Cerpen M. Syaifulloh
Kupacu motor sekencang-kencangnya. Usai kengerian yang kusaksikan barusan, rasa-rasanya diri ini ingin selekas mungkin bersimpuh di hadapan Gus Malik. Pada beliau aku ingin memohon ampun. Semata agar segala kejengkelan yang kupendam selama ini tak menjadikan kisahku di pesantren berakhir senahas Bawul.
***
Sinar lampu jalanan masih beradu pendar dengan semburat surya di ufuk timur saat kuputuskan menepi ke sebuah gubuk di jalur lingkar barat Malang-Blitar. Kepalaku sangat pening sebab semalaman begadang di acara resepsi nikah tetangga rumah. Kalau saja kunci kandang burung milik Gus Malik tak terbawa saat aku pulang, mana berani aku bermotor sengantuk ini. Meski lalu lintas sepi, serangan hawa dingin dipadu semilir angin persawahan seperti sihir yang bisa mencelakai siapa pun bila tak hati-hati. Apalagi jika berhadapan dengan lubang-lubang yang banyaknya minta ampun.
- Iklan -
Tepat selepas salat subuh, Gus Malik meneleponku guna memastikan siapa yang membawa kunci kandang burung.
“Kunci kandang kau bawa? Jam 7 ada yang survei kenari. Kalau bisa setengah 7 sudah dijemur, biar keluar kicaunya.”
“Siap, Gus. Langsung meluncur ke Malang habis ini,” jawabku spontan.
Sepanjang jalan, di kedalaman batin ini bergejolak kehendak membangkang perintah atau menaatinya. Badan sudah capai bukan main. Punggung ini terasa sekaku pelang dilarang berhenti. Sesekali kesadaranku juga kecolongan beberapa detik mata ini merem tanpa sanggup kutahan. Pikiran-pikiran untuk mangkir lantas berkelebat satu per satu. Ada banyak alasan yang bisa disiapkan. Motor dipakai orang rumah ke pasar misalnya. Atau tiba-tiba darah tinggi bapak kambuh lagi. Kenapa juga tadi sewaktu di telepon justru kusanggupi. Mengapa tak bilang belum tidur habis begadang sinoman saja? Mengapa aku mendadak oon? Tiap diperintah pasti siap, siap dan siap. Padahal sebernarnya aku juga berhak menolak bukan? Dan ini bukan yang pertama kali terjadi.
Aku ingat, dulu sewaktu Abah Kiai masih hidup Gus Malik mencari seorang pengurus yang siang itu belum sarapan. Di luar pengetahuanku, ternyata sewaktu aku mencuci pakaian seorang kawan yang sekamar denganku datang setelah seminggu pulang kampung. Sebagaimana mestinya, ia membawa beberapa bungkus nasi untuk disantap bersama. Sayangnya aku ketinggalan momen itu. Jadilah aku mengajukan diri ke hadapan Gus Malik.
“Ikut aku makan di luar ya, Kang. Aku tunggu di depan.”
“Siap, Gus.” Jawabku mantap.
Sebergas macan lapar, kupatut diri di muka kaca jendela. Semata karena sarung dan baju yang kupakai adalah milik kawan. Milikku masih nangkring di jemuran. Begitu sampai di gerbang pondok, Gus Malik, yang sudah menungguku, mengamati lamat-lamat setelan yang kupakai. Belum lagi kuucap maaf karena sudah membuatnya menunggu, ia lebih dulu berujar.
“Pakai celana saja, Kang. Mau makan di resto kok sarungan.”
Aku hanya bisa mengangguk tanpa buka suara. Sebergas macan yang semakin lapar, kamar demi kamar kusisir untuk berburu pinjaman celana. Seperti yang sudah bisa ditebak, berburu celana di pondok sulitnya bukan main. “Kalau sarung banyak Kang!” “Celana dalam mau, Kang?” dan banyak jawaban serupa yang intinya, perburuan masih panjang. Sempat terbesit di benakku untuk kembali menghadap Gus Malik, tapi firasatku berkata itu bukan langkah yang tepat. Dengan segala kenyelenehannya, jangan-jangan nanti aku malah disuruh pakai celana basah yang nangkring di jemuran. Atau yang lebih kacau kalau dipinjamkan celana milik Abahnya. Mau tak mau kuteruskan penyisiran sampai kamar paling ujung, paling belakang. Sial, masih belum dapat. Dengan napas terengah, akhirnya aku kembali menghadap Gus Malik yang duduk termenung di teras masjid.
