MENGHABISKAN PUNTUNG ROKOK
Ia memunguti bekas puntung rokok
yang terselip di antara rumput
dan mulut tamu yang datang dan pergi.
- Iklan -
“Jangan sebatang,” katanya
sambil membenamkan tangis atau marah
di balik senyumnya.
“cukup sisa Anda,”katanya
Sementara rumput dan jemari tamu
yang hampir tersulut api puntung itu
bersyukur ada yang menampung
sebab hitung-hitung sedekah
sekalipun dari puntung.
Lalu ia selipkan di antara bibir
yang komat-kamit bukan dzikir
bukan umpat
dan bukan kata-kata yang membentuk kalimat berarti.
Tetapi wajahnya melampirkan perenungan yang maha tinggi.
“Aku akan habiskan puntung ini
sebelum habis,” katanya
menyanggah perasaanku
yang sedari tadi mengamati
suara yang keluar dari mulutnya
bersama asap
Ia menghabiskan puntung rokok
bersama api yang menjadikan puntung itu abu
dengan perumpamaan cinta sederhana Sapardi
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
“Puntung” kepada api
Yang menjadikannya abu.
Dan ia tersenyum telah menghabisi kemubadziran
mungkin dengan cinta yang sederhana.
Demak, 21 Agustus 2019
***
SKIZOFRENIA
Setiap hari ada saja yang berganti peranmenjadi dan dijadi,
silih berganti sampai tidak diketahui mana yang asli.
(1)
Seorang pemuda duduk bersila di sudut musola
berperan menjadi masa lalu
ia tak tahu harus mengarahkan langkah ke mana
sementara matanya menutup diri dari kenyataan
bersurup di dalam kamar imaji yang sulit dimasuki siapa pun
kecuali mata dan mulutnya yang saling berebut sendiri itu.
(2)
Seorang perempuan menertawakan tangisnya
Sebab teringat lagu yang paling indah baginya
“lagu apa yang paling indah mas?” tanyanya kepadaku
Yang mematung sebab bingung mau tertawa
Atau menangis atau diam saja.
Saya menggeleng senyum.
“Lagu yang paling indah adalah
suara yang keluar dari bayi mas,”
katanya menangisi tawanya.
Dan suaranya pecah seperti bayi yang tertawa
dan ibu yang menangis
(3)
Di balik bangsal bambu
Seorang lelaki setengah baya
Melukis kekasihnya dengan tai
Di dinding tembok.
Seperti artefak
Seperti lukisan cat akrilik
Dengan warna cokelat matang kehitaman.
Saya serta merta mengapresiasi
Dengan muntah dan bangga.
Wajah karikatur seorang perempuan
Dan coretan abstrak ditambah
Tulisan “NKRI HARGA MATI”
Di balik bangsa bambu itu
Lelaki setengah baya
Ingin merayakan kemerdekaannya
Dengan cara yang gila.
Dan saya yang bertugas kebersihan
Segera memandikan tubuh
dan lukisannya sambil misuh
seperti dia saat kambuh.
Demak, 21 Agustus 2019
SAJAK GILA TENTANG CINTA
Mencintai angin harus menjadi dingin
Mencintai api harus menjadi hangus
Mencintai gunung harus menjadi relung
Mencintai air harus menjadi keruh
Mencintai jalan harus menjadi aspal
Mencintai waktu harus menjadi lalu
Mencintai kopi harus menjadi gula
Mencintai-nya ia menjadi gila.
Demak, 22 Agustus 2019
SINEKDOK
Ia makan di tempat
Berak di tempat
Shalat di tempat
Menulis di tempat
Melukis di tempat
Tetapi ia berpikir di lain tempat
Demak, 22 Agustus 2019
KERAMAT
1
Kita terlahir dari sentuhan angin
dan hangatnya malam
Ketika langit ditempa do’a
Dan dua orang tua kita sedang tengadah
Memintal gemintang agar menjadi kita.
Itu adalah malam keramat.
Ketika cinta pertama kali ingin dibagi
Dengan bagian yang lebih
Antar lainnya.
Ketika malaikat merebut alih setan
Dalam peristiwa cinta yang melilit ikatan.
Laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim.
Tuhan menciptakan kita sebaik-baik bentuk.
sebaik-baik makhluk.
Dan kita sedang dirancang dalam sebuah rahim
Oleh para malaikat yang tidak berhenti bertasbih.
Sementara di luar, doa-doa silih menyala
Kalimat thoyyibahdan ayat-ayat suci dibaca
Oleh mereka yang ikut meniupkan ruh
Di otak kita yang masih sebiji kurma.
Menggema ruang-ruang langit,
Berbinar bintang-bintang malam.
Itu adalah malam keramat.
Ketika cinta dibagi dan digetuk tularkan,
menelurkan keikhlasan
Dan membuahkan berkat dan berkah
Yang dibawa pulang tamu undangan.
Kita menangis, melesat dari rahim
Jatuh ke pangkuan ibu,
Ke pangkuan malaikat yang menjaga kita
dari rengkuhan kebencian.
Itu adalah waktu keramat.
Ketika ibu, mengecup kening ketika
Dengan bibir yang dipenuhi air mata dan do’a
“Rabbi habli minas shalihin”
Dan ayah menjaga kefitrahan agama kita
Dengan mengumandangkan adzan di telinga.
Mengenalkan Allah Tuhan kita
Dan Muhammad kekasih kita.
2
Di sebuah surau, kita diantar oleh ayah
Menyerahkan kepala kita agar diisi memori
Yang mengandung nilai pengetahuan
dan kesadaran mengenali diri.
Kita diserahkan kepada seorang guru
Yang dengan ikhlas menghapus kebodohan kita
Guru yang keringatnya menyerap dalam peci
Yang keringatnya dikalkulasi oleh Tuhan sendiri.
Dan ini adalah alur keramat.
Guru adalah malaikat yang menjaga kepala kita
Agar tidak salah menemukan wajah.
Di tangannya ada lentera yang menunjukkan
Kegelapan yang perlu dihabisi.
“Siapa yang menginginkan dunia,
Harus berilmu.
Siapa yang menginginkan akhirat,
Harus berilmu.”
Sekarang, kita telah hidup lebih lanjut
Orang tua melahirkan kita jadi manusia
Guru mengantarkan kita jadi manusia.
Meski terkadang kita justru senang jadi binatang.
Keramat.
Kita tumbuh bahagia bukan karena cerdas
Atau kerja keras semata.
Bisa jadi karena do’a orang tua di tengah malam
Dan keikhlasan guru di setiap wiridnya.
Mari tetap menjadi manusia yang manusia.
Demak, 2 November 2018
**
Tentang penulis:
-Muhammad Faizun, seorang Pekerja Sosial di bidang Rehabilitasi Narkoba dan Gangguan Jiwa di Rehabilitasi “Maunatul Mubarok”, Sayung Demak. Pernah menulis puisi di berbagai media dan antologi bersama dengan nama pena Faizy Mahmoed Haly. Dan kumpulan puisi tunggalnya bertajuk,“Catatan Hujan Tengah Malam” (2013).