DANDANGAN
Sebelum puasa
Kau masuk pasar malam
Sepanjang jalan dekat rutan
Yang biasa penuh pedagang makanan
Nasi uduk dan tahu kecap
Orang tua, muda, kanak-kanak
Semuanya bahagia
Menyambut bulan puasa
Di sepanjang jalan
Penjual menggantung dagangannya
Dan pembeli menawar dengan pantas
Kau ada di sana
Bersama sepundak kegembiraan
- Iklan -
Celengan sapi dari tanah;
Kapal ethek dari lempeng besi
Yang berbunyi saat kau hidupkan
Dengan kapas dicampur minyak;
Kembang gula bergelung
Dari sesendok gula
Membentuk bantal pendek
Yang paling kalian suka
Kau selalu meminta celengan
Yang kau pecahkan di tahun kedua
Dan tak dapat apa-apa
Sebab kau boros
Tak suka menabung
Kau ingat itu semua
Seperti detak jam dinding
Yang terus berulang
Jika bulan puasa usai
KUPATAN
Setelah puasa
Setelah hari raya
Seminggu berturut pasar dadakan
Di sepanjang jalan sekitar gedung olahraga
Orang tua menjual ayam dan janur
Anak-anak mencari mainan burung
Kau ingat nenek pulang dari pasar
Membawa tiga ikat janur
Buat melipat bungkus ketupat
Kau selalu menunggu nenekmu
Meniru apa yang ia lakukan
Berusaha membentuk janur
Tapi selalu saja gagal
Dan merasa, selain eksakta
Bikin ketupat adalah kesulitan
Berundak-undak nan ganda
Kau ingat selalu kata-kata nenekmu:
Kalau menuang beras di dalam ketupat
Jangan terlalu penuh.
Dia yang setia menggantung dua
Ketupat kecil tanpa isi di atas pintu
Warungnya
Buat keberuntungan, katanya
Jika seminggu berlalu
Kau bakal rindu
Orang-orang berdagang janur dan ayam
KAJAR
Kajar bagimu adalah
Lingkupan pohon pinus
Dimana acara bakar jagung
Dipenuhi canda tawa
Meski kini tak lagi terdengar
Hanya patung si kuncung
Merenung, memastikan nasib esok
Tak lebih malang ketimbang ini hari
Dan sepeda tuanya
Masih terus mengangkut ranting
Seperti cinta lekas
Datang dan pergi melewati gerbang
Bagai angin memiuh
Dan membisikkan nama-nama
Tanpa pesan berarti
Dan bagimu pohon-pohon itu
Sebisu ingatan masa lalu:
Ada, namun tak mampu
Menggerakkan apa-apa
DI MAKAM SOSROKARTONO
/1/
Gurat cahaya menerobos tirai-tirai bambu
Dan kita menemukan waktu
gugur serupa daun-daun
yang terjatuh di tanah keheningan
Karena waktu, pohon-pohon
Menjatuhkan tangan mereka yang kering
Seperti engkau melepas napas tanpa
Percuma kepadaNya
Dalam satu pandom:
Ngawula dateng kawulaning Gusti—
memayu ayuning urip
/2/
Lalu kita duduk mengingat nama
Dengan cinta pada masa lalu
Ia berbaring sekian masa
Menunggu penghabisan nyata tiba
/3/
Di bawah naungan rimbun pohon
Pembaringan sang mandor
Terbenam dalam damai
Bacalah hingga akhir waktu
Meski nama telah dialpakan
/4/
Setelah cahaya-cahaya
Sedapatnya menampung doa
Terlarung ke langit tujuh lapisan
Yang begitu jauh
MENARA
1.
Malam ditaburi bintang-bintang
Jalan kauman ramai
Gang-gang kecil menuju satu
tempat selama ini
Iman diteguhkan dalam tradisi:
Bangun dengan tajug
disunggi empat sakaguru
2.
Kau bisa tidak ke sana
Sebagaimana biasa
Tapi dua temanmu
Mengajakmu mengenang
Kelembutan masalalu
3.
Melewati paduraksa
Hanya ada jalan doa
Selebihnya ketakutan
pejabat dan pembohong
4.
Kau pilih salah satu
Asta sanghika marga
Dan menyentuh air wudhu
5.
Kau baca ayat suci
Di keramaian ini
Orang tak lekas pergi
Biodata Penyair:
Bagus Dwi Hananto, tinggal di Kudus. Buku puisinya yang telah terbit Monolog Angin (2014). Antologi bersama yang memuat karyanya antara lain Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), dan Bermula dari Al Quds (Keluarga Penulis Kudus). Bergiat di komunitas Suka Seni Gambar Putar Wong Kar-wai.