Percakapan pada Tanaman-Tanaman
Kuamanahkan kalian pada tumpahan kubik air
Oleh karenanya kuletakkan kalian di pot-pot putih, berulir ulir seperti rumah lebah, di teras rumah
Kalian betah kan, wahai aglonema yang merah, begonia yang ngambek jika dua hari tak ketemu air, singonium yang menawan, janda bolong yang terus merambat, kuping gajah yang unik, sansievera yang apa adanya.
Lantas demi apa aku mengajakmu bercakap dengan kalian, setiap matahari belum bangun atau saat matahari beranjak tidur?
Jika otak dongengku sedang bekerja, betapa gembira kusaksikan kalian dikerubuti oleh peri-peri tanaman berukuran liliput, terbang kesana kemari dengan sayap transparan, mengoles dedaun hingga mengkilat serupa sepatu usai disemir
Jika otakku sedang biologi, maka kudekatkan kaca pembesar di setiap inci permukaan daun kalian, sembari sibuk mengklasifikasi dari kingdom, kelas, ordo, familia, genus dan species apa saja kalian ini.
- Iklan -
Jika otakku sedang matematika, kan kuukur kalian milimeter demi milimeter progres pertumbuhan kalian, apakah signifikan atau tidak dengan kebiasaanku mengajakmu bercakap seperti orang gila.
Jika otakku sedang lupa, aku lupa bercakap dengan tanaman tanaman, memilih bergelung di bawah selimut, lalu menganggap semuanya seperti mimpi kemarin sore yang tak berarti apa-apa.
Semarang, 14 Juli 2022
Monolog Buku-buku
Seorang pengantar kebahagiaan mengantarkanku di pelukanmu
Kau tentu saja berterimakasih, ada bunga-bunga bertebaran di dadamu
Lantas keriangan ditambah rasa tak sabar hendak segera mengoyak pakaian transparanku
Indera penciumanmu beroperasi maksimal menyerap aroma tinta dan kertas
yang baru keluar mesin pemanggang
Kau menyanjungku laiknya pengantin baru, bercengkerama sebentar saja untuk menengok daftar isi
Lalu kesibukan memangkas waktumu bersamaku.
Kau tempatkanku di singgasana, bersama ratusan kawan yang terhormat
Berdesakan tapi bangga
Berhimpitan tapi digdaya
Aku adalah wasilah kepandaian yang dipilih oleh manusia-manusia berotak cerdas
Tak jeri menekuri ribuan jajaran huruf
Waktu seakan membeku seumpama daging dalam freezer
Kala pendar ilmu berlompatan riang ke kepalamu
Semesta bergembira berbuncah-buncah
Terang benderang serupa wahyu
Tapi kotak dalam genggaman tanganmu itu, menyerobot seluruh perhatian, juga hari-harimu
Menampilkan gerak-gerak, berpindah pindah, berwarna-warni, teriring musik syahdu atau mengentak, menggoda kotak retinamu
Terpaku
Waktu meleleh serupa es batu di gelas tinggi
Sejak saat itu, aku memilih mati.
Semarang, 15 Juli 2022
Canda Batu-Batu
Mereka terhampar di halaman, keras, kasar tapi estetik
Bertetangga dengan rumput gajah, kacang-kacangan, rumput teki
Menguning ditempa tempias lampu taman temaram
Mereka ribuan butir, pasrah terinjak-injak, tak pernah protes
Tak teriak oleh panas menggelegak
Tak takluk oleh hujan mengamuk
Kalian kaku, diam, tak bereaksi meski kuprovokasi
Lantas bagaimana aku bisa tergelak-gelak
Tatkala seorang tetangga mengaku jadi saksi mata
Kalian melontarkan diri serupa martir
Berlesatan di malam buta, iseng mengetuk-ngetuk pintu, mengusir jin-jin usil,
Meredam gonggongan anjing, beratraksi menakut-nakuti tetangga lewat suara-suara
Berisik
Ah, kalian memang mengajak bercanda
Tatkala keesokan harinya, kalian raib tanpa jejak, tanpa suara, tanpa sisa
Tinggal berpasang sandal jepit yang terhampar di atas tanah
Semarang, 16 Juli 2022
Tentang Ampas Kopi yang Mengendap Semalaman
Aku sisa sekumpulan serbuk-serbuk buruk rupa
Yang tertinggal di dasar gelas beling murahan di angkringan
Juga cangkir porselen nan elegan di café-cafe kekinian
Aku tinggal disana usai mulut-mulut menyesap puas
dan menghirup aromaku dalam-dalam
Menakar rasa dan amboi,
Aura bahagia meruap, menyebar di udara
Aku sering menyaksikan manusia berpenampilan menawan
Pun kuli-kuli legam bertelanjang dada
Menyimak tawa yang berderai pun tangis yang memilu
Menatap cuan warna merah muda
Hingga recehan licin bekas minyak gorengan
Waktuku semalaman
Sejenak memakna warna-warni kehidupan
Sebelum luruh diguyur air keran
Semarang, Mei 2022
Mesin Waktu yang Membawaku Melongok ke Masa Lalu
Alkisah
Seorang tetua pemilik hobi aneh sedunia
Tersenyum-senyum sendiri, selama berjam-jam
Memang ia tidak punya pekerjaan lain
Selain menatap kotak usang itu
Berlama-lama, menjelma candu,
Lalu hari-harinya berselimut haru-biru
Konon, setiap gambar-gambar hitam putih yang terkelupas
Dan menguning serupa kain luntur itu
Menyimpan harta karun
:memori berjuta giga byte jika dikonfersi menjadi film layar lebar
Ia dilumat oleh sesuatu yang jahat bernama kesepian
Namun isi kepalanya riuh seumpama pasar malam musim liburan
Ingatannya masih setajam samurai
Sayang, hanya mencabik-cabik serupa mesin parut
Tatkala ia mencoba-coba
Melongok ke masa lalu
Semarang, Juni 2022
–Arinda Sari, penulis buku, blogger. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris Unnes. Bergiat di komunitas Penulis Ambarawa. Tinggal di Semarang.