Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Tiga kata yang dikandung oleh tema ini, masing mempunyai pengertian dan saling berkaitan, khususnya dalam konteks kehidupan manusia dan kehidupan muslim. Kita dianugerahi Tuhan potensi (kita manusia).
Secara garis besar kita bisa berkata bahwa ada fisik. Artinya, perhitungkan kekuatan fisik Anda jika mau menghadapi orang lain yang lebih kuat dari Anda. Kenali dia. Misalnya kelemahannya apa, dan lainnya. Dengan hal ini, baru kita bisa menang.
Kita dianugerahi akal dan hati disamping fisik. Karena itu, maka pergunakanlah ketiga-tiganya. Letakkan sedikit akal pada perasaan Anda biar lurus. Jangan emosional. Dan, letakkan juga sedikit hati dan perasaan di akal Anda supaya tidak arogan. Intinya, jika mau berani, maka gunakanlah akal.
- Iklan -
Karena akal itulah yang bisa menghasilkan ilmu yang bermacam-macam. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Misalnya, dalam kondisi tertentu, apa yang Anda harus lakukan untuk menghadapi bahaya.
Di sinilah akal lebih banyak berperan. Bahwa, pertama, akal ada bidang garapannya, ada bidang operasinya. Jangan membawa mata untuk mendengar (karena ada bidangnya). Jangan membawa akal untuk mengukur moral karena dia hanya mendukung.
Itu sebabnya, orang berkata “kita punya hati dan akal”. Dan, ada dua hal yang akal tidak bisa lakukan, akan tetapi hati bisa melakukannya, yaitu iman dan cinta. Akal tidak berperanan dalam cinta. Sekalipun berperanan, maka ibu lebih memilih anak yatim yang gagah daripada anak kandungnya yang buruk. Di sinilah hati yang berperan.
Kedua, akal bisa letih dan salah karena terus digunakan. Dalam hal ini, kita perlu pendukung terhadap akal (akal dan hati bisa salah). Kita tahu, dulu Plato pernah berusaha untuk menghindarkan kesalahan. Sehingga ia menciptakan logika Aristoteles, namun pada akhirnya ia tetap salah. Sebab, ia terkadang menggunakannya bukan dalam bidang garapannya. Jelasnya, maka gunakanlah apapun itu pada bidangnya.
Ada hukum-hukum alam, dan itu akal yang menemukan. Akan tetapi, ingat bahwa hukum-hukum alam itu tidak lain dari ikhtisar pukul rata statistik, hukum-hukum alam itu kesepakatan para pakar pada masanya dan bisa berubah.
Dalam hal ini, kita perlu menggunakan hati, karena hatilah yang melahirkan iman. Dengan demikian, sebagaimana kita mewanti-wanti tentang akal, kita juga perlu mewanti-wanti terhadap hati. Contoh, pesawat Ulang Alik Apollo diciptakan oleh orang yang akanya luar biasa, tetapi gagal karena akal belum tentu sempurna.
Begitu juga kapal Titanic yang tenggelam, yang membuat awak kapal berkata tidak akan tenggelam. Sebab, Tuhan tidak akan bisa menenggelamkannya. Mereka sombong dan angkuh. Hatinya tidak rendah. Hingga pada akhirnya kapal tenggelam. Maka dengan itu, gunakanlah hati, karena hati yang melahirkan iman.
Lalu apakah iman itu?
Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa iman adalah pembenaran hati, bukan pembenaran akal. Kedua, jika masih dalam tahap iman, pasti ada yang namanya keraguan. Itu sebabnya Nabi Ibrahim memohon kepada Allah Swt. “Wahai Tuhan tunjukkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati?.” Lalu Tuhan bertanya, “Apakah kamu belum beriman?” Kata Nabi Ibrahim “Sudah Ya Allah tetapi masih ada pertanyaan di dalam hati saya.”
Maka apa yang dilakukan Tuhan, “Kami tunjukkan kepadanya bukti-bukti yang sangat jelas sehingga imannya meningkat menjadi yakin.” Jadi, yakin itu lebih tinggi dari iman. Iman itu pasti ada tanda tanyanya. Karena itu, orang berkata bisa benar dan salah. Sama dengan ungkapan “cinta sebelum menikah itu masih ada tanda tanya. Benar apa tidak dia cinta?”
Demikian juga setelah kawin sebelum dapat anak, masih ada tanda tanya. Namun, setelah mendapat anak oh ini sudah. Ya begitulah iman. Ia selalu timbul tanda tanya. Bahwa pertanyaan itu bisa mengantarkan pada keyakinan, dengan catatan Anda mengasahnya. Di situlah peranan apa yang dinamakan “the power of believe”.
Sederhananya, jika Anda percaya, cobalah kaitkan dengan keberanian, kaitkan langkah Anda berdasarkan ilmu dengan hati Anda yang dihiasi oleh iman, walaupun iman itu belum mencapai puncaknya.
Lalu apa puncak dari keimanan itu?
Puncak keimanan adalah kepada Allah Swt. Anda bisa percaya kepada si A, bisa percaya kepada si B, bisa percaya kepada takhayyul, dan percaya pada ini dan itu. Akan teapi, puncak dari objek iman adalah Allah Swt. Karena itu, pesan setiap Anda mau melangkah, maka lakukanlah perhitungan tentang kehadiran Allah Swt.
Jika Anda tidak melakukan perhitungan tentang kehadiran Allah Swt., maka Anda berarti tidak pandai berhitung. Jadi kalau tadi keberanian masih ada ragu, masih ada tanya, begitu Anda kaitkan hati Anda dengan Tuhan dan bersangka baik kepadanya, Anda akan melangkah sambil berkata “apapun hasilnya Tuhan Maha Baik dan itulah yang dipilihkan buat saya.” Inilah keberania yang berlandaskan iman (iman kepada Allah Swt.).
Sebaliknya, kalau Anda tidak memiliki kepercayaan, maka Anda tidak bisa maju. Namun jika ada iman kepada Allah Swt., maka ketika itu Anda akan merasa berani. Tak heran jika kemudia Buya Hamka dalam tulisannya berkata “Kalau Anda bersama Allah Swt., maka Anda akan merasa ramai walau sendirian, Anda merasa kaya walau hampa tangan, Anda merasa berani walau tanpa kawan.” Begitulah iman yang sesungguhnya.
Masih tentang iman. Terserah mau percaya apa tidak. Tetapi, puncak kepercayaan itu adalah percaya kepada Allah Swt. yang Maha Baik, Maha Kuat, Maha Memberi Petunjuk, Maha Memberi Dukungan. Sehingga kalaupun Anda gagal, Anda akan tetap berkata “Inilah yang terbaik pilihan Allah Swt.” Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.