Oleh: Tjahjono Widarmanto
/*/
Bendera merah putih, bahasa Indonesia, lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia
- Iklan -
merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan bangsa. Pada awalnya, dimulai saat Kongres Pemuda baik pada Kongres Pemuda I di tahun 1926 (tepatnya 30 April-2 Mei 1926), maupun Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928), demi mewujudkan rasa persatuan muncul kesadaran perlu adanya sebuah bahasa nasional yang dapat digunakan untuk menjembatani persatuan bagi seluruh komponen pemuda yang tersebar di berbagai kepulauan, dengan berbagai bahasa daerah, adat istiadat, suku bangsa, budaya dan religi.
Kongres Pemuda pertama di tahun 1926 dipengaruhi kesadaran yang sama di kalangan pemuda pergerakkan tentang perlunya persatuan dan kesatuan sebagai jembatan menuju ke kemerdekaan, para pemuda yang bergabung dalam berbagai perkumpulan politik, sosial, budaya dan dari berbagai wilayah Nusantara itu memimpikan sebuah identitas tanah air, bangsa dan bahasa. Dalam Kongres Pemuda I itu digagas berbagai persoalan kebangsaan, di antaranya ‘semngat kerja sama di antara organisasi-organisa pemuda untuk dasar persatuan Indonesia’, ‘kedudukan wanita Indonesia dalam masyarakat Indonesia’, ‘peranan agama dalam gerakan nasional; juga ‘masa depan bahasa-bahasa di Indonesia dan kesusastraannya’.
Kongres Pemuda I ini belum mencapai kata sepakat tentang bahasa mana yang akan dipakai sebagai bahasa persatuan. Mereka masih menimbang-nimbang peluang bahasa Jawa, bahasa Melayu, atau bahasa yang lain untuk menjadi bahasa persatuan. Belum tercapai sepakat, namun Tabrani, sang pemimpin kongres pertama itu memprovokasi,”Kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsanya bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, bukan pula bahasa Melayu, walaupun mungkin ada unsur-unsurnya”. Perdebatan persoalan bahasa ini belum menemukan titik temu dan akhirnya disepakati untuk ditunda dan dibicarakan lagi dalam Kongres Pemuda kedua.
Kemudin, dua tahun kemudian, pada 28 Oktober 1928, di selenggarakan Kongres pemuda yang kedua. Pada kongres Pemuda II ini kembali dibicarakan perihal bahasa persatuan. Dalam kongres itu Moh. Yamin berbicara panjang lebar tentang persatuan dan kesatuan dan pentingnya bahasa persatuan untuk menyatukan seluruh suku di Indonesia. Dalam kongres itu pula Yamin menyampaikan bahwa jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada maka terdapat dua bahasa yang memiliki peluang untuk menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa jawa dan bahasa Melayu. Akhirnya disepakatilah bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayulah yang dipakai sebagai bahasa persatuan melengkapi dua kesepakatan sebelumnya mengenai tumpah darah dan bangsa. Maka dirumuskanlah Sumpah Pemuda:
“Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah
Indonesia.
Kami putera puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Sejak disepakatinya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak pernah keberadaan bahasa Indonesia menghadapi konflik yang berlarut. Semenjak diakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan maka persoalan bahasa nasional dianggap sudah selesai dan final. Bahasa Indonesia memiliki potensi untuk tidak hanya berkembang, namun juga kesanggupan menjadi jembatan komunikasi di antara berbagai kelompok budaya. Bahasa Indonesia sendiri tidak merepresentasikan identitas kesukuan, tidak mengklaim identitas budaya dan suku tertentu tapi menjadi representasi bersama seluruh identitas budaya dan suku yang ada di Indonesia.
Disepakatinya bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan otomatis mengusung konsekuensi politik yaitu keberadaannya dikukuhkan sebagai bahasa negara. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara ini secara yuridis terdapat dalam pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian disempunakan dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 ahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang Negara, serta lagu kebangsaan
Melihat narasi sejarah tersebut, tampaklah bahwa keberadaan bahasa Inonesia tak bisa dipisahkan dengan keberadaan bangsa Indonesia. Momentum Sumpah Pemuda membuktikan bahwa bahasa sangat memiliki peran yang penting dalam kehidupan berbangsa. Tak hanya memiliki andil besar dalam mengkongkritkan identitas bangsa namun juga menjadi tali yang kokoh dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang plural.
