Oleh: Vito Prasetyo
Dari tahun ke tahun, persoalan pendidikan seakan tak akan habis untuk ditelaah. Seiring laju pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pendidikan menjadi legitimasi medium yang dianggap sangat berperan untuk menghadapi tantangan zaman. Pada deskripsi ini, ada 2 poin yang ingin disampaikan penulis. Yakni pendidikan dan agama. Ibarat mata uang, maka medium ini seakan memiliki nilai yang sama.
Kemudian, jika kita mengaca pada perspektif kebangsaan, maka peran pendidikan dan agama, sering menjadi legitimasi kesatuan yang memiliki fungsi integrasi kekuatan. Atau sebagai modal dasar dalam membangun kerangka bangsa. Dalam pendalaman studi (bingkai keilmuan), ada semacam korelasi kuat antara pendidikan dan agama. Satu sama lainnya saling mengikat. Konfigurasi penalaran dalam edukasi pembelajaran adalah proses untuk menghasilkan nilai-nilai positif.
Lebih lanjut dalam mengupas pemahaman moderasi agama, yang kini banyak dibicarakan dalam konteks sosial, maka kaitannya dengan pendidikan dan agama adalah untuk menghindari penyerapan pemahaman atau mengurangi tindakan kekerasan. Pemahaman-pemahaman yang tidak didasari oleh kebenaran hakiki (keilmuan dan agama) sangat berpotensi memunculkan pemahaman yang ekstrem, seperti radikalisme, terorisme, rasisme, dan lain sebagainya.
- Iklan -
Nalar pendidikan menjadi sangat penting dalam meletakkan logika-logika kebenaran, yang tidak harus diimplementasikan sebagai dalil hukum. Dalam islam dikenal sebagai sumber kebenaran adalah qur’an dan hadits. Tetapi ada juga logika kebenaran yang bersumber dari kemurnian pemikiran-pemikiran, baik dari ulama dan tokoh agama atau juga dari pemangku kekuasaan. Tujuannya untuk menyelamatkan umat dan bangsa secara utuh.
Dalam konteks sosial, kita sering dihadapkan pada persoalan pemahaman antara wujud dan tidak berwujud. Ini sangat wajar, karena pemikiran manusia merupakan entitas makhluk sosial yang mengalami dinamika dan perbedaan. Apa yang dikatakan sebagai kontemplasi pemikiran manusia, seyogianya dianggap sebuah perenungan mendalam, dimana posisi manusia hidup dengan pertentangan pemikiran, antara kebenaran dan kebathilan. Maka disini, harus ada prinsip keseimbangan dimana manusia sebagai masyarakat yang diatur oleh aturan-aturan kenegaraan dan kebangsaan.
Dalam meletakkan kepentingan bangsa, kita sering mendengar slogan atau istilah hubbul wathon minal iman (khususnya dalam lingkungan warga nahdliyin). Slogan yang artinya cinta tanah air atau rasa nasionalisme adalah bagian iman. Faktanya, ini bukanlah sebuah hadits, tetapi seperti yang diutarakan di atas, bahwa ada pemikiran dari para ulama atau tokoh agama yang merefleksikan dalil kebenaran, semata-mata tidak hanya bersumber dari qur’an dan hadits. Sebab, kodrat manusia adalah sebagai makhluk sosial.
Slogan yang sempat menimbulkan perbedaan dan pertentangan, karena konsep dalil kebenaran yang semata-mata menganalogikan kebenaran pemikiran. Tetapi, jika kita mau jujur, bahwa pemikiran manusia tidak terlepas dari kekhilafan dan kenaifan, yang memposisikan pikiran manusia itu sejatinya tidak sempurna dan bukanlah sumber kebenaran. Maka ketika adanya upaya delegitimasi yang menganggap slogan atau istilah tersebut adalah hadits palsu, anggapan ini semata-mata anggapan kelompok atau oknum yang tidak mampu hidup dalam bingkai atau kerangka kebangsaan.
Sangat sederhana, jika kita merujuk pada terminologi hubbul wathon minal iman, maka pemahaman frasa slogan itu sangat jelas. Artinya, bukan dimensi yang harus disejajarkan dengan hadits. Prinsip ini sangat bertentangan dengan orang-orang dalam golongan penegak khilafah, karena nasionalisme dianggap sebagai penghalang. Dalam kerangka kebangsaan yang didasari legitimasi hukum, bahwa posisi negara mengatur kebebasan beragama. Maka, disini otoritas pemerintah sebagai penyelenggara negara, tentunya mengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat. Bukan agama yang mengatur negara.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berideologi Pancasila tentunya kita harus memahami bahwa keberadaan masyarakat yang terdiri dari struktur latar belakang berbeda, baik agama, suku, adat, ras, etnis budaya, tentu harus dilindungi dengan sistem ideologi bangsa. Maka tentunya ada beberapa frasa kebenaran yang terlahir dari pemikiran (nalar logika) sebagai titik temu dalam menyatukan perbedaan ini. Pemahaman yang kuat tentang ini pada umumnya karena adanya pembekalan pemahaman yang benar dalam pendidikan dan agama.
