Oleh Hamidulloh Ibda
Sejak kuliah S1, saya tidak pernah ada bayangan untuk menjadi dosen. Setelah lulus, bali kampung, ngajar di MI, musala dan TPQ meneruskan perjuangan abahku. Simpel begitu.
Namun setelah lulus, pikiran berubah. Alasannya sederhana, dulu waktu abah saya masih sugeng, saya diminta pulang untuk segera menikah. Lah, ini yang bikin saya mumet laiknya mengerjakan tugas Statistik Multivariat. Yakin super mumet.
Akhirnya, saya nekad mendaftarkan diri pada Program Pascasarjana UNNES. Alhamdulillah tes sekali diterima, meski banyak alumni UNNES sendiri tes beberapa kali tidak lolos, karena saat itu jumlah pendaftar S2 Pendidikan Dasar membludak. Saya mengabari keluarga di rumah. Nah, aman. Ceritanya begitu. Jadi, aslinya saya kuliah S2 kala itu hanya mencari alasan supaya tidak diminta bali kampung. Bukan seluhur niat teman-teman saya yang mencari ilmu, meningkatkan kualitas diri, dan lainnya.
- Iklan -
Singkat cerita, sejak 2017 saya jadi dosen dan diterima di berbagai perguruan tinggi. Kini pun, saya lanjut studi S3 sesuai wasiat abah saya ketika masih sugeng. “Mumpung iseh nom, ndang kuliah S3, Ib”. Begitu pesan beliau.
Beberapa Memoar
Saya teringat kenangan seorang guru Bahasa Indonesia kala MA. Beliau pernah mengatakan begini “Da, Ibda, aku duwe murid kayak dirimu siji wae wes mumet”. Pikirku, “mumet pripun to, Pak?”.
Ya, dari teman-teman sekelas, saya tipe murid yang paling ngeyel dan istikamah terhadap pendapat ketika berdiskusi. Saking jengkelnya mungkin ya, beliau pernah berkata rasa nyindir, satire, mungkin ya “ngece” pada saya. “Ya, bapake S1 anake kudu S2”. Begitu.
Maksud beliau mengatakan, bahwa abah saya lulusan S1, maka anaknya yaitu saya, harus berjenjang S2. Saya yakin ini bukan ngece, tapi doa, bahkan menjadi kenyataan. Melebihi apa yang beliau doakan, saya pun sekarang lanjut S3. Memang, kadang semua omongan guru itu bisa jadi sabda, doa, berkah, meski aslinya sekadar satire, ngece, bahkan hanya guyonan. Inilah berkah!
Ketika perkuliahan Akhlak Tasawuf, saya juga berdebat dengan dosen. Beliau mengatakan bahwa orang yang sudah meninggal dunia, ketika kita kirimi doa, bacaan yasin dan tahlil tidak akan sampai. Saya juga iseng nyelemong “Pak, kalau tidak sampai, nyatanya tidak balik kok” ucap saya menirukan pendapat Gus Dur.
Kala itu beliau tegas menjawab, ya intinya tidak sampai. Lantaran agak jengkel dengan saya, beliau memamerkan diri kalau beliau jabatannya ini dan itu. Batinku, ini apa hubungannya ya? Forum akademik ilmiah kok malah dijawab dengan argumen yang tidak bernas.
Beliau pernah kalah berargumen di kelas dan mengatakan tidak suka dengan mahasiswa yang “clemang-clemong” dan ngeyelan kayak saya. Sebagai mahasiswa, saya pun diam dan diam. Meskipun demikian, beliau bilang “saya doakan kamu nanti bisa kayak saya”. Maksud kayak saya itu adalah jadi dosen.
Saya juga teringat seorang dosen inisial M yang sudah doktor kala itu mengajar saya. Dalam satu pertemuan, beliau bertanya tegas “siapa yang tidak ingin jadi guru?” Saya pun jawab “Saya, Pak”.
Beliau pun mengejar dan kembali bertanya. “La, mau jadi apa, kamu?” Saya jawab agak percaya diri “Jadi gurunya guru, Pak”. Beliau pun berkata sambil meremehkan “Ya, bagus cita-cita itu. Tapi, kapan-kapan harus saya tes”.
Lantaran saya sudah diincar karena sudah ngomong sembarangan demikian, ketika kuliah, pasti yang disuruh jawab saya. “Coba itu calon dosen jawab”. Tapi, alhamdulillah kala itu saya bisa menjawab semua pertanyaan dosen berperawakan kurus tersebut.
Tidak disangka, ucapan beliau menjadi kenyataan. Saya menjadi dosen. Dari tiga kelas mahasiswa dua angkatan, yaitu 1 kelas angkatan 2007 dan 2 kelas angkatan 2008, hanya saya yang jadi dosen. Lainnya jadi guru dan berprofesi pekerjaan lain. Namun untuk angkatan 2009 dan seterusnya sudah ada beberapa yang menjadi dosen.
Memoar ini memang unik. Ini bukan memoar seorang dosen saja. Namun memoar para dosen dan guru yang saya ingat. Beliau-beliau dulu mungkin meremehkan saya. Namun kini, bisa jadi bangga dengan mahasiswanya ini. Harapan saya sih begitu.
Kenangan ini setidaknya memberi pesan bahwa apa yang disampaikan dosen kadang menyakitkan hati. Tapi jika kita ikhlas, selama ucapannya bermuatan doa masa depan meski aslinya meremehkan, saya yakin itu akan dikabulkan Tuhan.
Memang, saya dulu kuliah S1 itu tidak pernah punya prestasi apapun kecuali pernah mendapatkan beasiswa DIPA dua kali, menjadi penulis mahasiswa terproduktif. That’s all. Namun, berkat dari tulisan itulah membawa berkah hingga kini. Berkat doa para dosen-dosen itu juga saya bisa menjadi dosen.
Sekarang, saya mengutip macam-macam makhluk dosen menurut Sutawi (2022) yang menyebut enam kategori dosen. Mulai dari dosen akademis, dosen politis, dosen sosialis, dosen selebritis, dosen kapitalis, dan dosen agamis. Pertanyaannya, tipe dosen-dosen saat ini seperti apa? atau saya ini tipe dosen yang bagaimana? Ah, dosen enigmatis!
–Penulis adalah dosen dan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiwaan Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Pjs Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Temanggung TV.