/**/
Secara etimologis kata nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam
bahasa Inggris. Dalam studi semantic kata nation berasal dari kata bahasa Latin yaitu ‘natio’ yang berakar pada ‘nascor’ yang bermakna “saya lahir” atau dari kata natus sum yqng berarti “saya dilahirkan” (Wikipedia). Secara luas nasionalisme adalah suatu paham atau ideology yang menganggap bahwa kecintaan dan kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi harus diserahkan pada bangsa. Secara singkat dapat dipahami bahwa nasionalisme adalah ideologi yang mencintai bangsa dan Negara. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mendefinisikan nasionalisme adalah paham untuk mencintai bangsa dan Negara. Dari berbagai pendapat itu dapat diketahui bahwa nasionalime adalah ajaran atau ideology untuk mencintai bangsa dan Negara di atas segalanya.
Nasionalisme merupakan paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dalam satu kesatuan bangsa. Tujuan nasionalisme adalah menjamin kedaulatan bangsa dari gangguan, baik gangguan dari luar maupun dari dalam.
Nasionalisme akan melahirkan sikap patriotism. Sikap patriotism adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah air dan bangsanya. Secara sempit patriotism sering dimaknai sebagai seseorang yang memiliki jiwa dan sifat kepahlawanan.
Bahasa menunjukkan atau menandai bangsa. Bangsa Inggris ditandai dengan kepemilikan
bahasa Inggris, bangsa Jepang ditandai dengan bahasa Jepang yang dipakai bangsa Jepang. Demikian pula dengan bahasa Indonesia yang menunjukkan identitas bangsa Indonesia. Pemilihan bahasa dalam sebuah bangsa sangat dipengaruhi factor kesejarahan dan factor politik (alwasilah, 1993:91).
Bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia merupakan factor politik. Melalui ikrar Sumpah Pemuda dinyatakan sikap politik untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa. Tak hanya memiliki andil besar dalam mengkongkritkan identitas bangsa namun juga menjadi tali yang kokoh dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang plural. Melalui Sumpah Pemuda, semboyan ‘bahasa identitas bangsa’ menjadi sesuatu yang nyata. Peristiwa Sumpah Pemuda nyata-nyata menunjukkan bahwa bahasa yang semula tindak komunikasi melalui tuturan alat ucap manusia berubah menjadi penanda bangsa.
Ikrar Sumpah Pemuda yang menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan otomatis mengusung konsekuensi politik yaitu keberadaannya dikukuhkan sebagai bahasa negara. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara ini secara yuridis terdapat dalam pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian disempunakan dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 ahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang Negara, serta lagu kebangsaan.
/***/
Sejak Sumpah Pemuda diikrarkan pada Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia menjadi pengikat dan penjalin paling ampuh bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa jauh lebih dulu diikrarkan mendahului pengakuan Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mempersatukan bangsa Indonesia itu terjadi semenjak para pemuda, 94 tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928, dengan diikrarnya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II.
Sejak disepakatinya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak pernah keberadaan bahasa Indonesia menghadapi konflik yang berlarut. Semenjak diakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan maka persoalan bahasa nasional dianggap sudah selesai dan final. Tidak pernah ada penolakan-penolakan besar dari para pendukung bahasa-bahasa besar, seperti bahasa jawa dan bahasa Sunda. Tidak ada pula upaya pemaksaan untuk mengganti bahasa nasional. Bahasa Indonesia sendiri sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional tidak beroposisi terhadap bahasa-bahasa daerah. Bahasa Indonesia memiliki potensi untuk tidak hanya berkembang, namun juga kesanggupan menjadi jembatan komunikasi di antara berbagai kelompok budaya. Bahasa Indonesia sendiri tidak merepresentasikan identitas kesukuan, tidak mengklaim identitas budaya dan suku tertentu tapi menjadi representasi bersama seluruh identitas budaya dan suku yang ada di Indonesia.