“Anu, Gus … kalau sarungan saja bagaimana? Nanti saya nunggu di luar resto tak masalah.” Dengan perasaan serba salah kuberanikan diri bersuara. Gus Malik tak langsung menimpali. Suasana hening menyergap kegugupanku menghadapi dawuh apa yang akan diutarakan.
“Ya susuda ke warung langganan Abah saja. Pakai jaket. Nanti setir motornya. Kalau ke resto ya pakai mobil. Lha kalau ke warung nanti mau parkir di mana?”
Kali kedua, aku hanya bisa mengangguk tanpa buka suara. Sebergas macan yang semakin keroncongan, kamar di dekat masjid kusisir untuk berburu pinjaman jaket. Kali ini nasibku lebih mujur. Lekas-lekas aku kembali menghadap Gus Malik yang sudah siap di atas motor. Di luar dugaan, aku justru disuruh duduk di belakang.
“Aku saja yang di depan. Belum tahu lokasinya kan?” tanya Gus Malik. Memastikan.
“Sudah lapar apa belum?” lanjutnya sambil mendongak-dongakkan kepala seperti menantang adu pukul.
“Super keroncongan, Gus” balasku mantap seraya menepuk-nepuk perut. “Kalau bukan putra kiaiku, sudah kumakan kau, Gus,” umapatku dalam batin.
“Nanti makan yang banyak. Mau sekalian mampir beli celana baru, Kang?” dengan lihai ia coba menggoda. Aku cuma nyengir lalu naik ke boncengan. Iseng sekali orang ini mengerjaiku. Pasti ia sudah tahu kalau pakaianku masih di jemuran semua. Untung saja dapat pinjaman jaket. Apa memang semua putra kiai punya hobi mengerjai santri-santrinya?
Di luar sikapnya yang aneh-aneh, kuakui jika selama ini aku memendam kejengkelan tersendiri. Terutama selepas Abah Kiai wafat beberapa bulan yang lalu. Selepas tujuh hari Abah Kiai wafat, Gus Malik meneruskan keistikamahan abahnya mengkaji kitab Adabul ‘Alim Wa Muta’alim-nya Syekh Hasyim ‘Asyari di masjid. Selama pengajian, ketidakcakapannya dalam menelaah kitab kuning terkuak. Banyak sekali kutemukan kekeliruan terutama dalam mengartikan Bahasa Arab menjadi Bahasa Jawa. Selain itu, ada juga pengembalian kata ganti yang kurang pas. Kejengkelanku lantas memuncak tatkala lafad Sulthon justru diberi makna King, bukan raja. Bagiku itu adalah penyelewengan pakem dari yang telah diajarkan Abahnya sendiri. Mana ada dalam tradisi pesantren yang mengartikan lafad Bahasa Arab dalam Bahasa Inggris? Pada subuh itu, aku tak lanjut menyimak pengajian Gus Malik. Kuselipkan kitab di antara terali jendela masjid. Kusilangkan kaki, lingkarkan tangan, kepala ditundukkan. Tidur.
Sejak saat itu aku tak pernah mengikuti pengajian subuh di masjid. Sebagai gantinya, aku mendaras Al-Qur’an di makam Abah Kiai. Pernah suatu ketika seorang teman sesama pengurus pesantren menegurku karena selalu mangkir dari pengajian subuh. “Aku cuma khawatir santri-santri berbuat seenak udelnya kayak kamu,” serangnya waktu itu. Untuk menyelamatkan diri, kuberkilah bahwa Gus Malik sendiri yang menyuruhku mengaji di makam Abahnya. Seketika mulutnya kelu begitu kucatut nama Gus Malik.
Di hadapan makam Abah Kiai kadang aku mengeluarkan unek-unek yang selama ini bergejolak di kedalaman batinku. Bagaimana bisa Gus Malik mengampu pengajian subuh dengan cara seperti itu. Mengapa keluarga dalem tidak menunjuk salah satu dari kami yang senior ini untuk sementara waktu? Dengan begitu Gus Malik setidaknya bisa mengamati metode pengajaran kitab kuning yang selaras dengan pakem Abahnya. Barulah nanti kalau sudah benar-benar matang, Gus Malik sendiri yang turun ke medan. Toh selama ini, tak pernah sekalipun kudapati Gus Malik duduk di majelis pengajian subuh. Jadi apa jadinya para santri itu jika yang mengajar saja masih sering keliru membaca kitab? Apalagi yang diampu adalah kitab adab seorang murid dalam menimba ilmu. Bisa-bisa semakin lama mengaji semakin tak karuan akhlaknya.
