Oleh Kak Ian
Ada sebuah artikel majalah kesehatan mengatakan. “Bila mengetahui rumah itu sehat atau tidak, lihatlah toiletnya”. Begitu yang saya ketahui—dan tidak sengaja membacanya kala itu di saat sedang senggang. Hingga saya pun menyimpulkan jikalau begitu porosnya penghuni rumah itu dikatakan resik dan selalu menjaga kesehatan tidak lain semua bermula dari kamar kecilnya (toilet). Bukan begitu?
Hal itu pun terbersit di pikiran saya dan bertanya-tanya. Bilamana jika itu adalah sebuah sekolah. Bagaimana dan dari mana bisa diketahui atau dikatakan maju atau tidaknya?
Saya pun jadi teringat apa yang dikatakan oleh Nelson Mandela mantan Presiden Afrika Selatan dalam pidatonya. “Education is the most powerful weapon wich you can use to change the world”. Bila diterjemahkan secara bebas kurang lebihnya seperti ini, “Pendidikan itu merupakan senjata paling kuat yang dapat digunakan untuk mengubah dunia.”
- Iklan -
Harus Melek dan Sadar Literasi.
Pernah suatu hari saya berdiskusi langsung dengan sesama penulis sekaligus juga berprofesi sebagai pendidik pula di sebuah daerah. Di mana tempat ia mengajar sangatlah minim sekali perpustakaan bahkan layak dikatakan tidak ada. Diperparahnya lagi para pendidiknya pun serta merta belum semua ‘melek literasi’ dan belum ‘sadar literasi’ pula. Itu terlihat ketika menurutnya dalam hal membaca dan menulis. Ada pula seorang pendidik yang tidak tahu bagaimana menulis yang baik dan benar. Padahal pendidik lho itu?
Begitu kata teman diskusi saya sebagai penulis dan juga seorang pendidik pula. Mengatakan apa yang dilihat dan dialaminya saat itu,
Salah satu hal sepele saya ambil sebagai contohnya adalah soal kepenulisan. Walaupun hal ini adalah ‘awal’ ketika memasuki dunia literasi atau dunia kepenulisan. Di mana sebelum mengetahui dasar-dasar kepenulisan lebih lanjut atau lebih menyeluruh. Pada dasarnya bagi seorang yang ingin ‘menceplungkan diri’ atau ingin ‘terjun’ ke dunia literasi atau dunia kepenulisan umumnya harus mengetahui dasar-dasarnya dahulu.
Dalam hal ini yang sudah saya katakan bagaimana cara menulis yang baik dan benar. Tidak lain adalah penggunaan kata “di” yang benar. Kapan harus digabung dan kapan harus dipisah. Kemudian mana kata “di” untuk yang menunjukkan kata tempat, kata sifat dan kata kerja. Sebagai seorang yang ingin ‘menceplungkan’ diri atau ingin ‘terjun’ ke dunia literasi atau dunia kepenulisan setidaknya haruslah mengetahui dan memahami hal dasar kepenulisan tersebut. Apalagi bagi seorang guru haruslah wajib bisa mengetahui dan memahaminya.
Bila hal itu tidak dikuasai terang saja literasi sekolah itu sangatlah minim bahkan tidak ada. Jadi jika peserta didiknya kurang minat baca dan menulis serta literasi sangatlah minim. Ya, janganlah menyalahkan peserta didiknya tapi seluruh kompenen sekolah itu berada—yang sudah seharusnya literasi di sekolah harus dibumikan atau diperkenalkan kepada para seluruh peserta didik. Lagi-lagi terlebih para pendidiknya wajib sekali harus memahami dan mengetahui apa itu literasi, barulah bisa teratasi masalah minimnya literasi di sekolah.
Minat Literasi Paling Rendah.
Bila hal itu seperti yang saya katakan di atas. Jika begitu tidak salah bila hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah. Itu diketahui dari hasil tahun 2019 minat baca masyarakat Indonesia menempati rangking ke 62 dari 70 negara, atau berada 10 negara terbawah.
Sedangkan menurut UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca. Hasil riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State Univesity medio Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Miris sekali.
Maka dari itu adanya metode, fasilitas atau pilihan bacaan yang variatif dan suasana yang mendukung juga berkontribusi untuk menumbuhkan semangat budaya membaca khususnya bagi anak-anak atau pelajar. Tujuannya adalah sebagai bahan perbandingan saja.
Siapa tahu saja setelah membacanya, kita mendapatkan informasi baru, bisa belajar dari negara lain dan mengambil sikap positifnya tentang membaca buku lebih tepat berliterasi. Memang meski fakta minat baca di Indonesia sangat rendah tapi itu tidak harus mengendorkan untuk menggalakkan literasi di sekolah-sekolah untuk mengubah keadaan lebih baik lagi.