Sebagai bahasa persatuan, maka bahasa Indonesia otomatis menjadi bahasa nasional yang dipakai di seluruh wilayah Indonesia. Pemakaiannya secara nasional semakin memperkokoh kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam mempersatukan seluruh penduduk Indonesia.
/***/
Sastra Indonesia adalah anak kandung bahasa Indonesia. Sastra Indonesia sejak dulu sudah diyakini memiliki peran dan posisi yang strategis, bahkan vital yang tidak hanya berpaut pada pengembangan personal, tetapi juga berpilin dengan eksistensi kebangsaan. Sebagai anak kandung bahasa, maka sastra Indonesia memiliki posisi sebagai identitas bangsa. Dalam Kongres Pemuda I, M.Tabrani sang ketua Kongres Pemuda I menegaskan soal identitas bangsa itu dengan kalimat pendek, ”Kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsanya bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia!” Itu berarti otomatis sastra Indonesia pun adalah penanda bangsa.
Sastra Indonesia memiliki posisi penting sebagai penjaga dan perawat kebinekaan. Pijakan utamanya adalah bahwa keberangkatan sastra Indonesia adalah bermula dari tradisi. Salah satu bentuk dan bagian dari tradisi adalah kultur etnik. Kultur etniklah yang dibahasakan oleh Sumito A Sayuti, sebagai sangkan-paran atau terminal keberangkatan dan kembali dalam proses kreatif seorang sastrawan. Setiap bentuk kreativitas dalam teks sastra selalu merujuk pada konteks kultural tertentu yang muncul secara nyata dalam teks sastra yang diciptakan, baik yang tercermin dalam bentuk maupun kontensnya, baik dalam gagasan tematik maupun kedalaman isinya.
Kondisi kultur etnik sastrawan Indonesia memang beragam. Menempatkan kultur etnik sebagai pijakan kreatif dapat menyajikan gagasan alternatif yang bisa berperan mengukuhkan kultur etnik itu sendiri, bisa mempertanyakan kultur etnik itu sendiri, bisa memberi tafsir baru pada kultur etnik itu senidri, bahkan dapat pula menjadikan kultur etnik sebagai pijakan untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk segala dominasi.
Sastrawan Indonesia modern tidak beradala dalam situasi dan kondisi pasif. Mereka menghadirkan, menafsirkan, menciptakan tafsir baru atas berbagai hal yang diturunkan oleh kutur etniknya. Kultur etnik tidak hanya dipinjam namun diberi unsur kreativitas baru. Kultur etnik dalam teks sastra tidak hanya muncul sebagai imitasi tetapi imitasi kreatif, menciptakan ambivalensi imitatif sekaligus subversif. Sebagai contoh, misalnya kehadiran kultur etnik wayang pada sastrawan Indonesia modern dalam teks sastranya memunculkan wayang yang berbeda dalam kultur etnik sebelumnya.
Penciptaan teks sastra sesungguhnya merupakan tindakan konstruktif dalam pemebentukan tradisi tematis. Tindakan konstitutif seorang sastrawan akan mencerminkan tindakan menafsir, menggabungkan, memisahkan turunan kultur etniknya, bahkan bisa mendialogkan dengan kultur etnik yang lain. Hal ini menjadikan seorang sastrawan berada dalam situasi dialektika yang terus menerus dengan kultur etniknya. Melalui dialektika itu akan memungkinkan terbentuknya penciptaan kultur etnik kedua, ketiga dan berikutnya, tanpa menghilangkan kultur etnik pertama sebagai hipotek atau memori ingatan.
Dalam realitasnya, sastra Indonesia hidup dalam situasi kebinekaan. Kebinekaan mengaju pada hiteroginatas dan pluralitas. Kebinekaan yang mengacu pada heterogenitas merupakan keanekaan budaya yang sudah begitu saja ada secara alamiah, keanekaan budaya yang sudah terberi, sesuatu yang given. Sedangkan kebinekaan dalam konteks pluralitas mengacu pada istilah antropologi politik yang menegaskan bahwa keanekaan budaya merupakan kenyataan yang harus dijaga, diperjuangkan dan dirawat dengan selalu melihat perbedaan budaya sebagai sesuatu yang sah.