Rupa-rupanya teman pengurus yang memergoki kelakuanku mengadu ke Gus Malik. Waktu itu aku masih mendaras Qur’an di makam Abah Kiai. Seorang santri abdi dalem menjawil telingaku dari belakang. Sontak aku naik pitam. Kalau saja ia tak segera bilang “Dipanggil Gus, Kang,” bisa-bisa mushaf yang kupegang bersarang di mukanya. Dengan langkah penasaran aku mengikuti santri itu ke dalem. “Mau diapakan aku ini?” pikirku dalam diam.
Usai melintasi bangunan madrasah yang memisahkan dalem dengan makam Abah Kiai, santri itu tak menyilakanku menunggu Gus Malik di teras dalem seperti lazimnya seorang pengurus yang mau menghadap Gus. Ia membawaku menyusuri lorong di antara dalem dan masjid pondok menuju halaman belakang. Di sana Gus Malik tengah memainkan jemarinya untuk memancing kicau burung kenari. Barulah di situ aku tahu bahwa Gus Malik adalah pengoleksi burung. Dengan gugup aku mendekat. “Ada dawuh apa, Gus?”
“Kang, semisal tiap pagi sampean merawat burung-burung di sini sanggup?”
Entah karena sihir apa, di muka orang yang tak kusenangi ini, kepalaku bergerak turun mengangguk dan ucapan “Siap, Gus,” secara otomatis meluncur dengan mantap. Sejak saat itu aku dibolehkan tak ikut pengajian subuh tapi harus bertanggung jawab dengan burung-burung di kandang.
Kecamuk lamunan itu berlangsung seiring laju motor membelah keheningan subuh. Saat kusadari bahwa kini berada di Jalur Lingkar Barat, kuputuskan untuk rehat sejenak di gubuk bambu tepi jalan. “Jika sudah sampai sini berarti tinggal setengah jalan lagi,” batinku sambil melolos sebatang rokok. Kutarik napas dalam-dalam. “Mau tak mau harus sampai pondok kalau begini jadinya.”
Belum lagi kusulut sebatang rokok, dari kejauhan yang agak samar oleh tumpukan kabut seorang pria—yang penampilannya seperti orang baru turun dari masjid—berjalan mendekat. Tangannya memukul-mukul kaleng putih bekas cat 5 kiloan yang ia tenteng: memecah kesenyapan pagi yang mulai terang perlahan. Kupikir ia akan menghampiriku, ternyata justru menyeberang ke sisi jalan begitu jarak di antara kami tinggal sepelemparan puntung rokok saja. Pandanganku mengikuti punggungnya menuju sebuah trembesi besar di seberang sana. Uniknya di tubuh pohon itu tersemat papan bertuliskan “Kencing di sini saja!” Setelah menaruh kaleng, pria itu berbalik arah. Mata kami sempat bersitatap sejenak dan dengan cepat aku melempar pandang ke hamparan persawahan di kananku sambil menghisap rokok dalam-dalam.
Aneh juga jika dipikir-pikir. Biasanya yang ada adalah tanda larangan jangan kencing di sini, tapi yang ini justru sebaliknya. Apalagi sampai di sediakan kaleng. Tanpa kusadari, pria itu tiba-tiba sudah di hadapanku. Barangkali ia menangkap mimik muka penasaranku sewaktu bersitatap tadi.
“Rokoknya masih ada, Mas?” ia menyapa. Dengan sigap kuhaturkan sebungkus milikku padanya lengkap beserta korek. “Silakan, Pak.”
Kami lantas duduk bersisian mengahadap trembesi di seberang sana. Selepas semburan asap pertama, ia melanjutkan percakapan basa-basi.
“Plat motor Blitar ya?”
“Iya, Pak. Habis pulang kampung mau balik ke pondok.”
Tanpa kunyana, ia seperti terkejut mendengar jawabanku. Tiba-tiba ia terbatuk-batuk. Gubuk yang kami duduki terguncang. Tangannya lalu menepuk-nepuk dada. Aku cuma bisa melihat tanpa berani bertindak lebih jauh. Sambil berdehem untuk meredakan batuknya, ia berusaha meneruskan obrolan.
