Oleh Muamar Ramadhan, M.S.I
Serentetan peristiwa yang dilaporkan ke pihak berwajib terkait dengan hukuman yang diberikan guru kepada siswa, membuat sejumlah kalangan prihatin. Bahkan sebagian guru melakukan ‘pembiaran’ terhadap sejumlah pelanggaran yang dilakukan siswa. Di sinilah terjadi dilema di kalangan pendidik; menghukum salah, tidak menghukum juga salah. Kondisi siswa yang melakukan pelanggaran semakin berani karena guru tidak lagi memberikan hukuman yang membuat efek jera. Kondisi di madrasah/sekolah seakan tidak ada tata tertib yang berlaku. Sementara guru masih dibayang-bayangi berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Di sisi lain, sebagian guru madrasah/sekolah tetap menerapkan hukuman dengan alasan menegakkan kedisiplinan dan tata tertib. Dengan cara hati-hati dan batasan tertentu, hukuman tetap dijalankan dan menjadi zona nyaman di hampir seluruh madrasah/sekolah. Hampir semua madrasah/sekolah menerapkan hukuman bagi seluruh siswa yang melakukan pelanggaran. Alasan mendasar penerapan hukuman adalah demi kedisiplinan sekolah dan mendidik anak menjadi anak yang baik.
Kondisi di atas adalah bagian dari potret dunia pendidikan yang mengakar kuat, bahwa hukuman adalah bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan. Keyakinan bahwa hukuman menjadi bagian dari konsep reward and punishment yang secara berimbang harus dijalankan sudah menjadi sebuah keniscayaan.
- Iklan -
Keyakinan dan budaya hukuman tidak salah, namun tidak selamanya tepat. Apalagi karena takut dilaporkan pihak berwajib kemudian melakukan pembiaran terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan siswa juga menyisakan problem serius. Hukuman dikatakan tidak tepat karena seringkali berbentuk kekerasan naik fisik, mental, maupun verbal dan seringkali dilakukan tanpa menghiraukan relevansi antara pelanggaran dan hukuman yang diberikan. Belum lagi jika ditelisik lebih jauh, apakah dengan hukuman yang dinilai dapat merubah perilaku siswa dari tidak baik menjadi baik, dapat menubuhkan kesadaran kritis siswa. Pada konteks inilah disiplin positif menjadi alternatif solutif.
Disiplin Positif
Disiplin positif adalah sebuah pendekatan yang berfokus pada kekuatan tindakan positif. Tujuannya adalah menghasilkan anak yang bertanggung jawab dalam mengelola tindakan mereka sendiri, daripada tergantung pada pihak lain/otoritas (guru, orang tua) untuk mengatur tindakan mereka
Bisa dikatakan bahwa disiplin positif adalah antitesa praktik hukuman yang selama ini dilakukan yang tidak mampu menumbuhkan kesadaran kritis dan kurang relevan dalam proses pendidikan. Bahkan hukuman dinilai kontraproduktif dengan spirit madrasah/sekolah ramah anak.
Displin positif adalah upaya untuk menumbuhkembangkan nila-nilai positif agar siswa mempunyai kesadaran untuk bertindak positif. Saat sudah mempunyai kesadaran maka diharapkan kondiisi positif akan merubah dari pelanggaran menjadi displin, dari menyimpang kembali ke pada yang benar.
Tantangan penerapan disiplin positif adalah zona nyaman madrasah/sekolah yang selama ini menerapkan hukuman. Madrasah/sekolah meyakni bahwa hukuman adalah salh satu cara efektif untuk ketertiban madrasah/sekolah sehingga siswa menjadi baik. Siswa yang melakukan tindakan menyimpang hanya bisa ditertibkan dengan hukuman. Dengan perspektif ini tidak jarang pendekatan yang digunakan adalah memosisikan anak sebagai pihak yang salah. Bahkan labeling anak nakal sering disematkan pada sisiwa yang melakukan pelanggaran. Justufikasi anak dalam posisi salah menjadikan dia berhak menerima hukuman.
Hal kedua yang juga penting adalah keyakinan bahwa dalam memnberikan hukman tidak memperhatikan keterkaitan hukuman dengan dampak positif yang diharapkan. Tidak ada relasi antara hukuman dan pelanggaran yang dilakukan serta dampak positif yang diharapkan. Misalnya ada anak-anak yang berbicara sendiri di kelas kemudian disuruh lari mengelilingi halaman sekolah. Siswa tidak mengerti apa hubungan antara hukiman yang dia terima dengan pelanggaran yang dilakukan.
Di sinilah diperlukan kesadaran semua pihak bahwa dispilin poistif dikembangkan di madrasah/sekolah. Salah satu hambatannya adalah mindset stakholder madarsah/sekolah, khsusunya guru, yang selama ini berada dalam zona nyaman memberikan hukuman bagi siswa. Bagaimana mungkin siswa yang melakukan pelannggaran atau sikap menyimpang tidak boleh diberi sanksi? Atau tidak boleh memerima hukuman. Bahkan untuk menimbukkan efek jera harus dengan kekerasan? Inilah sejumlah pertanyaan yang muncul untuk memulai disiplin positif di madrasah/sekolah.
Sejatinya disiplin positif adalah proses penyadaran kepada warga madrasah/sekolah bahwa dengan hal-hal yang positif akan tercipta sesuatu yang positif. Guru yang menginginkan siswanya positif maka ia harus mengembangkan dalam dirinya sesuatu yang positif. Dengan demikian energi positif akan memengaruhi anak. Selama ini yang terjadi adalah mengedepankan emsoi. Saat melihat anak yang menyimpang (misbehave), maka emosilah yang dikedepankan. Kemudian langsung menasihati dan menghukum.
Padahal sesungguh nya yang terpenting adalah bertanya melalui dialog. Guru sebaiknya memberikan pertanyaan reflektif kepada anak kemudian siswa akan merasa nyaman dan dekat. Kenyamanan dan kedekatan ini menjadi titik awal siswa akan menceritakan banyak hal yang menjadi informasi awal bagi guru untuk melakukan langkah-langkah perbaikan bagi anak didik. Dengan demikian, sisiwa diajak untuk berpikir logis tentang konsekuensi tindakan menyimpang yang dilakukan dan didorong untuk memperbaikinya.
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.