Oleh Abdul Wachid B.S.
Keragaman Indonesia dan Potensi Pesantren
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman. Fenomena keberagaman ini dapat dilihat dari berbagai aspek, termasuk suku, agama, budaya, bahasa, dan tradisi. Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku dan etnis yang berbeda, masing-masing dengan kebudayaan, bahasa, dan tradisi unik. Suku-suku besar di Indonesia antara lain Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Dayak, dan Papua. Keberagaman etnis dan suku ini mencerminkan ragam budaya dan adat istiadat yang berbeda dari seluruh penjuru Nusantara. Indonesia juga memiliki lebih dari 700 bahasa daerah di antaranya bahasa Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, dan banyak lainnya. Keberagaman bahasa ini juga mencerminkan keragaman budaya dan identitas bangsa di berbagai wilayah di nusantara.
- Iklan -
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, namun juga memiliki beragam agama lainnya seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sementara itu, dalam hal kepercayaan lokal, di Indonesia juga mengenal adanya Agama Jawa (Kejawen), Sei Baba (Jawa Barat), Parmalim (Tobasa), Ugamo Bangsa Batak (Tapanuli Utara), Pargebu (Hindu Karo), Marapu (Sumba), dan sebagainya. Di samping itu, dalam khazanah Islam di Nusantara juga terdapat sistem kepercayaan Islam Ma’rifat (Haruku), Islam Tua (Sangir Talaut), Islam Wetu Telu (Lombok), dan sebagainya. Fenomena ini menunjukan dan membuktikan bahwa kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi Indonesia sehingga warga Indonesia memiliki kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2020) jumlah populasi umat Islam di Indonesia diperkirakan sekitar 229 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi penduduk Indonesia. Sementara itu, berdasarkan riset The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC, 2022), populasi muslim di Indonesia diperkirakan sebanyak 237,56 juta jiwa. Artinya, Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia pada 2022. Jumlah penduduk muslim tersebut setara dengan 86,7% populasi di dalam negeri. Jika dibandingkan secara global, jumlah ini setara dengan 12,30% dari populasi muslim dunia yang -kurang lebih- sebanyak 1,93 miliar jiwa.
Fenomena keberagaman di Indonesia memberikan landasan bagi semangat Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Meskipun terdapat perbedaan dalam budaya, agama, dan suku, masyarakat Indonesia secara umum menganut semangat toleransi, saling menghormati, dan kerukunan antarumat beragama. Keberagaman ini menjadi salah satu kekayaan bangsa Indonesia dan menjadi landasan untuk membangun kesatuan dan harmoni dalam masyarakat. Keberagaman ini merupakan kekayaan bangsa, tetapi juga menuntut upaya untuk mempertahankan harmoni dan mengatasi potensi konflik agama.
Besarnya jumlah populasi umat Islam di Indonesia tidak lepas dari keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik yang dikelola secara tradisional maupun modern. Salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi sangat besar adalah pondok pesantren atau pesantren.
Pesantren memiliki peranan yang cukup menarik dalam kontribusi pengembangan nilai-nilai Islam di Nusantara karena telah memberikan pemahaman moderasi agama melalui akomodasi dengan budaya lokal (Azra, 2005). Pondok pesantren pada mulanya dikonsepkan sebagai pendidikan Islam yang dikelola secara tradisional oleh kalangan umat Islam untuk mengajarkan cara-cara beribadah dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Pondok pesantren biasanya didirikan oleh seorang Kiai, sebagai tempat untuk belajar cara beribadah dengan tinggal di tempat tersebut (Zuhairi, 1992: 22). Dengan demikian, santri bisa fokus belajar di tempat tersebut dengan menetap selama menjalani pendidikan di pesantren.
Pada saat awal didirikan, kebearadaan pesantren hanya untuk kalangan masyarakat pedesaan yang belum memiliki akses fasilitas pendidikan formal di perkotaan. Pesantren menjadi simbol penghubung antara desa dengan kota. Pesantren juga menjadi simbol keragaman, sesuai dengan latar belakang para santri. Keragaman santri memberikan warna bahwa masyarakat yang berbeda-beda dapat berkumpul untuk belajar ilmu agama di pesantren (Billah, 2005).
Meski pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang menerapkan pendidikan tradisional, namun sejak masa awal berdirinya, pesantren telah menjadi pusat penempaan para pemikir yang moderat. Meski terkesan eksklusif, namun pesantren justru selalu menampilkan wajah yang toleran dan damai. Di wilayah perdesaan banyak pesantren yang berhasil mengadaptasi dan berdialog dengan budaya masyarakat setempat sehingga bertahan, tumbuh dan terus berkembang hingga saat ini.
