Cerpen Agus Salim
Suatu hari, setelah melayat ke rumah Sastro, salah satu Anggota Dewan Kabupaten yang mati mendadak dengan cara tiba-tiba ingin tidur dan tertidur, lalu kemudian tak bangun-bangun, Jumirah, yang akrab dipanggil Jum, kuat-kuat menanamkan keyakinan dalam dirinya: kelak dirinya akan mati di hari baik, Senin, Kamis atau Jumat, dan kematian itu akan datang dengan cara-cara baik, misalnya kematian itu datang ketika ia sedang sujud dalam salat, atau saat mengaji, atau juga saat sedang berzikir. Ia meyakini hal semacam itu karena selama ini sudah terlalu banyak melakukan kebaikan-kebaikan, dan bahkan, dalam soal ibadah, ia merasa lebih baik dari semua warga Kampung Panasara. Gila!
Gila? Ya. Benar. Boleh saja ia dikatakan ‘gila’ karena telah memiliki keyakinan semacam itu. Tak ada satu pun manusia di muka bumi yang berani meyakini kematiannya sendiri akan datang dengan cara baik-baik saja, kecuali, dia ‘gila’. Tapi, apakah benar Jum gila? Tidak. Secara harfiah, ia waras. Setiap hari mampu bicara dengan normal ketika ada di tengah-tengah temannya. Hanya saja ia memang suka berlebihan kalau bicara, dan sering melampaui pengetahuannya. Namun, semua temannya memaklumi keadaan itu karena sudah lazim orang kaya di Kampung Panasara kalau bicara suka sembarangan.
Lalu, selang satu hari dari acara melayat ke rumah Sastro, malam hari selepas salat Isya, di dalam kamarnya yang megah bak kamar putri raja, Jumirah dalam-dalam merenungkan kematian. Ia masih merasa tak percaya kalau Sastro akan mendapatkan keajaiban, bisa mati dengan cara-cara lembut dan menenangkan. Menurut Jum, seharusnya Sastro itu mati dengan cara-cara mengenaskan, misalnya: mati dalam kecelakaan, mati karena serangan jantung, mati karena stroke, mati tertimpa rumahnya sendiri, mati ketika sedang di hotel bersama perempuan lain, atau mati ketika ada di tempat karaokean.
- Iklan -
Kenapa Jum sampai tega berpikir seperti itu? Karena ia tahu Sastro adalah Anggota Dewan Kabupaten yang terlalu banyak melakukan dosa-dosa besar. Hanya saja dosa-dosa itu tak terbaca orang-orang karena Sastro memang lihai dalam menyamarkan perbuatannya. Jum tahu kalau Sastro sering memotong dana proyek yang dikemas dalam bantuan sosial, ia juga tahu kalau Sastro sering melakukan perjalanan dinas ke luar kota tapi tak pernah berangkat, hanya namanya saja yang ikut tetapi jasadnya ada di rumah, sering bermain perempuan ketika ada di luar kota, dan masih ada beberapa lainnya. Ingatan akan segala dosa-dosa Sastro terus berputar-putar dalam kepala Jum. Ia juga masih belum lupa, tiga hari sebelum malaikat maut menarik roh keluar dari dalam tubuh Sastro, ia dan Sastro bicara berdua saja di sebuah rumah makan yang letaknya di pinggiran kota.
Ada tiga hal penting yang ia ingat dalam pertemuan itu: Pertama, Sastro akan membeli rumah dengan ukuran tidak terlalu besar di sebuah desa dan akan tinggal di rumah itu bersama keluarganya sambil menjalani profesinya sebagai Anggota Dewan Kabupaten. Kedua, Sastro akan menjual sebagian mobilnya, dan uangnya akan didepositokan. Ketiga, untuk sementara waktu Sastro tidak akan melakukan pertemuan dengan Jum, karena hubungan gelap tanpa sebuah ikatan telah tercium oleh istri Sastro dan kalau diteruskan dikhawatirkan akan ada pertengkaran yang akan menyeret nama besar Sastro dan itu bisa menjatuhkannya dalam pemilihan berikutnya.