“Yang hati-hati, Mas!” tuturnya.
“Iya, Pak. Apalagi jalanan di sini dari dulu memang rusak kayak gini ya, Pak,” timpalku.
“Bukan itu.” ia memotong. “Yang hati-hati di pondok, jangan seperti Bawul.”
Kali ini aku yang ia bikin kaget. Untungnya tak sampai terbatuk-batuk. Sepertinya lawan bicaraku ini menangkap isyarat kernyitan dahiku begitu mendengar nama Bawul barusan. Lantas tanpa kuminta, ia bercerita dengan raut muka seperti orang nelangsa.
“Semua orang-orang kampung di sekitar Jalur Lingkar Barat ini tahu riwayat tentang Bawul. Di antara sekian banyak jebolan pondok pesantren, barangkali cuma dia satu-satunya produk gagal. Hidupnya tak bisa jauh dari masalah, Mas. Umumnya, alumni pondok ya menghidupkan masjid di daerahnya, tapi dia justru menyikat dana pembangunan untuk pergi umrah. Itu kasus yang paling besar. Yang kecil-kecil ya banyak seperti penipuan jual beli tanah dan skandal perselingkuhan dengan istri tetangga. Sekarang dia sudah seperti sampah yang dibuang. Hidupnya terlunta-lunta. Boleh minta lagi, Mas?” ia menyela sembil memegang bungkus rokok. Padahal aku terlanjur menyimak ceritanya dengan seksama. Kubalas dengan anggukan.
“Menurutku, semua itu gara-gara tabiatnya sewaktu mondok dulu,” ia meneruskan lagi.
“Konon dia menghadap kiainya karena ngaji sudah lama tapi tak sepintar teman sebayanya di kampung yang mondok di tempat lain. Dengan kekecewaan itu, ia pamit mau mondok di tempat lain saja supaya bisa setara dengan kawan sebayanya di kampung. Benar saja, sang kiai justru menantang Bawul dengan bersumpah jika suatu saat dia sudah alim, kencingnya akan diminum.”
“Kencing Bawul diminum kiainya?” aku berusaha menyelidik.
“Tepat. Bawul lalu pindah-pindah pondok sampai kemudian ia merasa lebih pintar dari kiainya dulu. Dengan sombong ia menagih sumpah. Tapi kau tahu apa kata kiainya?”
Ia mengambil tarikan dalam lalu menghembuskan asap dari lubang hidungnya.
“Kau sendiri sudah tahu hukumnya air kencing itu najis. Jelas haram diminum. Katanya sudah alim tapi kok menyuruh orang lain minum kencing. Kok ada-ada saja. Kira-kira seperti itu kiainya menjatuhkan kecongkakan Bawul. Jadilah dia sampah seperti sekarang. Setelah kasus dana masjid itu, dia diusir dari kampung. Dikucilkan.”
Mendengar itu aku hanya menelan ludah. Keheningan mengisi gubuk. Masing-masing kami tak bersuara seolah-olah sedang meresapi cerita barusan seraya menikmati isapan-isapan rokok. Di seberang sana, seorang lelaki paruh baya turun dari mobil sedan. Kami sama-sama memperhatikannya.
“Sebentar aku ke sana dulu,” ujarnya.
Ia lalu bergegas dengan langkah mengendap-endap menyusul di belakang. Keduanya kini sama-sama menuju pohon trembesi. Yang satu terbirit, yang satu mengendap. Begitu kulihat lelaki paruh baya itu mengambil posisi kencing di muka kaleng, kawan obrolanku tadi berlari mendekati. Amit-amit setan alas, dengan beringas ia menyosor selangkangan dari belakang. (*)
Tentang Penulis:
*M. SYAIFULLOH, lahir di Malang 25 Juli 1998. Kini tercatat sebagai santri PP Miftahul Huda Gading Malang sekaligus mahasiswa Geografi Universitas Negeri Malang. Bersama beberapa kawan santri bergiat dalam klub menulis Peparing (Penulis Pesantren Gading). Cerpennya bertajuk “Perempuan Sembrani” mendapat anugerah juara 1 Pena Pujangga Lomba Cerpen antar mahasiswa se-ASEAN 2021 Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Bisa disapa di IG @emsyaifulloh.