Oleh: S. Prasetyo Utomo
“AKU sudah menaklukkan danyang 1) hutan Gandapati,” kata Kiai Muhidin, di surau Kiai Muhaya, lepas isya. Kiai Muhidin diundang Kiai Muhaya dalam kenduri pendirian surau.
Kulihat wajah Kiai Muhidin penuh percaya diri. Tiap kali bicara, ia mengangkat muka, dan sepasang matanya menaklukkan Kiai Muhaya, yang selalu menunduk.
“Apa danyang itu berupa jin?” tanya Kiai Muhaya, lalu mencecap kopi dalam gelas.
- Iklan -
“Mata batinku melihat makhluk itu sebagai seorang gadis bermahkota dan berbadan ular. Dia menetap di pohon joho 2) berumur ratusan tahun.”
Orang-orang yang menyantap tumpeng dan ayam ingkung 3) berhenti mengunyah nasi. Mengangkat muka. Memandangi Kiai Muhidin. Baru kali ini seseorang bersaksi menaklukkan danyang penunggu pohon joho tua di hutan Gandapati.
“Dia tak kan berani gentayangan mengganggu penduduk desa,” kata Kiai Muhidin, penuh keyakinan. “Kalian jangan takut. Aku akan menjaga keselamatan desa kita.”
Santri-santri kecil terpana memandangi Kiai Muhidin. Mata mereka menatap Kiai Muhidin dengan takjub. Guru ngaji kami, Kiai Muhaya, menunduk, mendengar semua kisah penaklukan Kiai Muhidin terhadap danyang hutan Gandapati. Tak sekalipun Kiai Muhaya membantah. Hingga Kiai Muhidin berpamitan, Kiai Muhaya terus menunduk, mengiringi langkahnya meninggalkan surau. Teman-temanku mengaji di surau tak berhenti mengagumi Kiai Muhidin, sambil menghabiskan nasi tumpeng dan potongan ayam ingkung yang gurih rempah-rempah.
***
SORE ITU kami usai mengaji di surau Kiai Muhaya. Anak-anak sebayaku mengisahkan kehebatan Kiai Muhidin menyembuhkan seseorang yang kerasukan roh usai menyabit di sekitar pohon joho hutan Gandapati. Teman kami yang paling pandai bercerita, Anas, berkisah tentang kesaktian Kiai Muhidin. Di belakang surau, merapat batang pohon nangka yang rekah harum buahnya, kami berdesakan, ingin mendengar kisah Anas.
“Lik Minto menyabit rumput ke hutan Gandapati, Ia tak percaya bila pohon joho ditempati danyang, gadis bermahkota dengan tubuh ular. Saat menyabit, tubuhnya mengejang, sepasang matanya terbelalak. Beruntung ia ditemukan pencari rumput lain, dan dibawa ke pesantren Kiai Muhidin.”
“Apa Kiai menyembuhkan Lik Minto?” tanyaku, dengan rasa ingin tahu. Teman-teman lain kian mendesak Anas. Senja itu jadi terasa gelisah serupa kepak sayap kelelawar yang beterbangan di antara ranting-ranting pohon kersen.
“Pada mulanya Lik Minto memaki-maki Kiai Muhidin.”
“Lalu, apa yang dilakukan Kiai Muhidin?” tanya seorang teman.
“Kiai Muhidin bersedekap, merapal doa, dan meniup ubun-ubun Lik Minto.”
“Lik Minto sembuh dari kesurupan?”
“Tentu saja Lik Minto tergeletak di lantai rumah Kiai Muhidin. Ia siuman dalam keadaan tubuh lemas. Kiai Muhidin memintanya minum air yang sudah dirapal doa. Tubuhnya kembali segar seperti sediakala.”
Tiap anak yang mendengar kisah Anas terkesima.
***
DI gubuk tengah ladang pada malam hari, Anas menyalakan kayu dan ranting kering untuk menjerang air, menyeduh kopi. Beberapa tongkol jagung muda dipanggang di atas arang yang membara. Ia menggerogoti jagung bakar dan menyesap kopi hangat. Kami bertetangga, dibatasi ladang jagung Kakek. Malam ini kami berdua bertemu di gubuk untuk memperbincangkan peristiwa di surau tempat kami mengaji. Percakapan kami pelan di antara gemeretak kayu kering terbakar.
“Kita mesti meminta Kiai Muhidin mengajarkan ilmu menaklukkan danyang,” kata Anas, penuh keyakinan.
”Kau berani mengajukan permintaan itu?”
“Tentu saja. Aku ingin memiliki ilmu itu. Biar tidak takut menggembala kambing di bawah pohon joho.”
Menjelang larut malam, aku melepas Anas meninggalkan gubuk di tengah ladang jagung, ketika api sudah padam menjadi abu. Ia pergi dengan perangai yang penuh keyakinan. Ia kembali lagi ke gubuk pada malam hari berikutnya dengan wajah murung.