Silbiger mengkaji hal itu dalam bukunya The Jewish Phenomenon : 7 Keys to Enduring Wealth of a People. Silbigier memandang keberhasilan itu karena kombinasi faktor-faktor yang terkait dengan agama dan budaya Yahudi serta pengalaman historis kolektif bangsa.
Dan salah satu kunci; “keberhasilan orang Yahudi adalah karena pendidikannya”. Karena orang Yahudi sangat peduli pendidikan dibanding dengan kulit putih. Rata-rata orang Yahudi lebih tinggi pendidikannya.
Tugas Pendidik pada Sekolah.
Maka dari itulah ini tugas seorang pendidik lebih tepatnya pihak sekolah agar para peserta didik bisa melakukan menggerakan literasi di sekolah seperti negara-negara maju dalam dunia literasinya. Jika pendidikan itu penting maka literasi pun akan cemerlang demi untuk kelangsungan majunya negara. Jadi bawalah para peserta didik ke arah lebih baik yakni dengan mengembangkan diri di berbagai bidang yang mereka minati dan disukai salah di dunia literasi.
Dan konsep dasar literasi kritis juga perlu digunakan dengan cara membaca sebuah teks untuk mencari relevansinya dalam membaca konteks sosial. Relevansi ini bisa digunakan secara langsung maupun tidak langsung untuk membangun kesadaran kritis, menguatkan daya imajinasi dan dalam hal kepekaan rasa, estetika dan etika pada para anak didik.
Memang membahas tentang pendidikan atau mendidik tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, selain sebagai ahli kedokteran kelas dunia, pandai di bidang sains, ahli falsafah, ahli berpolitik dan ahli dalam kemasyarakatan dunia mengatakan secara garis besar tentang hakikat manusia itu sendiri. “Hakikat manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani.”
Begitupun dengan tujuan pendidikan, menurutnya pendidikan diharuskan dan diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama. Dalam hal ini adalah melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimiliki terlebih di zaman 4.0 ini.
Salah satu komponen itu tak lain adalah seorang pendidk. Orang yang tahu benar tujuan pendidikan itu. Kalau sudah begitu, akan mau dibawa kemana peserta didik, terlebih saat kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung?
Maka dari itu pengertian di atas sudah dapat disimpulkan bahwa para guru dalam melaksanakan pendidikan baik di lingkungan formal dan non formal dituntut untuk mendidik dan mengajar. Karena keduanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses KBM untuk mencapai tujuan ideal pendidikan.
Terkadang mengajar lebih cenderung mendidik menjadi orang yang pandai tentang ilmu pengetahuan saja. Tapi jiwa dan watak tidak dibangun dan dibina terlebih di zaman 4.0 atau zaman digital saat ini tentu tantangan besar bagi seorang pendidik.
Di sinilah seorang pendidik merupakan peran untuk membentuk jiwa dan watak dengan kata lain mendidik adalah kegiatan transfer of values, yakni memindahkan sejumlah nilai kepada semua siswa. Dengan kata lain pendidik atau guru juga diartikan ditiru dan digugu. Kalau sudah begitu Indonesia dalam pendidikan dunia literasinya perlu ditingkatkan lagi. Jangan sampai dikatakan negara yang sangat memiriskan dalam dunia literasinya.
Halnya seperti dikatakan rumah yang tidak sehat karena kamar kecilnya atau toiletnya tidak terurus. Maka dari itu maukah sekolah diibaratkan kamar kecil atau toilet dalam hal ini dunia pendidikannya bukan sebagai ‘rumah’?
Maka dari itu mulai saat ini yuk untuk para pendidik haruslah mengembangkan dunia literasi di sekolah-sekolah. Tidak lain dengan cara bersungguh-sungguh dan menyeluruh. Pasti Indonesia dalam hal dunia pendidikan terutama literasinya akan semakin berkembang dan sangat maju serta tidak akan memalukan ke kancah dunia.
Begitupun para pendidiknya mulai saat ini kretaif dan berinovasi dari diri sendiri. Entah dengan cara belajar untuk berliterasi yang lebih baik lagi atau dengan membaca maupun menulis ditingkatkan kembali.[]
Profil Penulis
Kak Ian, penulis, pengajar dan penikmat sastra. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di koran nasional dan lokal serta media online lainnya di antaranya; Majalah Zakat Sukses, Majalah Kelasa Balai Bahasa Lampung, Majalah Anak Adzkia, Majalah Utusan, Majalah Ummi, Koran Tempo, Kompas Nusantara Bertutur, Solopos, Pontianak Pos, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Satelit Pos, Malang Pos, Analisa, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Mojokerto, Padang Ekspres, Haluan, Rakyat Sumbar, Singgalang, maarifnujateng.or.id, ayobandung.com, magrib.id, litera.co.id, merawai.com dll. Bukunya yang telah terbit “Kumpulan Cerita Remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama” Penerbit Mecca, Desember 2019. “Kumpulan Cerpen: Hikayat Kota Lockdown”, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.