Dari tiga hal penting itu, satu yang dibenci Jum, yaitu poin ketiga. Poin ketiga itulah yang selanjutnya membuat ia melesatkan doa agar Tuhan segera mencabut nyawa Sastro, dan beruntung, doa itu terjadi, yang kemudian itu membuat Jum semakin percaya diri bahwa doanya tak pernah bisa ditolak dengan satu alasan, bahwa semua itu bisa terjadi hanya berkat dirinya yang sudah terlalu banyak melakukan kebaikan-kebaikan besar. Tetapi, ia tetap tak percaya kalau Sastro itu mati dengan cara yang baik, apalagi kematian itu terjadi di hari Sabtu.
Lalu, karena sudah termakan oleh keyakinan kematiannya sendiri, maka ia pun menanamkan keyakinan-keyakinan lainnya, bahwa ketika ia mati nanti semua mulut tetangga akan rebutan menebar pujian untuknya, misalnya: Jum orang baik, maka tidak sia-sialah semua perbuatan baiknya, atau, Orang baik memang layak mati di hari baik, yang nantinya, pujian-pujian itu akan membuat dirinya merasa bangga, karena ketiga anaknya akan menyiapkan kenduri terbaik, atau bahkan termegah, yang di dalamnya berisi doa-doa yang ditujukan untuk dirinya, dan di dalam kenduri itu, ia pula yakin, akan dicampur dengan kesedihan atau bahkan cucuran air mata.
Lantas, semakin jauh tenggelam dalam keyakinannya itu, sebuah gambaran singkat terjadi dalam kepala Jum. Gambaran itu adalah rentetan peristiwa tentang bagaimana proses kematiannya terjadi:
Pertama, malaikat pencabut nyawa turun dengan mengucapkan salam kepadanya, lalu duduk di atas kepalanya dengan gerak-gerik yang sopan, dan mengatakan, Wahai jiwa yang tenang, keluarlah, dan pulanglah sebagai hamba ke dalam rida Allah, dan roh Jum keluar dengan pelan-pelan dari tubuhnya, mulus tanpa sebuah rintangan, sehingga tak menyisakan rasa sakit. Roh yang ia yakini harum seharum Kesturi itu kemudian disambut oleh malaikat, dan malaikat lain ikut campur menyambut dengan cara berebut, seolah-olah roh itu adalah roh yang memang sedang dinantikan kedatangannya, dan bersamaan itu pula, orang-orang yang menunggu di luar kamar menangis, bahkan sampai menjerit-jerit histeris, dan kemudian semua merasa bahwa kehilangan orang baik macam dirinya adalah sebuah kerugian besar, dan itu akan membuat mereka akan bersedih dalam rentang waktu cukup lama.
Kedua, ia akan dimandikan dengan cara-cara yang lembut. Kemudian dikafani dengan kain terbaik. Meski roh sudah wangi, tetap disemproti minyak demi mengikuti urutan ritual. Ketika hendak disalatkan, semua yang laki-laki berebut berdiri, karena tak mau kehilangan kesempatan terakhir bersama orang terbaik. Saat semuanya sudah berdiri, mereka akan menangis, air mata dari sumber kesedihan paling dalam bercucuran tanpa bisa dibendung. Ketika jenazah sudah siap dibawa, maka semua berebut menggotong keranda, membuat ia yang berada di dalam keranda merasa bahagia tak terhingga, dan setelah ditidurkan dalam tempat bersemayam ia akan dengan mudah menjawab semua pertanyaan, yang sesungguhnya, ia sudah melakukan latihan sewaktu masih hidup, yakni dengan cara mengulang-ulang pertanyaan itu dan menjawabnya sendiri. Selanjutnya, ia akan tidur dengan tenang, seperti tidurnya pengantin. Lalu tempat bersemayamnya yang sempit berubah menjadi luas, dan sebuah pintu akan terbuka dari atas kepalanya. Kemudian hawa surga merayap dari balik pintu pelan-pelan, dan hawa itu memenuhi tempat bersemayamnya. Hawa itu akan membuat ia merasakan kesejukan luar biasa, lalu setelah itu ia akan tidur panjang dengan nyaman sambil menunggu kehancuran dunia tiba.
Ketiga, setelah proses pemakaman selesai para pengantar jenazah pulang dengan membawa aura kesedihan yang tak kunjung berkurang. Ketiga anaknya akan menetap untuk sementara, menangis meraung-raung di atas tempat semayamnya, dan mereka meratap sambil menyebut semua kebaikan-kebaikan yang ia perbuat selama hidup di atas bumi, dari mulai kebiasaannya menyumbang yayasan yatim-piatu, rajin umrah setiap tahun, suka menyumbang untuk pembangunan masjid, memberi makan tukang becak, menyantuni kerabatnya yang tak mampu, dan masih banyak lagi, dan setelah lelah menangis, anak-anaknya pulang sambil menyenandungkan kesedihan di sepanjang jalan.