“Kiai Muhidin menolak mengajarkan ilmu menaklukkan danyang!” kata Anas. “Beliau menghindar ketika aku minta diturunkan ilmu itu. Aku masih terlalu kecil.”
Terdengar keluhan Anas, tetapi aku tak peduli dengan kekesalannya. Seperti malam kemarin, Anas menjerang air untuk kopi. Ia membakar jagung muda dan menggerogotinya dengan rakus.
“Kita tak bisa memaksa Kiai Muhidin untuk menurunkan ilmu menaklukkan danyang.”
“Tapi kini banyak orang berguru padanya,” kata Anas.
Lama aku memandangi wajah Anas. Tak ingin membantah. Tak ingin mengikuti pikiran teman sepermainanku. Kubiarkan jiwa Anas resah, diberangus keinginan memiliki ilmu penakluk danyang.
Dengan suara berat, aku sempat bertanya, “Apa kita juga akan mengaji pada Kiai Muhidin?”
“Aku akan mengaji pada Kiai Muhidin. Suatu saat beliau pasti berkenan menurunkan ilmu menaklukkan danyang. Aku tak perlu takut melintasi pohon joho.”
***
KAMBING-KAMBING di belakang pesantren Kiai Muhidin mengembik gaduh menjelang subuh. Terdengar pertengkaran antara tiga pencuri kambing dengan Kiai Muhidin. Aku bergegas bangun dari amben, berlari menerobos ladang jagung dalam gelap, menyusuri jalan setapak ke kandang kambing di pesantren Kiai Muhidin. Aku berpapasan dengan Anas. Kami berlari bersama. Melihat Kiai Muhidin berdiri gagah, berhadapan dengan tiga orang muda kekar berkacak pinggang, bermata garang.
“Kalau kalian akan mencuri kambing-kambingku, hadapi dulu aku!” kata Kiai Muhidin. “Kalian tak akan pernah bisa mengalahkanku.”
“Jangan sombong! Kami bertiga akan menghajarmu!” tantang salah seorang di antara tiga lelaki kekar. Kiai Muhidin berhadapan dengan tiga lelaki kekar yang menerjang bersamaan. Kiai Muhidin terpental. Menggelepar. Aku dan Anas berteriak bersamaan. Tiga lelaki kekar itu terus menerjang. Dari gelap ladang jagung muncul Kiai Muhaya. Sekali terjang, ketiga lelaki kekar itu tergeletak di tanah, menggelepar, mengerang-erang. Tiga lelaki kekar itu terkapar tak jauh dari kandang kambing. Kiai Muhaya mengangkat tubuh Kiai Muhidin.
“Lepaskan kami!” pinta lelaki kekar dengan dada bertato. “Saya tidak akan mencuri kambing lagi.”
“Pergilah, sebelum para santri terbangun memukuli kalian!” kata Kiai Muhaya, tenang.
Ketiga pemuda kekar itu – begal hutan Gandapati – bergegas mencari jalan setapak meninggalkan pesantren Kiai Muhidin. Tak sekalipun mereka menoleh. Tubuh mereka lenyap dalam senyap kabut pagi yang mengambang di ladang jagung.
Aku dan Anas meninggalkan pesantren dengan menyimpan kesaksian tentang Kiai Muhidin yang terkapar diterjang ketiga pencuri kambing. Aku dan Anas membungkam sepanjang perjalanan pulang. Tak berani berkata buruk tentang Kiai Muhidin. Tak berani memberi sanjungan pada Kiai Muhaya yang selalu tampil bersahaja.
***
LEPAS isya, teman-teman mengaji meninggalkan surau kayu Kiai Muhaya. Tetapi aku dan Anas mengendap-endap mendekati surau. Ingin mendengar percakapan Kiai Muhimin dan Kiai Muhaya yang duduk berhadap-hadapan. Kami merapat ke dinding yang bercelah-celah lubang kecil. Mengintip percakapan kedua kiai itu. Betapa mataku terbelalak melihat Kiai Muhaya yang tetap menunduk di hadapan Kiai Muhidin yang berbicara dengan dagu tegak, dan sepasang mata yang penuh percaya diri.
“Peristiwa tiga pencuri kambing yang membantaiku, jangan sampai terdengar banyak orang,” pinta Kiai Muhimin.
Kiai Muhaya tetap menunduk. Tak berani manatap wajah Kiai Muhidin. “Baik, Kiai. Peristiwa itu tak akan pernah didengar siapa pun.”
“Dua orang santri kecilmu yang nonton aku dibantai tiga pencuri, buatlah lupa!”
*** Pandana Merdeka, November 2024
Catatan:
- danyang = roh halus yang melindungi suatu tempat atau wilayah.
- pohon joho = pohon langka yang dimitoskan dihuni makhluk gaib.
- ingkung = ayam utuh yang dibumbui rempah dan dihidangkan bersama jeroannya; dari kata manekung, yang
artinya berdoa.
Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.