Sastra Indonesia mempunyai peran besar dalam menjaga, meneguhkan dan merawat kebinekaan. Pluralitas dalam teks sastra yang dibangun oleh pluralitas kultur etnik dapat dikenali, dihayati dan dihargai oleh pembaca. Melalui teks-teks sastra para pembaca dari klutur etnik tertuntu dapat mengenali, menghayati dan pada akhirnya menghargai perbedaan kultur etnik yang berbeda. Melalui teks-teks sastra, pembaca di Jawa dapat mengenali kultur etnik Aceh, kultur etnik papua, atau yang lain (demikian sebaliknya) yang pada gilirannya akan sampai pada penghargaan atau saling menghargai berbagai kultur etnik tersebut. Melalui teks sastra seorang pembaca bisa melakukan muhibah budaya ke berbagai pelosok Indonesia.
Sebagai anak kandung bahasa Indonesia, posisi sastra Indonesia yang tak kalah pentingnya adalah perannya dalam membangun karakter anak bangsa. Sastra memiliki tautan erat dengan pendidikan karakter karena sastra membicarakan nilai hidup dan kehidupan. Friedrich Schiller menegaskan bahwa sastra bisa menjadi penyeimbang segenap kemampuan mental manusia. Melalui sastra, seseorang diasah kreativitasnya, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya.. Sastra tak hanya berfungsi sebagai agen pendidikan namun juga memupuk kehalusan adab dan budi yang pada gilirannya akan membentuk masyarakat yang beradab.
Pembelajaran sastra sangat memungkinkan untuk dijadikan sarana menguatkan karakter siswa. Melalui pembelajaran sastra dapat dilakukan penguatan nilai-nilai luhur, penguatan karakter religiusitas, dan membentuk moral positif dalam diri siswa. Effendi (1987) mengatakan bahwa pembelajaran sastra dapat menumbuhkan kepekaan perasaan, daya pikir, memperkaya nilai moral, menguatkan religiusitas dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri anak.
Bahasa adalah identitas bangsa. Identitas bangsa Indonesia ditandai oleh penggunaan
bahasa Indonesia oleh seluruh warga Negara Indonesia. Dengan mencintai bahasa Indonesia otomatis akan menumbuhkan pula rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air Indonesia.
Ada berbagai macam upaya untuk membangun rasa cinta terhadap bahasa Indonesia yang pada gilirannya akan menuju pada rasa nasionalisme. Upaya tersebut antara lain
Menghormati kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara
Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
Mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing
Membaca dan mencintai sastra Indonesia
Menggunakan bahas Indonesia dalam forum-forum resmi
Mengkampayekan cinta bahasa Indonesia
/****/
Dari paparan tersebut di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
Peran Bahasa Indonesia dalam membangkitkan rasa nasionalisme adalah (a) sebagai bahasa nasional, (b) sebagai bahasa persatuan, dan (c) sebagai identitas bangsa
Upaya-Upaya yang dapat dilakukan untuk membangkitkan nasionalisme melalui Bahasa Indonesia, yaitu (a) Melalui Sastra Indonesia untuk merawat Kebinekaan sehingga memperkokoh identitas bangsa, (b) melalui sastra Indonesia untuk membentuk karakter sehingga memperkokoh karakter bangsa, (c) membangun rasa cinta terhadap Bahasa Indonesia untuk membangkitkan Nasionalime, dengan menghormati kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara, menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing, membaca dan mencintai sastra Indonesia, menggunakan bahas Indonesia dalam forum-forum resmi, dan mengkampayekan cinta bahasa Indonesia.
TJAHJONO WIDARMANTO
Lahir di Ngawi 18 april 1969. Menulis esai, puisi, cerpen, dan artikel di berbagai media.
Buku puisinya antara lain Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018), Suluk Pangracutan dari Kampung Para Arwah (2023), dll