Konsep kerangka kebangsaan seyogianya dibangun dengan pola desain sistematis, yang tentunya merupakan satu-kesatuan dalam menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam menghadapi tantangan era. Setelah melewati fase era modern, hingga postmodern, perubahan-perubahan ini sangat mempengaruhi kelangsungan kehidupan masyarakat secara luas. Bisa jadi terjadi revolusi sosial secara besar-besaran. Maka penguatan yang sangat mendasar haruslah dibangun dengan kerangka pendidikan dan agama yang kuat.
Makna yang tersirat dalam hubbul wathon minal iman adalah bentuk nasionalisme yang begitu kental dalam sejarah perjuangan kaum nahdliyin untuk membela kepentingan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam kitab Al-Maqashid Al-Hasanah karya Al-Hafidz Muhammad Abdurrahman As-Sakhawi, makna slogan “cinta tanah air adalah bagian dari iman” dikatakan maknanya sudah benar. Sebab cinta tanah air adalah bagian dari doa Nabi SAW.
Dalam relevansi riwayat nabi Muhammad SAW ketika hijrah ke Madinah bersama para sahabat, mereka melihat kota Yatsrib terkena wabah penyakit. Saat itu Nabi Muhammad berdoa agar dapat mencintai Madinah sebagai kota dimana bumi dipijak. Dalam sudut pandang agama (islam), istilah hubbul wathon minal iman sering menjadi paparan pada konteks sosial. Ini bukan paradigma baru, tetapi sudah melekat dalam perjuangan bangsa, sejak puluhan tahun silam.
Perjuangan serta mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran, tentunya tidak hanya berhenti disini. Masih banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa. Ada beberapa penguatan dalam moderasi beragama dalam menghadapi tantangan. Di antaranya:
Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan nilai agama yang berlebihan dan melampaui batas, sehingga menjadi begitu ekstrem. Esensi ajaran agama seharusnya memanusiakan manusia.
Kedua, munculnya klaim kebenaran tafsir agama. Dampak yang paling terasa terkait hal ini, adanya unsur pemaksaan dan kekerasan. Ini yang memunculkan pendapat beberapa orang atau oknum yang menganggap penafsirannya tentang agama yang paling benar.
Ketiga, pemahaman yang merongrong, mengancam bahkan merusak ikatan kebangsaan. Sikap oknum atau kelompok yang kerap kali dengan dalil kebenaran pemahamannya, dan mengatasnamakan agama menyalahkan ideologi negara. Juga termasuk mengkafirkan orang yang membela nasionalisme negara.
Maka kontemplasi nalar pendidikan sebagai sumber keilmuan bagi para generasi muda, yang nantinya sebagai generasi penerus dalam membangun kerangka bangsa, sebagai wadah penyerapan ilmu harus dibekali dengan penguatan keilmuan tentang agama. Dunia pendidikan juga tidak hanya sebagai tempat penyerapan ilmu pengetahuan, tetapi juga harus mampu mempertahankan nilai-nilai kebangsaan. Disini sangat penting untuk menyejajarkan peran transisi, transformasi serta edukasi secara berimbang.
Akhirnya, penciptaan kondisi inklusif pendidikan, tidak hanya bergantung pada lembaga pendidikan semata. Karena moderasi beragama itu sangat dekat dengan lingkungan tempat tinggal. Salah satu mata rantai untuk menjaga esensi agama, keberadaan pondok pesantren dalam hal interaksi sosial terdekat, perlunya menjaga keseimbangan transisi, transformasi serta edukasi, minimal juga bisa berperan untuk melestarikan kultur perjuangan para ulama dan pendidik dalam membangun kerangka bangsa.
Dalam catatan penulis, kontemplasi nalar pendidikan adalah entitas (wujud) dari sikap dan perilaku untuk mempertahankan nilai-nilai sosial, yang antara lain etika sopan santun serta membudayakan nilai-nilai kemanusiaan secara benar (humanis). Satu hal juga yang cukup penting, adalah masyarakat harus punya keberanian dalam memerangi isu-isu sosial yang berbau hoaks, demi menjaga kestabilan berbangsa dan bernegara. Bukan dengan sikap saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab.
Penguatan nilai-nilai agama, tidak harus disimpulkan dengan memerangi hak dan kebebasan seseorang dalam menjalankan keyakinannya. Ini karena kita harus menyadari keberadaan wilayah negara yang tersusun dari banyaknya perbedaan (heterogen) latar belakang. Tetapi lebih bijak, dengan memperlihatkan bagaimana ajaran agama dapat menghormati hak-hak manusiawi dengan sikap santun sesuai sunnah Rasulullah SAW. Ini mungkin yang kita ikhtiarkan sebagai pendidikan dan beragama yang bermartabat secara konsisten. ***
*) Penulis adalah Sastrawan dan peminat budaya