pada tahap paling mula diawali dengan aktivitas melihat sebelum membaca. Anak-anak lebih dulu mengenal gambar daripada abjad yang berbaris-baris. Mereka juga menyimak dan merekam apa-apa yang disampaikan orang di sekitarnya. Konon, masa imperialisme Belanda diperkuat pula dengan penciptaan gambar yang diskriminatif di buku-buku ajar yang tercetak. Para ilustrator Belanda paling gemar menghadirkan pribumi sebagai sosok yang bertelanjang kaki, tidak berbaju, menjadi kuli/pembantu. Sementara kaum Belanda ditampilkan sebagai kulit putih yang padanya melekat perangkat-perangkat khas kemodernan, mulai sepatu sampai kendaraan (hlm. 14).
Belanda sadar, gambar bisa bicara lebih banyak daripada yang diprakirakan. Juga lebih lama tinggal dalam kenang-kenangan visual di kantong ingatan anak-anak. Gambar bukan perkara sepele. Ia jadi senjata politis ampuh supaya anak-anak Indonesia melihat dirinya sebagai pribumi inferior sejak mula. Tapi di masa itu pula, ada seorang perupa muda pribumi yang gagah berani urun dalam pengajaran gambar di sekolah-sekolah Hindia Belanda. Ialah Raden Saleh yang menciptakan teekenvoorbeelden (cetakan contoh untuk belajar menggambar). Teekenvoorbeelden itu menunjukkan tingginya kualitas bahan pelajaran menggambar yang digagas Raden Saleh untuk sekolah-sekolah di Jawa.
Setelah perlawanan Raden Saleh yang bersifat perorangan, sekian ilustrator pribumi mendapatkan gairah perlawanan koletif-institusional berkat politik etis. Mereka menciptakan gambar-gambar melawan diskriminasi dengan semangat bebas dan menjelang identitas keindonesiaan melalui buku-buku terbitan Balai Pustaka. Orang-orang dewasa berkesempatan-berkuasa menciptakan bacaan anak dengan ilustrasi tak asal coret alias sungguh memadahi. Para pembaca anak sangat mungkin mulanya membaca melalui mata visual mengkhidmati ilustrasi. Dalam hal ini ilustrasi berkedudukan setara atau meminjam istilah Setyaningsih menjadi suatu yang instingtual yang kuat bersekutu dengan teks.
Selain melihat gambar, anak-anak juga menyimak kata yang terucapkan mulut orang dewasa. Malahan sekian anak yang kini sampai pada usia jelang dewasa masih karib dengan kegemaran mendengar cerita dari mulut orang lain daripada membaca cerita yang tertulis. Anak-anak riang dan khidmat menyimak cerita pengantar tidur yang dibawakan orang tua, guru di sekolah, dan orang dewasa lain di pelbagai tempat dan kesempatan yang mengada.
Selembar Demi Selembar
Buku menjadi pertautan penanda kasih sayang seorang dewasa kepada anak-anak. Pelacakan Setyaningsih pada bacaan lawas membuahkan temuan iklan penanda romantisisme hubungan orang dewasa dengan anak-anak melalui buku. Koran Aneka Olahraga No. 2 (22 Agustus 1964) memuat iklan buku bacaan Tjerita Pilihan dari Mantjanegara. Bunyi iklan itu, “SAJANG ANAK!!! Belikanlah buku2 jang menarik dan bernilai! Kami sedia buku kumpulan tjerita anak2”. Membelikan buku sebentuk ikhtiar menyayangi anak (hlm. 19).
Setelah melalui tahap perkembangan melihat gambar dan menyimak omongan, sang anak sampai juga pada tahap membaca teks. Dorongan sekitar atau atas kemauan diri anak merasai kata-kata tercetak tak selalu lekas dibarengi dengan harapan besar dan membuncah. Anak-anak sering telanjur gembira meniti huruf demi huruf sebelum bernafsu mengerti maknanya. Kata-kata dieja dengan penuh kegembiraan merasai efek bunyi yang dibatin atau dieja dengan suara keras-keras. Membaca itu sudah lebih dulu asyik bagi semesta anak-anak.
Hari-hari membaca tanpa sibuk memikirkan makna juga akan lekas berlalu. Sang pembaca anak lekas meniti tahapan membaca berikutnya. Ia mulai penasaran dengan apa-apa yang sudah berhasil diejanya. Mereka-reka makna yang melekat di setiap kata. Ia merenungi semesta di balik kata per kata. Mengenali kehidupan lembar demi lembarnya. Sang pembaca anak meluncur menuju imajinasi dan pemahaman-pemahaman baru. Menuju pencerahan pikiran membangun gagasan dan cita-cita mulia.
Bacaan membentuk pemahaman anak mengenai sekitar, termasuk membentuk mentalitasnya. Bacaan anak punya andil besar membentuk sikap setiap generasi menyelami kehidupan sosial, menyemai intelektualitas dan rasa kemanusiaan yang tak habis-habis (hlm. 55). Tsah!
-Peresensi adalah Pembaca tak tahan godaan. Dalam masa-masa riang pasca menerbitkan buku puisi bersama beberapa kawan. Buku puisi itu Menghidupi Kematian (2018). Tulisannya pernah tersiar di Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Suara Merdeka, Koran Madura, Radar Bojonegoro, detik.com, alif.id, basabasi.co, ideide.id, langgar.co, dan beberapa lainnya.