Oleh M. Dalhar
Bagi madrasah, kemampuan siswa dalam hal pemahaman dan pengamalan ilmu agama mendapatkan perhatian tersendiri. Bermacam hal dilakukan, semisal menambahkan jam pelajaran lokal, merupakan upaya sekolah untuk memaksimalkan pemahaman agama kepada siswa.
Akan tetapi, dengan kompleksnya dunia pendidikan dewasa ini menjadikan pendidikan agama menjadi sedikit terabaikan. Pendidikan agama yang penulis maksud bukan hanya pendidikan formal di kelas, tetapi lebih pada prakteknya dalam kehidupan sehari-hari. Kesibukan madrasah mempersiapkan ujian nasional dengan memasukkan data para siswa dalam database aplikasi mengakibatkan banyak hal yang terkuras. Jam tambahan pembelajaran bagi siswa diadakan sedemikian rupa, sampai-sampai siswa yang tidak ujian terkena dampaknya. Pembelajaran lebih banyak dilakukan di rumah.
Bagaimana dengan praktik ibadah para siswa di rumah. Tentu tidak semua sekolah memiliki ruang yang seluas itu untuk mengontrol kepatuaha siswa dalam beragama. Akan tetapi, sekurang-kurangnya sekolah dapat memberikan rambu-rambu dan pembiasaan agar dijadikan pedoman bagi para siswa. Semisal tentang ilmu membaca al-Qur’an, salat, menyucikan najis, dan lain sebagainya. Tentu masing-masing tingkat madrasah perlu disesuaikan dengan kebutuhannya.
- Iklan -
Hal lain yang penting diperhatikan adalah tidak selalu pemahaman ilmu agama sesuai dengan tingkat pendidikan formalnya. Ada banyak faktor yang menjadikan pemahaman ilmu agama tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan formal siswa madrasah. Semisal siswa madrasah aliyah diberikan materi tentang Alfiyah ibnu Malik ketika bab dasar nahwu shorof saja belum tahu.
Pernah suatu ketika penulis melakukan tes seleksi masuk di madrasah aliyah. Ada cukup banyak siswa yang lulus dari sekolah agama, akan tetapi dalam praktek membaca al-Qur’an masih terbata-bata. Bacaan tajwid masih tidak tahu. Penulis mencoba untuk menelusuri kesehariannya. Banyak di antara siswa yang tidak belajar TPQ atau madin. Atau pernah tetapi tidak tamat. Ada juga yang sampai ikut wisuda, tetapi masih belum lancar. Yang terakhir, bisa jadi karena siswa didiknya terlampau banyak, sehingga guru tidak dapat memantau perkembangannya. Atau, dulu bisa tetapi karena tidak pernah dipraktekkan sehingga tidak lancar. Kompleks.
Tidak hanya itu, ketika jam pagi mengajar, penulis menjumpai ada beberapa siswa yang terlambat. Yang cukup mencengangkan adalah di antara mereka ada yang belum menunaikan salat subuh sebelum berangkat sekolah. fenomena semacam ini bukan hanya sekali penulis dapati. Artinya, doktrin tentang pentingnya salat bagi sebagian siswa belum dipahami secara utuh. Bahkan, ada yang baru tahu jika ada aturan mengganti atau qada dalam salat.
Di tengah banyaknya sekolah umum yang menggiatkan kegiatan keagamaannya, justru yang terjadi di sekolah agama (madrasah) adalah mengejar prestasi di luar ilmu agama. Pembelajaran agama terkesan dianggap sudah tuntas. Padahal kenyataannya tidak demikian. Perlu survei lebih lanjut atau kebijakan madrasah terkait dengan ketaatan para siswa dalam memegang teguh ilmu yang dipahaminya melalui praktek.
Kerjasama
Faktor lingkungan, dalam hal ini adalah internet memiliki pengaruh yang sangat besar. Munculnya game online dan media sosial sedikit banyak mengubah tujuan atau niat siswa datang ke sekolah. Ada tujuan baru yang ingin dicapai siswa, yaitu dapat mengakses jaringan internet dengan leluasa. Ketika sudah berkumpul dengan teman yang lain di kantin atau warung saat istirahat, para siswa lupa waktunya belajar. Bermacam permainan dan obrolan yang kurang bermanfaat melalui medsos dapat berdampak pada kelas. Bisa jadi secara fisik siswa berada di kelas, tetapi pikirannya melayang ke luar.
Pemantauan kepribadian siswa dalam pengamalan ilmu agama bukan perkara mudah. Paling tidak madrasah dapat memantau aktivitas siswa mulai pukul 07.00 sampai 13.00 WIB. Selebihnya, dikembalikan pada masing-masing orangtua.
Diketahui bersama bahwa tidak semua orangtua mau mengawasi anaknya. Sebenarnya bukan tidak mau, tetapi lebih pada tidak mampu. Karena itulah kemudian dititipkan ke madrasah untuk dididik agar pribadi yang soleh dan sholehah. Akan tetapi, madrasah memiliki keterbatasan. Madrasah tidak dapat secara optimal memantau perkembangan selama 24 jam. Kecuali madrasah yang menerapkan sistem asrama atau pesantren. Pemantauan praktek ibadah siswa relatif dapat terkontrol.
Madrasah yang belum memiliki satu lembaga model asrama dapat berkerja sama dengan lembaga pesantren yang sudah ada di lingkungan terdekat. Tujuannya adalah untuk sinergitas program. Hal ini semacam ini dapat ditemukan di Desa Kajen, Pati yang merupakan kawasan pesantren.
Di desa penulis, Banjaragung, Bangsri, Jepara, beberapa madrasah sudah melakukan kerja sama dengan pesantren yang ada di lingkungan setempat. Hasilnya, siswa yang di asrama atau pesantren lebih dapat dipantau daripada yang tidak di asrama. Apalagi kecenderungan yang sekarang, para orangtua lebih tertarik dengan model pendidikan dengan asrama atau pesantren. Merasa lebih aman dari paham-paham ekstrimis dan terpantau ibadahnya.
-Penulis adalah warga Banjaragung, Jepara