Pesantren tidak hanya berdiri, tumbuh, dan berkembang di wilayah perdesaan. Pesantren kini lazim didirikan, tumbuh, dan berkembang di wilayah perkotaan. Sebaran jumlah pesantren semakin banyak dengan berbagai ragam model dan sistem pendidikan. Pesatnya pertumbuhan pesantren merupakan indikasi bahwa sistem pendidikan pesantren telah berterima di masyarakat. Pesantren telah memberikan banyak kontribusi bagi bangsa dan negera dalam rangka pembangunan sumber daya manusia. Pesantren tidak hanya menjadi tempat pendidikan dan pengembangan ilmu agama Islam, kini pesantren bersinergi menjadi lembaga pendidikan yang mengembangkan ilmu pengetahuan umum sesuai tingkat atau jenjang.
Pondok pesantren memiliki peranan sebagai agen perubahan dengan membentuk karakter santri, yang berdampak pada masyarakat sekitarnya. Pesantren memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: sebagai pusat kader pemikir agama; sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia; dan sebagai institusi yang memiliki kekuatan untuk memperkuat masyarakat (Halim, 2005). Fungsi pokok terebut kini semakin mudah diwujudkan melalui kemitraan pesantren dengan lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi.
Ektrimisme Beragama dan Jalan Tengah Pendidikan Pesantren
Islam hadir sebagai jalan tengah (tawassut) dengan berbagai konsep yang meneduhkan dalam bidang akidah, ibadah, akhlak, hubungan antar-sesama manusia, dan perundang-undangan. Meski begitu, ektrimisme beragama menjadi fenomena yang tak terelakan. Ekstrimesme lahir dari segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya cara memahami Islam. Cara pandang seseorang menciptkan problematika kehidupan, yang lebih khusus lagi pemahaman dalam ajaran Islam (Ali Nurdin, 2019).
Sayangnya, seseorang yang berpaham ekstrim acapkali dipandang simetris dengan ritual keagamaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi ini berpengaruh negatif terhadap kehidupan beragama. Jika seseorang tersebut menganut agama Islam, maka sikap ekstrim tersebut, tidak jarang menjadi steriotipe bagi umat Islam secara keseluruhan. Tentu saja, hal ini menjadi problem mendasar yang harus diselesaikan. Ekstrimisme keagamaan dalam bahasa Arab disebut ‘tatarruf din’. Ekstremitas memiliki makna yakni berdiri di tepi dan jauh dari tengah. Seorang muslim yang berpaham ektrem, memiliki pandangan yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan masyarakat, berdampak terhadap pesatnya peredaran paham-paham radikal dan liberal dalam kehidupan beragama. Demi mengkounter kedua paham tersebut, diperlukan langkah-langkah yang tepat agar umat Islam tak terperosok dalam kehancuran lantaran ekstremisme. Adapun langkah yang diperlukan di antaranya: Pertama, penanaman dan penguatan nilai ajaran Islam sebagai dasar filosofi kehidupan dalam bermasyarakat dan membentuk tradisi keilmuan Islam yang kuat; Kedua, menjauhkan pemikiran yang bersifat dikotomis; Ketiga, penguatan dalam pendekatan wasatiyah. Ketiga langkah tersebut sesungguhnya telah dijalankan dengan baik dalam lembaga pendidikan Islam bernama pondok pesantren (Pujiati, 2018).
Pondok pesantren sangat kental dengan dimensi moderasi beragama yang dibingkai dengan tradisi keserba-ibadahan, kemandirian, kesederhanaan yang bersumber dari penafsiran Al-Qur’an, hadits, dan hasil intrepretasi para ulama dahulu. Pesantren merupakan basis penanaman paham moderat membentuk umat yang penengah (ummatan wasatan). Ciri khas paham keagamaan yang dikembangkan oleh pesantren yakni ahlussunah wal jama’ah yang moderat, menampilkan corak Islam yang santun, damai, serta tak memaksa. Pesantren sebagai lembaga pendidikan telah berakar kuat (indegenous) bagi masyarakat muslim Indonesia, dalam perjalanannya mampu menjaga dan mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system) serta memiliki model pendidikan multi aspek. Santri tak hanya memperoleh ilmu agama, melainkan mendapat tempaan kepemimpinan yang alami, kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap positif lainnya (Usman, 2013). Jika disandingkan dengan lembaga lain, pesantren merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia. Keberadaan pesantren di Nusantara sejalan dengan adanya masyarakat Islam Nusantara.