Ya, begitulah gambaran singkat yang terjadi dalam kepala Jum. Kalau mau disebut ‘gila’, maka itu adalah kegilaan yang sempurna. Saat selesai membayangkan kematiannya itu, ia senyum-senyum sendiri, dan itu kemudian membuat dirinya bisa tidur tenang, lupa berdoa, dan lalai pada maut yang sedang mengintai.
Lalu, apakah benar yang diyakini Jum itu terjadi?
Sepuluh hari setelah meyakini kematiannya yang indah itu, Jum dijemput malaikat maut. Apes. Ia mati di hari Selasa, pukul 10 lebih sedikit, dan mati dengan cara menyedihkan. Begini proses kematiannya: ia tiba-tiba kebelet kencing, lalu dengan langkah terburu-buru ia ke kamar mandi. Tanpa bisa diduga dan dikendalikan kakinya terpeleset. Ia jatuh. Kepalanya membentur dinding keramik, dan ia mati seketika itu juga. Jasadnya ditemukan oleh anak pertamanya waktu hendak ke kamar mandi.
Apesnya lagi, proses pemakamannya dilakukan dengan waktu cukup cepat, tidak ada penundaan, dan yang paling menyakitkan, ketiga anaknya tidak ada yang bersedih, dan hanya ada sedikit warga yang datang, itu pun juga tanpa kesedihan, apalagi air mata. Keranda yang ditumpangi Jum tidak digotong, tetapi diantar ambulans. Ia dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut. Prosesi peletakan jenazah ke liang lahad berlangsung dengan riang dan gembira. Bahkan, diisi dengan kelakar dan tawa menggelegar. Ketika satu per satu tumpukan tanah dibenamkan ke liang, ucapan-ucapan yang lebih dekat dengan kemenangan bermunculan, dan beberapa dari mereka berkata seperti ini:
“Jum sudah mati, maka tak ada lagi biang pembuat onar.”
“Jum sudah mati, jadi tak perlu takut sama ancaman santet lagi.”
“Ratu rentenir sudah musnah, semoga anak-anaknya tidak ada yang mengikuti jejaknya.”
Setelah proses pemakaman selesai, ketiga anak Jum mengadakan pesta, bukan kenduri. Gila! Lebih gilanya lagi, pesta diisi dengan karaokean dan acara makan-makan, dan setiap kali selesai makan-makan langsung diisi dengan hiburan permainan domino, remi dan karambol, yang juga disisipi dengan acara judi kecil-kecilan, yang kalau kalah tak sampai membuat miskin mendadak, dan bila semua mata merasa tak sanggup lagi terbuka, maka acara mabuk bersama dimulai, dan ini hanya berlaku bagi yang mau, dan acara itu berlangsung hingga Subuh tiba. Pesta itu sudah mendapatkan persetujuan dari aparat setempat, mulai dari kelurahan hingga RT.
Gila! Benar-benar gila!
Lalu, pada hari ketujuh, selepas acara makan-makan bersama warga, salah satu anak Jum berkata kepada anak Jum yang lain, disaksikan oleh warga yang hadir dalam pesta. Dia bicara begini:
“Ibu hanya mewariskan kita harta, sedang kita dibiarkan tidak tahu apa-apa. Ayah juga tidak mengajarkan apa-apa, dan keburu mati. Kita hanya dikenalkan pada uang dan uang. Kita tumbuh liar pun mereka tak peduli. Ya, jangan salahkan kita kalau acara kendurinya dibuat macam ini.”
Anak Jum yang mengatakan itu lalu tertawa, dan tawanya itu memancing yang lain ikut tertawa, dan Jum yang berdiri di pintu pagar rumah hanya bisa menangis saja. (*)
Asoka 2023
Tentang Penulis:
AGUS SALIM, lahir di Sumenep tanggal 18 Juli 1980, tinggal di jalan Asoka Nomor 163 Pajagalan Sumenep 69416 Madura-Jawa Timur.
Cerpen-cerpen pernah dimuat di Solopos, Basabasi.co, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Suara Merdeka dan media lainnya. Buku kumpulan cerpen tunggal perdana: Lima Cerita dalam Satu Malam di Bawah Bulan Gerring, Intishar, 2017.