Secara umum, keberadaan pesantren di Indonesia memiliki beragam corak pandangan dan sistem pendidikan yang dianut. Pesantren berdasarkan sistem pendidikan yang digunakan terbagi menjadi tiga kelompok dengan ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, santri tinggal bersama kiai, kurikulum berdasarkan keputusan kiai, dan pengajaran dilakukan secara individual. Kedua, santri bertempat tinggal di asrama, proses pendidikan dilakukan di madrasah berdasarkan kurikulum tertentu dengan pembelajaran agama dan ilmu pengetahuan umum. Ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah atau madrasah bahkan perguruan tinggi di sekitar pesantren, kiai berperan sebagai pengawas dan pembina mental (Al Hana, 2012).
Pesantren sebagai lembaga non-formal memiliki sistem pendidikan yang berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan formal pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan dalam pesantren tradisional didasarkan pada sistem gradasi dan kurikulum longgar yang tidak dilakukan berdasarkan waktu. Hal ini terlihat dari pemilihan mata pelajaran, buku acuan, pembagian waktu pelajaran, dan lainnya. Sistem gradasi dimaksudkan sebagai sistem pembelajaran dari satu kitab dengan tingkatan tertentu, ke tingkat selanjutnya dengan kesulitan yang lebih tinggi.
Berdasarkan kurikulum yang digunakan, jenis pesantren dapat dibagi sebaga berikut: pesantren modern, pesantren ilmu hadits, ilmu Al Qur’an, tarekat, dan pesantren campuran. Beberapa pesantren juga dikategorikan berdasarkan jurusan bidang ilmu agama yang diajarkan (Al Hana, 2012).
Pendekatan pendidikan yang banyak dilakukan di pesantren adalah menggunakan konsep pengajaran secara langsung, yaitu kiai aktif memberikan pengajaran kepada santri. Pesantren juga berfokus pada konsep indoktrinasi dalam melakukan internalisasi berbagai materi yang diajarkan pada diri santri. Selain itu, pesantren juga memiliki konsep pengawasan yang ketat dalam menjaga disiplin dan penerapan norma-norma dalam tradisi kepesantrenan (Rizal, 2011). Pola pendidikan yang bersentral pada seorang guru (kiai) menjadi ciri khas dari pondok pesantren. Kiai adalah tempat bertanya bagi masyarakat bukan santri, untuk meminta nasihat sejak dari memberi nama anak yang baru lahir sampai pada pembagian waris serta berbagai masalah sosial lainnya (Saihu, 2018).
Pondok pesantren mempunyai beberapa tujuan di antaranya: (a) mendidik santri supaya menjadi kader ulama yang berhati ikhlas, tabah, tangguh dan mempunyai jiwa wiraswasta, di dalam mengamalkan sejarah Islam secara menyeluruh; (b) mendidik santri sebagai orang yang bertaqwa, berakhlak mulia, sehat lahir batin dan berwawasan luas sebagai warga negara yang berpancasila; (c) menjadikan santri sebagai salah satu solusi dalam mencapai kesejahteraan sosial untuk pembangunan masyarakat; dan (d) menjadikan santri sebagai orang yang siap di dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam membangun mental spiritual (Mujamil, 2002).
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang subur untuk pengembangan budaya dan peradaban muslim. Peradaban tauhid bersandar pada ketentuan-ketentuan ajaran agama untuk hal-hal primer. Dalam konteks kerukunan, santri dan pesantren lebih akomodatif terhadap budaya lokal. Mereka tidak tenggelam dalam budaya abangan dan berakibat pengayaan budaya. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, strukturasi politik dan masalah kebudayaan. Persoalan kebudayaan adalah akhlaq al-karimah (Audah, 1999).
Melalui Sastra
Moderasi beragama adalah konsep yang mendasar dalam menjaga harmoni dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Di tengah masyarakat yang multikultural dan multireligius, penting bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam untuk memainkan peran dalam mempromosikan moderasi beragama. Salah satu cara yang digunakan adalah melalui pengajaran sastra Indonesia di pesantren. Melalui sastra, pesantren dapat membantu santri mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang agama dan budaya, serta mempromosikan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan penghormatan terhadap perbedaan agama.***
-Penulis adalah seorang penyair, dan Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.